Belum seumur jagung menikah, Wulan sudah ditinggalkan pergi oleh lelaki yang menjadi suaminya ke luar negeri untuk melakukan pengobatan. Wulan menjalani hari-hari sendiri sambil menunggu janji Sandi, sang suami.
Hingga badai itu datang, prahara yang mencipta kemelut dalam rumah tangganya. Wulan pergi meninggalkan rumah Sandi setelah ia diterima bekerja di perusahaan yang diimpikannya, menjadi seorang petugas kebersihan.
Hidup sendiri sambil menggantung harap pada kedatangan Sandi yang berjanji akan selalu percaya padanya. Namun, sejak Wulan tahu, jika Sandi adalah CEO di perusahaan tempatnya bekerja, ia tak berani mengharapkan Sandi.
Sikap Sandi yang dingin ketika berpapasan dengannya, semakin membuat Wulan tak percaya diri. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dan membuang harapan.
Apa yang terjadi? Akankah mereka dapat menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok Itu
Sandi dan Miranda kembali ke pesta dan berbincang dengan beberapa tamu. Sementara Wulan masih mencari keberadaan Mita yang hilang di keramaian.
Di pintu masuk, Hardi, Salsa, dan Susi baru saja tiba di pesta. Seperti biasa dengan tampilan elegan mereka bersama Yoga kekasih Salsa yang menginginkan Wulan.
"Sebenarnya Mamah malas sekali datang ke sini," celetuk Susi saat memasuki gedung pesta yang mewah.
Hardi melirik, dia pun tidak mengerti mengapa undangan pesta ini bisa sampai ke rumahnya padahal setiap tahunnya tak pernah datang. Namun, Hardi tak ambil pusing, justru bagus untuknya bisa berada di antara para pengusaha sukses.
"Mungkin karena ada Yoga di antara kita, ayahnya adalah seorang pengusaha sukses juga," sahut Salsa sembari mengeratkan lingkaran tangannya di lengan laki-laki itu.
Matanya melirik orang tua Yoga yang datang bersama mereka. Senyum terlukis sempurna di bibir Salsa, mengembang dengan anggun. Dia cantik, dengan bibir seksi dan mata yang dibingkai bulu palsu. Berlenggak bak model di atas karpet merah, menunjukkan pesonanya sebagai kekasih dari Yoga.
Juga laki-laki itu, tersenyum bangga mendengar penuturan sang kekasih. Tentu saja karena ayahnya mendapat undangan dan merupakan partner bisnis dari Wijaya Grup.
Langkah Salsa tiba-tiba melambat ketika mengenali satu sosok di kejauhan yang tengah bersitegang dengan beberapa gadis. Dia ....
"Wulan?"
Sontak saja langkah Yoga terhenti mendengar gumaman yang begitu jelas di telinganya. Ia menatap Salsa dengan alis mengernyit, dan tanpa ditanya pun Salsa menunjuk satu arah di mana Wulan berada.
"Bukannya dia Wulan?" tanyanya memastikan.
Yoga memicingkan mata mempertajam penglihatan. Khawatir salah mengenali yang akan mempermalukan mereka pada akhirnya.
"Benar. Itu Wulan, tapi sepertinya dia sedang ada masalah," sahut Yoga memindai wajah tegang Wulan yang samar terlihat.
Salsa menarik tangan Yoga untuk mendekati posisi Wulan, membuat Susi dan Hardi keheranan.
"Mau ke mana kalian?" tegur Susi.
"Kita ke sana dulu, Mah." Salsa menunjuk asal, dia tidak mau ayah tirinya yang selama ini selalu memikirkan Wulan bertemu di tempat itu.
Namun, rupanya Hardi memperhatikan ke mana arah Salsa pergi. Ia terbelalak, matanya berubah sendu dan tergenang air.
"Wulan!" lirih Hardi seraya menghentikan langkah membuat Susi jengah.
"Di mana? Mana mungkin Wulan ada di sini, dia cuma cleaning service. Tidak akan mungkin ada di antara pengusaha kaya ini," cetus Susi sengit. Mereka lupa siapa suami Wulan.
Ia tersentak ketika Hardi melepaskan pegangan tangan mereka. Berjalan pelan menghampiri sang putri, rasa rindu yang selama ini dia pendam, meletup-letup meminta dimuntahkan.
****
Sementara pada posisi Wulan, ia tengah bersitegang dengan beberapa gadis keturunan konglomerat yang salah satunya adalah merupakan teman sewaktu sekolah dulu.
"Kamu tidak apa-apa?" Wulan membantu Mita bangkit, membersihkan pakaiannya dari sisa minuman yang ditumpahkan salah satu gadis itu.
Wulan menatap sendu wajah Mita yang memerah. Dia ingin menangis, tapi ditahan agar tidak tumpah. Istri Sandi itu menarik tubuh Mita ke pelukan, menenangkannya.
"Kamu Wulan, 'kan?"
Sebuah seruan membuat Wulan melepas pelukan dan menoleh. Seorang gadis dengan gaun selutut berwarna putih tulang tersenyum remeh padanya. Wulan tahu dia, seorang anak konglomerat yang selalu memandang rendah orang lain.
"Kenapa kalian melakukan ini pada temanku?" Wulan bertanya dingin, menatap tajam pemilik bibir merah merona itu.
Dia tertawa kecil, menatap teman-temannya. Meletakkan gelas di tangan dengan gerakan anggun layaknya putri bangsawan.
"Tentu saja karena dia tidak pantas berada di antara kami, seperti kamu. Kalian berdua tidak layak ada di pesta ini. Bukankah kalian hanya sebagai cleaning service? Kenapa bisa berada di sini?" cetus gadis itu dengan mulutnya yang tajam.
Wulan tidak menyahut, melainkan mengukir senyum tenang sambil berbalik sepenuhnya pada gadis angkuh itu.
"Kami berada di sini itu bukan urusan kamu. Cleaning service bukan pengemis, yang kerjaannya menadah, meminta uang saja. Kami bekerja, menghasilkan uang dengan keringat sendiri. Itu lebih membanggakan dari pada mereka yang hanya tahu meminta dan meminta," ujar Wulan tak kalah sengit.
Senyum kepuasan mengembang di bibir Mita, dia sempat berpikir buruk tentang Wulan. Menolak mengakui sebagai cleaning service karena suaminya adalah pemilik sebuah perusahaan besar. Sang empu pesta.
Gadis itu terdiam, tangannya mengepal, rahangnya mengetat, tersindir oleh kata-kata Wulan. Begitu pula teman-temannya, mereka merasa malu pada diri sendiri karena apa yang dikatakan Wulan memanglah benar. Mereka hanya tahu menadah, meminta, dan meminta tanpa tahu betapa kerasnya mencari uang.
"Kamu menyindir kami?" tanyanya mendekat ke arah Wulan, tapi tak sedikit pun istri Sandi itu gentar. "Kamu pikir kamu siapa? Kasihan sekali hidup kamu, dulu tak diakui keluarga. Sekarang jadi cleaning service, plus menikah dengan laki-laki lumpuh. Lengkap sudah!" Gadis itu menggelengkan kepala.
Disusul tawa teman-temannya yang sempat murung karena ucapan Wulan tadi.
Tenang, Wulan. Sabar! Mereka hanya tidak tahu siapa suami kamu.
"Eh, kalian itu tidak tahu siapa suami Wulan. Kalau tahu, aku yakin kalian tidak akan berani merendahkan Wulan seperti ini!" sengit Mita geram melihat temannya direndahkan. Padahal siapa mereka di pesta malam itu?
Para gadis sombong tadi berhenti tertawa, menatap remeh Mita dan mencibirnya.
"Aku tidak peduli. Memangnya siapa yang mau tahu suami Wulan yang lumpuh itu? Tidak ada yang mau tahu." Mereka kembali tertawa, terbahak-bahak.
Wulan mencegah Mita yang hendak menyerang gadis-gadis itu lagi. Memejamkan mata memintanya untuk diam dan tidak perlu meladeni mereka.
"Tidak usah berbicara terlalu banyak dengan mereka, juga tidak perlu menjelaskan apapun kepada mereka. Itu tidak perlu, sebaiknya kita pergi saja dari sini. Kita pergi ke tempat di mana kita dihargai."
Wulan tersenyum, menarik tangan Mita dan menyempatkan diri untuk menoleh pada kelompok gadis itu sebelum benar-benar pergi. Melayangkan senyuman juga sebuah anggukan kecil, tapi begitu tajam terlihat.
Pasang-pasang mata yang melihat itu merasa terbakar hatinya. Wulan tidak mudah diprovokasi, dia selalu tenang sama seperti dulu.
"Kurang ajar!"
Salah seorang gadis yang merupakan teman sekolah Wulan mengambil gelas berisi minuman, berniat mempermalukannya dengan menyiramkan minuman itu.
Namun, sebelum aksinya itu terjadi, sebuah tangan kekar mencekal lengan gadis itu. Merebut gelas tersebut, dengan mata merah menyala. Pekikan kecil terdengar, diikuti suara ringisan menyakitkan yang menguar lirih.
"Jangan pernah melakukan hal buruk padanya! Jangan pernah!" Sosok tersebut menggeleng, berdesis dari balik giginya yang merapat dan saling beradu.
Wulan berbalik diikuti Mita, sekarang ada banyak pasang mata yang menonton mereka. Bibir Wulan bergumam tanpa suara, matanya menyipit tajam. Ia mematung, membeku dalam sebuah rasa asing yang mengalir.