Janji Cinta
"Cleaning service?" Wulan menghela napas berat.
Dia memang memimpikan bekerja di perusahaan besar itu, tapi tak menyangka akan berada di posisi sebagai petugas kebersihan.
"Tidak apa-apa. Aku akan bekerja dengan baik sambil menunggu kedatanganmu, Mas." Ia tersenyum penuh semangat dan harapan.
****
Enam bulan sudah berlalu, aku jalani hidup seorang diri tanpa dirimu. Tidak ada masalah yang terlalu berat untuk kuhadapi, semua berlalu begitu saja setiap kali harapan akan kedatanganmu muncul dalam benak.
Mas, aku sudah lulus sekarang dengan nilai terbaik. Sayang, perusahaan besar itu tidak menerima karyawan yang hanya lulusan SMA kecuali sebagai petugas kebersihan. Aku sudah bekerja sekarang, sambil menghabiskan waktu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Aku ingin membuatmu bangga tanpa harus menyusahkanmu. Aku ingin kau tersenyum saat kembali nanti dan melihatku telah menjadi wanita mandiri. Aku yakin, pekerjaan saat ini akan menjadi batu loncatan untukku menuju pekerjaan yang lebih baik.
Rumah ini sepi sejak kepergianmu, Mas. Mamah dan kak Risna lebih sering pergi keluar menghabiskan waktu bersama Hana. Mereka bahkan tidak tahu aku telah bekerja. Sengaja tak kuberitahu mereka karena takut malu memiliki menantu hanya seorang petugas kebersihan saja.
Mas, kuharap kau cepat sembuh dan sesegera mungkin kembali. Jujur saja aku rindu meski rasa cinta belumlah tumbuh. Itu karena kau adalah manusia pertama yang memperlakukan aku layaknya manusia pada umumnya.
Kutulis semua ini sebagai teman jenuh di kamar.
****
Wulan, singkat saja namanya. Usianya kini memasuki dua puluh dua tahun. Mencoba peruntungan dengan memasukan surat lamaran ke perusahaan terbesar yang menjadi impiannya tanpa tahu jika perusahaan tersebut milik sang suami.
Sayang, memang keberuntungan belum memihak padanya. Dengan dalih hanya lulusan SMA, Wulan hanya diterima sebagai petugas kebersihan saja. Namun, tak apa, hitung-hitung mandiri dan tidak melulu mengandalkan uang suami.
Ia menutup diary dan menyimpannya di laci, beralih pada ponsel menghubungi sang suami. Satu kali, dua kali panggilan tak kunjung terjawab.
"Maaf, Nona. Tuan sedang melakukan terapi, dan ponselnya ada bersama saya."
Sebuah pesan masuk, diketik oleh sang asisten suami--pak Andri.
"Bagaimana perkembangannya, Pak?"
Sangat berharap sebentar lagi akan bertemu, Wulan menanti jawaban dengan cemas. Menggigit bibir bagian dalam karena kemarin masih belum banyak perkembangan.
"Doakan saja semoga tuan segera pulih dan segera kembali ke tanah air."
Balasan yang sama seperti hari-hari kemarin.
"Apa memang separah itu?" Wulan menghela napas dalam dan panjang. Dia ingat, Sandi telah divonis dokter lumpuh permanen. Tentu aja tidak akan mudah.
"Berapa lama lagi, Pak?"
Wulan berharap tak akan lama lagi, tapi jikapun harus menunggu dia akan tetap menunggu selama apapun itu.
"Mungkin beberapa bulan ke depan lagi, Nona. Kami juga tidak tahu. Hanya doakan saja karena tuan juga sudah tidak sabar ingin kembali."
Wulan tersenyum membaca pesan balasan dari pak Andri. Ia meletakkan ponsel bersiap untuk pergi bekerja. Wulan tidak mengatakan jika ia sudah bekerja karena tak ingin membuat Sandi khawatir.
Keluar kamar, keadaan rumah sudahlah sepi. Wulan sudah terbiasa dengan hal itu, ia menuruni anak tangga menuju dapur untuk sarapan.
"Ke mana semua orang, Bi?" tanya Wulan seraya duduk di kursi bersiap menyantap sarapan.
"Nyonya sama non Risna pergi mengajak non Hana jalan-jalan." Wulan mengangguk dan mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ia mengernyit ketika melihat ketiga asisten rumah tangga itu telah berpakaian rapi.
"Bibi mau ke mana?" tanya Wulan menjeda pergerakan tangannya yang hendak menyuapkan nasi.
"Biasa, Non. Bibi mau belanja bulanan," jawab wanita paruh baya itu sambil tersenyum.
"Bertiga?" Wulan melirik kedua wanita lainnya.
"Iya, memang biasanya juga begitu. Non juga mau pergi, 'kan?" Bibi tersenyum lembut, Wulan mengangguk sambil membalas senyumnya.
Kini, hanya dirinya seorang di rumah itu. Wulan bergegas naik ke kamarnya mengambil tas dan akan segera pergi.
Namun, suara pintu tertutup, mengejutkannya. Ia berbalik dan mendapati seseorang tengah menyeringai jahat padanya.
Wulan terbelalak, sedikit heran sekaligus terkejut melihat sosok tersebut yang berdiri menyeringai di depan pintu kamarnya. Sebelah tangan sosok itu memegang kunci, mengangkatnya setinggi wajah, menunjukkan pada Wulan bahwa tidak ada jalan keluar baginya.
Demi apapun, detak jantung bertalu-talu tanpa dikomando. Tanpa dijelaskan pun ia tahu tengah berhadapan dengan situasi seperti apa saat ini.
"Mau apa kamu?" tanya Wulan tegas, tapi bergetar. Sungguh, ia sedang ditakuti oleh pikirannya sendiri saat ini.
Laki-laki itu tidak menjawab, tertawa kecil sembari melipat kedua tangan di perut. Menatap nyalang dan liar pada sosok Wulan yang mengenakan setelan celana panjang dan kemeja putih berlengan panjang pula. Sesuai keinginan Sandi bila ia bekerja.
"Jangan pura-pura bodoh, Wulan. Aku tahu selama ini kamu sering diam-diam menatapku. Akui saja, Wulan, kalau kamu itu menginginkan diriku," ujar laki-laki tersebut tanpa tahu malu.
Wulan menatap berang, berdiam diri di tempatnya semula tanpa bergerak. Kedua mata memerah, tergenang air di dua sudutnya. Bibirnya bergetar, begitu pula dengan kedua tangan yang saling meremas tali tas dengan kuat.
"Apa maksud kamu? Aku sama sekali tidak pernah memperhatikan kamu. Aku sudah bersuami dan tidak akan pernah mengkhianati suamiku sendiri," ucap Wulan tidak terima.
Laki-laki itu tertawa, tidak peduli pada apapun yang dikatakan Wulan. Ia melangkah mendekat, dan Wulan terpaksa harus mundur untuk menghindarinya.
"Jangan mendekat! Tolong jangan lancang! Keluar dari kamarku sekarang juga!" pinta Wulan sembari merentangkan salah satu tangannya ke depan.
Laki-laki itu mengangkat alis, langkahnya juga berhenti, tapi bukan berarti dia akan mengurungkan niat bejatnya. Lalu, pergi meninggalkan kamar Wulan begitu saja.
"Sudahlah, Wulan. Jangan sok suci! Aku tahu kamu begitu menderita menikah dengan Sandi yang tidak berguna itu. Sebagai perempuan normal, aku juga tahu kamu pasti menginginkan itu. Percayalah, aku bisa mengabulkannya. Aku akan memberimu kepuasan yang tidak bisa diberikan Sandi. Bagaimana?"
Ia merentangkan kedua tangan sambil mengukir senyum menjijikkan. Wulan melirik tangannya yang menggenggam kunci, targetnya adalah merebut benda tersebut agar dapat keluar dari kamar.
"Ayo, Wulan! Jangan malu-malu! Aku sudah bosan dengan Risna, dan kamu pastilah masih enak untuk dinikmati. Aku berjanji tidak akan meninggalkan rasa sakit," ucapnya benar-benar membuat Wulan ingin memuntahkan isi perut.
Cuih!
Wulan meludah, tak sudi sekali menyerahkan kehormatan pada laki-laki bejat seperti kakak iparnya itu.
"Jangan mimpi! Meskipun kamu bukan kakak iparku, aku tidak akan pernah menyerahkan kehormatanku padamu. Pergilah, jika tidak aku akan berteriak sekencang mungkin!" ancam Wulan tidak main-main.
Ferdi--suami Risna mengangkat sebelah alisnya. Lalu, tertawa terbahak-bahak.
"Berteriaklah, Wulan! Berteriaklah yang kencang, tapi kamu harus tahu tidak akan ada yang mendengarmu karena semua orang sedang pergi dan hanya ada kita berdua di rumah ini."
Sial! Aku lupa, ya Allah. Tolong hamba!
Wulan mengeratkan cengkraman pada tali tas, saat ini tidak ada yang bisa menolongnya selain diri sendiri. Wulan harus bergantung pada keberaniannya.
Wulan mengambil ancang-ancang untuk berlari menerobos tubuh tinggi itu sambil merebut kunci. Namun, tangan Ferdi begitu cepat bertindak, mencekal lengan Wulan terlebih dahulu dan menyudutkannya pada dinding. Salah satu tangannya menahan kedua tangan Wulan, dan yang lain mengurung tubuh wanita itu.
"Tolong jangan lakukan ini padaku! Kumohon!" lirih Wulan dengan air mata yang mulai berjatuhan dari pelupuk.
Namun, laki-laki itu tidak peduli, dan tetap melanjutkan aksinya. Sungguh sial memang!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Soraya
mampir dulu thor
2024-03-13
0
Sugiharti Rusli
belum digambarkan siapa Wulan dan dulu nikah sama suaminya seperti apa,,,
2024-02-24
1
maulana ya_manna
mampir thor....
2024-02-24
1