(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
Kennet melihat di balik jendela mobilnya. "Ini, kalau kau berhasil aku akan memberikan mu bonus dua kali lipat."
Wanita setengah baya itu tersenyum. "Baik Tuan. Saya akan melakukannya dengan baik." Ia mengambil uang itu.
Kennet tersenyum puas, dia menaikkan sedikit kaca sambil melihat celah. Wanita suruhannya pun menuju ke dalam toko itu sambil mengeluarkan sebuah roti.
Sementara itu, di dalam toko.
Seorang wanita memakai baju hijau langsung membuang rotinya di depan toko roti. Wanita itu menatap tajam ke arah Livia. "Semuanya jangan membeli toko roti ini. Toko ini tidak amanah, saya mengalami sakit perut karena roti yang di jual di sini."
Livia dan Alan terkejut, mereka tidak pernah menambahkan sesuatu. Alan berusaha menenangkan ibu di hadapannya.
"Kami tidak pernah menambahkan sesuatu. Kalau tidak percaya, kalian bisa merasakannya."
Beberapa pelanggan membuang roti yang baru di beli ke lantai.
"Kalian tidak memeiliki hati, ternyata kalian mencampurkan zat beracun."
Livia menggelengkan kepalanya. "Tidak Bu, kami tidak pernah melakukannya. Pasti ada kesalahan." Dia beralih pada ibu-ibu yang menjadi penyebab kekacauan di tokonya. "Bu, pasti ini senua ada salah paham. Pasti roti itu bukan berasal dari toko kami. Pasti ada orang yang sengaja menukarnya atau ...."
"Apa anda mengatakan saya berbohong? Saya punya buktinya dan saya membelinya baru tadi di sini."
"Kami bisa membuktikannya. Kami bisa menjamin bahwa roti kami tidak bermasalah." Seru Alan tidak terima. Toko roti ini peninggalan ayahnya, bahkan sudah bertahun-tahun tapi tidak pernah ada keluhan keracunan atau apa pun itu.
"Sudah, jangan membeli di toko ini." Ajak ibu-ibu setengah baya yang memakai dress hijau itu.
Beberapa pelanggan toko mengekorinya keluar sambil mengomel.
"Bu, saya mohon ini ..." Livia menghela nafas melihat ibu-ibu itu pergi.
Alan keluar, dia menghampiri Livia. "Livia, sudah biarkan saja. Hanya beberapa pelanggan, kita masih ada pembeli lainnya." Sejujurnya ia khawatir, ia kasihan pada Livia.
"Alan kita tidak pernah melakukannya. Ini semua fitnah," ucap Livia. Entah apa yang terjadi sampai ibu-ibu itu mengamuk. Ia yakin, pasti ibu-ibu itu sengaja memfitnah toko rotinya.
Alan mengusap pucuk kepala Livia. "Hey, jangan khawatir. Tuhan itu ada. Ayo masuk, kita bekerja lagi." Ia menyemangati sambil tersenyum.
Livia pun masuk, dia mengambil roti yang telah di buang oleh beberapa pelanggan tadi. Ia berharap, masalah ini bisa secepatnya di selesaikan.
Kennet tersenyum penuh kemenangan. Bernad merasa kasihan namun ia tak bisa melakukan apa. Dendam Kennet seakan melebihi rasa kasihannya. Dia pun menjalankan mobilnya dan menuju ke suatu tempa.
Kennet keluar dan masuk ke dalam kafe. Dia melihat ibu-ibu tadi yang sudah berhasil membuat kekacauan. "Ini, senang bekerja sama dengan mu. Tapi kau tidak boleh mengatakan pada siapa pun. Kalau kau berani melakukannya, kau akan menghilang dari bumi ini."
Wanita itu mengangguk sambil tersenyum, kedua matanya berbinar melihat tumpukan uang. Tidak sia-sia dia bekerja. Ia yakin, pria di hadapannya bukan sembarangan pria. Terlihat wajah bulenya itu. "Baik Tuan, saya akan melakukan sesuai perintah Tuan. Jika ada yang perlu di bantu, panggil saya saja." Dia pun pergi.
Kennet tersenyum, ia merasa puas. "Bernad, nanti malam suruh beberapa orang pengawal kita untuk membuang sampah di depan toko itu."
Sesuai dengan keinginan dan perintah dari Kennet. Bernad menyuruh dua orang untuk membuang sampah dan Kennet menulis sebuah tulisan di kaca dengan tulisan. "Jangan membeli roti di toko ini. Rotinya beracun."
Kennet puas dengan membuat kata-kata menusuk. Dia menggunakan sebuah setelan warna hitam dan masker hingga tidak ada orang yang mengenalinya. Setelah puas, dia pun pulang dan melihat Kalisa yang sedang menunggunya.
"Sayang kau kemana saja?" tanya Kalisa. Dia heran pada Kennet yang pergi tanpa membawanya. Bahkan saat ini menggunakan pakaian serba hitam. "Kau datang dari mana? Ini kenapa kau menggunakan pakaian ini?" tanya Kalisa.
Kennet menaruh topi hitamnya. "Aku hanya berjalan-jalan saja. Kau ini, sudahlah. Aku mau membersihkan tubuh ku."
Kalisa merasa heran, bahkan suaminya tidak mau di ajak pulang. Ia penasaran namun mungkin Kennet masih ingin menelusuri di kota ini.
Kennet mengguyur air shower itu ke tubuhnya. Besok pagi ia harus melihat bagaimana wajah Livia dan pacarnya itu. "Aku tidak sabar melihat wajahnya yang menangis itu."
....
Keesokan harinya.
Sesuai rencananya, Kennet pagi-pagi sekali menunggu kedatangan Livia dan pacarnya. Dia menunggu tak jauh dari toko roti itu. Selang beberapa saat, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan toko. Kennet melihat seorang wanita turun dan ternyata itu adalah Livia. Terlihat jelas wajah shok Livia.
Dia terkekeh, ia senang membuat wanita itu menderita.
Sedangkan Livia, dia begitu terkejut melihat beberapa sampah bahkan sebuah tulisan di kaca toko roti itu. "Kenapa bisa seperti ini?" dia mengambil sebuah kain lap mobilnya namun tidak bisa di hapus. Ia yakin pasti ada orang yang sengaja melakukannya, bisa jadi membencinya atau membenci Alan.
"Kenapa seperti ini?" dia menghubungi Alan dan menyuruh Alan untuk segera datang ke toko rotinya itu.
Livia mengusap air matanya. Kenapa orang begitu tega melakukan hal yang menyakitinya dan Alan. Padahal toko ini tempatnya mencari nafkah. Ia memungut sampah yang berserakah di lantai putih depan tokonya itu. Ia berharap orang yang melakukannya secepatnya tertangkap. Hatinya terasa perih.
"Mommy." Lima orang anak menatap toko roti Alan dan tempat ibunya bekerja.
"Siapa orang jahat yang melakukan ini?" tanya Caesar.
"Iya, orang itu tidak punya hati. Dia membuat toko Om Alan jadi begini." Killian.
"Kalau bertemu, aku pasti akan meleparkan batu." Geram Damian.
Kelima bocah itu kasihan, dia pun memungut sampah itu untuk membantu Livia.
Kennet semakin tertawa melihat wanita yang ia benci mengusap air matanya. "Sampah itu seperti dirimu Livia. Selama aku masih hidup, jangan berharap kau bahagia."
Bernad semakin merasa kasihan pada Livia yang mengambil satu-satu sampah itu dan menaruhnya di tempat sampah.
Selang beberapa menit, seorang pria keluar dari sebuah mobil hitam. Pria itu melihat lantai putihnya kotor dan bahkan ia melihat sebuah tulisan. "Brengsek! Siapa yang melakykan ini?" geramnya.
"Alan, kita harus melaporkannya pada polisi. Kita tidak boleh membiarkannya." Seru Livia.
Alan langsung memeluk Livia dan mengusap punggungnya. "Aku pasti akan mencari orang itu."
Kedua tatapan Kennet bagaikan bola api. Kedua tangannya mengepal dengan kuat. Ia akan mengingat jelas bagaimana kedua orang itu berpelukan. "Cari tau siapa pria itu, aku ingin memberikan pelajaran padanya."
"Baik Tuan."