Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9: Misteri di Balik Jalan Rusak dan Luka di Tubuh Carlos
Pak Bambang duduk di belakang meja kayu yang sudah lusuh, ditemani secangkir kopi hangat yang disajikan oleh sekretarisnya, Bu Ratmi. Kopi itu mengepul pelan di udara, memenuhi ruangan dengan aroma pekat yang akrab bagi Pak Bambang. Pagi itu begitu tenang, tetapi pikiran Pak Bambang kacau balau. Bu Ratmi, yang meski sudah berusia lebih dari enam puluh tahun, masih tampak segar, cekatan dengan catatan di tangannya.
“Kau luar biasa, Bu Ratmi,” ucap Pak Bambang setelah menyesap kopi. “Seandainya aku bisa sekuat dan sesehat dirimu di usiamu nanti.”
Bu Ratmi tersenyum simpul, menganggukkan kepala sambil menata tumpukan berkas yang ada di meja. “Semua orang punya waktu, Pak. Kita hanya bisa bersyukur dan merawat tubuh ini.”
Meskipun senyum itu terlihat ramah, Pak Bambang menangkap sesuatu yang aneh dalam sorot mata Bu Ratmi. Seperti ada kekhawatiran yang mendalam. Dia mengabaikannya sejenak dan memandang keluar jendela, memikirkan tentang mahasiswi yang baru saja meninggalkannya. Ruri, gadis itu, datang dengan dalih wawancara penelitian, tapi Pak Bambang tahu benar apa yang sedang dia lakukan. Ruri bukan sekadar mencari data untuk tugas kuliah, melainkan sedang menyelidiki dugaan kasus korupsi terkait proyek perbaikan jalan di desanya.
“Aneh, kan, Bu Ratmi? Berapa kali pun jalan itu diperbaiki, selalu rusak lagi,” gumam Pak Bambang sambil mengaduk kopi. “Aku tahu orang-orang membicarakan ini di belakangku. Mereka mengira aku pakai material murahan. Tapi aku bersumpah, Bu Ratmi. Tidak ada korupsi di sini.”
Bu Ratmi menatapnya, seolah berusaha menangkap makna lebih dalam dari kata-kata bosnya itu. “Saya percaya, Pak. Bapak selalu bertindak jujur dalam pekerjaan.”
Pak Bambang terdiam sejenak. Kenangan tentang tatapan tajam Ruri kembali terlintas. Tatapan yang penuh curiga, seolah dia sudah memutuskan bahwa Pak Bambang bersalah sebelum mendapatkan fakta apapun. Meski merasa terganggu, di dalam lubuk hatinya, ada secercah harapan. Mungkin, dengan penyelidikan ini, kebenaran bisa terungkap. Mungkin ada hal yang dia tidak tahu, sesuatu yang luput dari pengawasannya.
Namun, sebelum dia sempat melanjutkan cerita kepada Bu Ratmi, tiba-tiba sekretaris yang setia itu terjatuh kejang di lantai. Pak Bambang terkejut, dengan cepat bangkit dari kursinya dan berlari menghampiri Bu Ratmi. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar saat melihat kondisi sekretarisnya. Namun, yang paling mengerikan adalah simbol ular yang tiba-tiba muncul di leher wanita tua itu, berkilauan di bawah cahaya lampu ruangan.
“Apa ini... Bu Ratmi?” Pak Bambang berbisik kaget, namun Bu Ratmi hanya tergeletak di lantai, tubuhnya bergetar hebat.
***
Di sisi lain, Carlos tiba-tiba muncul dan menyusup ke pelukan Ruri, membuatnya terbangun dari tidurnya. Betapa terkejutnya Ruri ketika melihat tubuh Carlos penuh dengan luka yang mengerikan. Ruri panik dan meraung, tetapi Carlos dengan tenang berusaha menenangkannya.
“Tenang, Ruri." "Kita harus segera pergi ke kota!” serunya, tetapi Ruri baru sadar bahwa saat itu masih jam tiga dini hari. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk merawat luka-luka Carlos, meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.
Namun, ketika Ruri tersadar, Carlos telah menghilang. Ruri merasa kesal karena ketidakhadirannya membuatnya terlambat pulang. Di tengah rasa sedih dan frustrasinya, dia menyerah pada hasil kompetisi Pemuda Tangguh yang akan diumumkan hari itu. Tidak ada harapan yang tersisa; dia merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari usaha kerasnya.
Di auditorium, suasana pengumuman hasil kompetisi eliminasi pertama Pemuda Tangguh sangat tegang. Dari 100 peserta hanya akan menyisakan 54 orang sebagai yang bertahan. Ruri duduk di barisan peserta, jantungnya berdegup kencang. Nama-nama dipanggil satu per satu dari peringkat bawah. Waktu seakan berjalan lambat, dan setiap nama yang disebut membuat kecemasannya semakin besar.
“Peringkat ke-54… Nanda!” seru pembawa acara.
Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Tapi bagi Ruri, suara itu seperti jauh, tak menyentuh kesadarannya. Matanya tertuju lurus ke depan, menunggu namanya disebut. Dia sudah menyerah pada harapannya. Apa yang dia dapatkan dari perjalanannya? Tidak ada bukti, tidak ada penemuan signifikan. Apakah semua ini sia-sia?
“Peringkat ke-10… Aditya!” seruan berikutnya menggema, namun Ruri tetap terdiam.
Suasana semakin panas ketika pengumuman mencapai peringkat lima besar. Napas Ruri tertahan, tubuhnya mulai gemetar. "Aku tak mungkin masuk lima besar," pikirnya.
“Dan peringkat ketiga... Ruri!”
Ruangan seketika meledak dengan tepuk tangan meriah, tetapi Ruri tidak langsung bereaksi. Matanya membesar, mulutnya terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia? Peringkat tiga? Rasanya tak masuk akal. Kepalanya terasa berputar, dan dunia di sekitarnya seperti berhenti bergerak.
Detik-detik yang berlalu seperti melambat, semua sorotan kamera terarah padanya, seolah menunggu reaksinya. Para peserta lain menatapnya, sebagian iri, sebagian kagum. Namun Ruri sendiri masih dalam keadaan linglung, tenggelam dalam perasaan kaget yang luar biasa. Dia seolah tidak percaya, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sudah dia lakukan hingga bisa mencapai peringkat tiga?
“Ruri, silakan naik ke atas panggung,” suara pembawa acara kembali memanggil, lebih tegas kali ini.
Ruri akhirnya tersadar dan pelan-pelan berdiri, langkahnya agak limbung saat berjalan menuju panggung. Semua mata tertuju padanya, tapi yang lebih mengejutkannya adalah pemandangan di luar sorot kamera. Di balik tirai panggung, Carlos berdiri diam sambil bertepuk tangan pelan. Tatapannya penuh makna, seolah tahu bahwa keberhasilannya ini bukan hanya sekadar keberuntungan.
Ruri naik ke panggung dengan perasaan campur aduk. Ketika dia sampai di atas, pembawa acara menyuruhnya untuk menyampaikan pidato singkat sebelum melangkah ke singgasana peringkat 3. Tangan Ruri gemetar saat memegang mikrofon, sementara wajahnya masih penuh dengan kebingungan.
Tepuk tangan dari penonton semakin bergema, tapi Ruri tidak bisa berhenti memikirkan Carlos yang tadi berdiri di belakang panggung. Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia ada di sana? Dan lebih penting lagi, bagaimana mungkin Ruri bisa mencapai peringkat tiga, padahal dia merasa tidak mendapatkan hasil apapun selama penelitiannya?
Sementara itu, di balik panggung, Carlos melangkah keluar, meninggalkan suasana kemenangan yang semarak. Senyum kecil menghiasi bibirnya. Rencana yang sudah dia susun dengan hati-hati akhirnya membuahkan hasil. Dia tahu, meskipun Ruri tidak menyadari apa yang terjadi di balik layar, gadis itu akan segera memahami peran penting yang dia mainkan.
***
Pak Bambang berusaha untuk tidak panik, tetapi matanya tertuju pada simbol ular di leher Bu Ratmi. Simbol itu aneh, tampak hidup dan berdenyut seperti sebuah luka yang bernyawa. Dia mencoba menelepon ambulans, namun suaranya tertahan saat pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Di sana, berdiri seorang pemuda dengan tatapan yang sangat tajam—Carlos.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?” Pak Bambang berteriak panik, namun Carlos berjalan mendekat, tatapannya dingin namun dalam.
Pak Bambang mundur, merasa ada bahaya yang mendekat. “Tunggu! Jaga jarak!” perintahnya, namun Carlos hanya mengangkat tangannya dengan tenang, isyarat agar Pak Bambang berhenti bicara.
“Pak Bambang, saya tidak di sini untuk menyakiti Anda,” kata Carlos dengan suara rendah, tetapi penuh kekuatan. “Saya datang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.”
Pak Bambang memandangnya curiga, tubuhnya masih tegang. “Jelaskan apa? Kau orang asing, aku tak mengenalmu!”
Carlos tidak terpengaruh. Dia hanya berjalan ke arah Bu Ratmi yang masih terbaring di lantai. “Jalan di desa Anda, yang selalu rusak meskipun diperbaiki berkali-kali... Itu bukan karena korupsi atau material yang jelek.”
Pak Bambang mengernyit, tidak memahami arah pembicaraan pemuda ini. “Lalu kenapa?”
Carlos berjongkok di dekat Bu Ratmi dan menatapnya dengan tajam. “Ada kekuatan yang lebih besar bekerja di sini. Kekuatan yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Jalan itu rusak bukan karena kesalahan manusia, melainkan karena ulah makhluk mistis.”
Pak Bambang tertawa kecil, meskipun masih tegang. “Kau bicara tentang hantu? Makhluk mistis?”
Carlos mengangguk dengan serius. “Benar. Jalan itu dirusak oleh seekor ular phyton besar, makhluk mistis yang dipanggil oleh sekretaris Anda, Bu Ratmi.”
Pak Bambang mundur, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, ada sesuatu dalam nada suara Carlos yang membuatnya tidak bisa mengabaikan cerita ini begitu saja.
“Bu Ratmi sudah lama mengendalikan makhluk itu,” lanjut Carlos. “Ular itu merusak jalan dan menyebabkan kecelakaan, menelan korban sebagai tumbal. Tujuannya? Untuk mendapatkan kekebalan dan kesehatan bagi dirinya sendiri. Itulah kenapa, meskipun dia sudah berusia lebih dari enam puluh tahun, dia tetap sehat dan bugar.”
Pak Bambang mulai merasakan bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba ingatannya kembali ke masa lalu. Lima kepala desa telah berganti selama dua puluh tahun terakhir, tetapi Bu Ratmi tetap berada di posisinya. Tidak pernah ada yang mencurigai wanita tua itu. Namun, kecelakaan-kecelakaan yang sering terjadi di jalan desa memang selalu tampak aneh, seolah-olah sesuatu yang tidak terlihat sedang bekerja.
Carlos berdiri dan mendekati Pak Bambang. “Sekretaris Anda telah menaruh benda keramat di dekat jalan itu, sebuah benda yang menghubungkan jiwa hantu ular dengan dunia manusia. Itulah sebabnya jalan itu selalu rusak, dan kecelakaan selalu terjadi.”
Pak Bambang menelan ludah. “Tapi… bagaimana aku bisa percaya pada cerita ini?”
Carlos tersenyum tipis. “Lihatlah sendiri. Simbol ular itu di leher Bu Ratmi adalah bukti. Saat benda keramat itu kehilangan kekuatannya, dia juga akan kehilangan kekebalannya. Tubuhnya yang renta akan merasakan dampaknya. Itulah yang terjadi sekarang.”
Pak Bambang memandang sekretarisnya yang terbaring tak berdaya. Simbol ular itu masih berdenyut, namun kini semakin memudar. Rasa marah dan kecewa membanjiri dadanya, tapi dia sadar tidak ada gunanya membawa ini ke pengadilan. Tidak ada bukti konkret untuk menuntut Bu Ratmi. Tapi setidaknya, sekarang dia tahu bahwa ada sesuatu yang jahat di balik semua ini.
Carlos melanjutkan, “Sebagai imbalan atas informasi ini, saya hanya meminta satu hal dari Anda.”
Pak Bambang menatapnya dengan bingung. “Apa yang kau inginkan?”
“Dukung Ruri dalam kompetisinya. Bantu dia meraih peringkat yang layak,” jawab Carlos tanpa ragu.
Pak Bambang tidak tahu apa hubungan antara Ruri dan pemuda aneh ini, tapi dia tahu bahwa Ruri memang berusaha keras dalam kompetisi Pemuda Tangguh itu. “Baiklah, saya akan membantu,” jawab Pak Bambang dengan suara lemah, matanya masih terpaku pada Bu Ratmi.
Mendengar jawaban Pak Bambang, Carlos tersenyum puas. Diapun berbalik dan mulai melangkah pergi meninggalkan Pak Bambang.
Tapi sebelum pintu itu dibuka, Carlos tiba-tiba berbalik lantas mengatakan, "Ah, sebagai tip, aku telah membunuh ular itu." Senyumnya penuh arogansi seakan menunjukkan eksistensinya yang lebih agung dari makhluk melata itu, melupakan nyawanya telah dibabat sebanyak tiga kali oleh makhluk yabg dimaksud.
***
Kembali ke tempat pengumuman, setelah momen di panggung, Ruri duduk di singgasananya dengan perasaan campur aduk. Pikiran tentang Carlos masih mengganggunya. Siapa sebenarnya pria itu? Bagaimana dia bisa selalu muncul di saat-saat yang tidak terduga dan kemudian menghilang begitu saja? Apakah semua ini kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?
Perasaan bingungnya semakin dalam ketika Ruri diperlihatkan oleh pembawa acara suatu berita di surat kabar lokal melalui layar display. Berita itu menyebutkan bahwa hasil investigasinya di desa, meskipun tampak sederhana, telah membuka kebenaran tentang penyebab sebenarnya dari kerusakan jalan yang selama ini menjadi misteri. Bukan karena material rendah kualitas seperti yang sering dirumorkan, melainkan karena ada pusat retakan yang tersembunyi di bawah permukaan tanah—sebuah temuan yang tak terduga.
Pak Bambang, kepala desa, sangat berterima kasih kepada Ruri atas temuannya. Dia bahkan secara terbuka memberikan dukungannya kepada Ruri dalam kompetisi Pemuda Tangguh, yang tentu saja meningkatkan popularitasnya di kalangan peserta lain. Berkat ini, Ruri berhasil menduduki peringkat ketiga, sebuah prestasi yang membuatnya terpana.
Namun, Ruri tahu, ada lebih banyak hal di balik kemenangan ini. Carlos... pemuda misterius itu pasti terlibat dalam semua ini. Tapi bagaimana caranya? Ruri duduk termenung, menatap tanpa arah yang jelas dari atas singgasananya sambil mencoba mencerna semua hal yang terjadi. Perlahan-lahan, dia sadar bahwa meskipun dia tidak tahu pasti peran Carlos dalam semua ini, dia harus tetap berusaha keras. Ada banyak tahapan eliminasi di depannya, dan hanya tiga peserta yang pada akhirnya akan terpilih.
Ruri menarik napas panjang, menatap jauh ke depan. Dia bertekad untuk mempertahankan posisinya di tiga besar, bahkan lebih. Tujuannya sekarang bukan hanya peringkat, tetapi juga hadiah yang menunggu di ujung jalan—kesempatan untuk kuliah di Amerika Serikat dan pekerjaan dengan gaji tinggi yang sudah lama dia impikan. Semua itu kini terasa lebih nyata, lebih dekat.
Namun di tengah ambisi dan impian yang mulai menggeliat dalam benaknya, ada satu hal yang tetap tidak bisa dia abaikan. Carlos. Siapa sebenarnya dia? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Dan kenapa dia selalu muncul di saat yang tepat, seolah tahu segalanya sebelum itu terjadi?
Ruri menggenggam tangannya yang berkeringat erat-erat, matanya menatap jauh ke depan. Hari-harinya mungkin baru saja membaik, tetapi misteri di sekelilingnya semakin tebal. Namun, satu hal yang pasti: dia tidak akan menyerah. Baik pada kompetisi, ataupun pada kebenaran yang masih tersembunyi di balik bayangan Carlos.
***
Kembali ke desa, Pak Bambang duduk di ruang tamunya, masih terpaku pada ingatan pertemuannya dengan Carlos dan Bu Ratmi yang terbaring di lantai dengan simbol ular di lehernya. Pikiran Pak Bambang berkelana jauh, mencoba mencari tahu kebenaran dari semua yang baru saja terjadi.
Carlos telah memberitahunya tentang rahasia jalan yang rusak berulang kali dan kecelakaan-kecelakaan aneh yang terjadi di sekitar daerah itu. Sebuah kebenaran yang sulit dicerna, tapi kini masuk akal bagi Pak Bambang. Selama ini, dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi tidak pernah bisa menemukan jawabannya. Ternyata, jawaban itu ada di tangan sekretaris yang sudah lama dia percaya.
“Bu Ratmi...” gumamnya lirih. Sekarang, wanita tua itu berbaring tak berdaya, tubuhnya lemah akibat susuk yang sudah tidak lagi melindunginya. Simbol ular di lehernya hilang bersamaan dengan kekuatan mistis yang selama ini menopangnya. Pak Bambang tidak tahu harus merasa lega atau marah. Wanita yang dia anggap seperti keluarga ternyata terlibat dalam sesuatu yang begitu gelap.
Namun, Pak Bambang juga tahu, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Carlos. Ruri, mahasiswi yang tadinya dicurigainya, kini menjadi harapan baru bagi desanya. Pak Bambang tidak pernah membayangkan bahwa gadis itu akan menjadi bagian dari solusi atas masalah yang selama ini membelenggu mereka. Dia memutuskan untuk memberikan dukungan penuh kepada Ruri dalam kompetisinya, persis seperti yang diminta Carlos.