"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Ternyata
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang , akhirnya mobil yang dikendarai oleh Taehwan memasuki area mansion. Yoora turun terlebih dahulu, melangkah dengan sedikit gugup seolah sudah bisa merasakan tatapan penuh penilaian yang mungkin menantinya di dalam rumah.
“Dari mana kamu?” Suara Seonho terdengar dingin, tajam, seolah ingin menguliti alasan di balik keterlambatannya. Matanya langsung tertuju pada Yoora, menyipit penuh kecurigaan.
“A...aku...” Yoora tergagap, kata-katanya tersangkut di tenggorokan seiring perasaan takut yang makin menguasainya.
“Dia bersama ku,” potong Taehwan cepat, meluruskan kebisuan Yoora yang hanya memperburuk situasi.
“Hyung bersama dia? Dari mana?” kini Jungsoo, yang sejak tadi bersandar di pundak Seonho, turut berbicara, menatap tajam sekaligus aneh seolah menuntut penjelasan.
“Hanya membeli sesuatu.” Taehwan menjawab cepat sembari melangkah mendahului Yoora, seolah tak ingin memperpanjang urusan ini.
Yoora segera menyusul, melewati para kakaknya yang masih berdiri memandang penuh keheranan. Ia menyadari Namjin juga ada di sana, menatapnya dengan kebingungan. Namjin tahu Taehwan tak pernah mau dekat-dekat dengannya, apalagi sampai meminta Yoora menemani untuk membeli sesuatu. Kejadian ini jelas memancing curiga.
“Tae... aku belum selesai bicara,” suara Seonho kembali terdengar, dingin dan penuh tekanan, membuat langkah Taehwan terhenti seketika, dia menghelang nafas panjang dan menoleh sedikit.
“Ada apa lagi, Hyung?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski ada kekesalan yang jelas di suaranya.
“Dari mana kalian berdua?” Seonho bertanya lagi, suaranya rendah tapi berisi tuntutan.
“Aku sudah bilang, aku membeli sesuatu dan minta dia ikut untuk membantu ku mencari sesuatu ,” jawab Taehwan tanpa memandang Seonho, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
“Jadi, sekarang kamu sudah berani berbohong padaku?” ucap Seonho terkekeh pelan, nadanya penuh kekecewaan dan amarah yang disembunyikan di balik senyum sinis.
“Hyung, kenapa sih? Aku menjawab, Hyung bilang aku berbohong. Kalau aku diam, aku dibilang tidak sopan. Lalu, mau Hyung apa?!” ucap Taehwan sembari mengepalkan tangan, menahan emosi yang mulai menggelegak di dadanya. Tatapan Seonho semakin tajam, penuh amarah yang terpendam, dia sangat tidak suka jika saudaranya menjawab ucapan nya seperti itu .
“Keberanian macam apa ini? Lalu, mauku apa?” Seonho mendekat, sorot matanya mengintimidasi.
“Hyung, sudahlah,” Namjin akhirnya membuka suara, mencoba menengahi ketegangan di antara mereka. Namun, seketika itu pula tatapan tajam Seonho beralih padanya, membuat Namjin sedikit tertegun.
“Jangan ikut campur. Aku harus selesaikan ini,” ujar Seonho tegas, seolah peringatan pada siapa pun yang mencoba mencampuri urusannya dengan Taehwan.
“Hyung… mungkin itu memang benar. Lagipula, apa salahnya kalau mereka pergi bersama? Yoora juga tidak mungkin melakukan hal yang tidak- tidak,” Namjin berusaha lagi, mencoba menenangkan Seonho, sekaligus membela Yoora dan Taehwan dari serangan kemarahan sang kakak.
“Aku bilang diam, Namjin!! Suara Seonho terdengar dingin, penuh penegasan, dan mengiris seperti pisau Aku tidak mau adikku yang lain menjadi pembangkang sepertimu.” Ucapan itu terlontar dengan nada geram yang penuh kebencian, seolah ingin menghancurkan setiap perasaan yang ada di ruangan itu.
Kata-kata Seonho langsung membuat Namjin terdiam. Seperti petir yang menyambar jantungnya, ucapan itu menusuk tepat di hati. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan langsung terlukis di wajahnya, dan meskipun ia mencoba untuk menahan diri, tubuhnya terasa berat. Dengan perlahan, ia menundukkan kepala, menerima ucapan pedas itu tanpa perlawanan, seperti seekor singa yang baru saja dilumpuhkan.
Keheningan yang tegang mengisi ruangan, dan semua yang berada di sana hanya bisa saling pandang, seolah berbicara dalam hati mereka masing-masing. Tak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun, takut membuat keadaan semakin buruk. Yoora menunduk dalam diam, merasakan setiap kata yang terucap menusuk dirinya. Dalam hatinya, ia hanya bisa menelan kepedihan yang semakin dalam. Menyadari bahwa dirinya kembali menjadi pusat masalah, tanpa tahu harus berbuat apa.
“Hyung, aku akan ke kamar terlebih dahulu,” ujar Jihwan, yang sejak tadi mengamati situasi dengan penuh ketegangan. Ia sudah cukup paham dengan keadaan dan memilih untuk mundur sejenak dari ruangan yang penuh dengan amarah itu.
“Masuk ke kamar mu, Jungsoo,” perintah Seonho dengan suara keras, membuat Jungsoo yang masih ada di sana segera beranjak pergi. Kepergian kedua adiknya tidak menyelesaikan ketegangan, malah semakin memperburuk suasana yang sudah mencekam. Setelah melihat kedua adiknya pergi, Seonho kembali berucap dengan suara yang lebih tegas.
“Katakan yang sejujurnya, kalian dari mana?” Tanya Seonho sembari berjalan mendekati Yoora yang masih diam membisu. Matanya penuh ancaman, seolah siap mengeluarkan api dari tatapannya yang begitu tajam. Yoora menelan ludah, bingung harus menjawab apa. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan hati yang sudah sesak semakin terasa menyesakkan.
“A...aku...” suaranya serak, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kata untuk keluar.
“Katakan!” Seonho tiba-tiba membentak, suaranya melengking tinggi, membuat Yoora terkejut. Rasa takut yang mendalam mencengkeram hatinya, membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Tanpa ampun, Seonho mencengkeram dagu Yoora dengan keras, memaksanya untuk menatap matanya. Yoora meringis kesakitan, tubuhnya gemetar, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa diam, menahan rasa sakit yang seonho berikan.
“Hyung...” suara Namjin dan Taehwan terdengar serempak, penuh peringatan, mencoba menenangkan Seonho yang semakin tak terkontrol , Meskipun kata-kata mereka terdengar lembut, di dalam hati mereka berdua, ketegangan sudah meluap, dan perasaan cemas menyelimuti.
Seonho menatap keduanya, tatapannya tajam dan penuh perasaan yang sulit diungkapkan. Sebentar ia terdiam, lalu tertawa sumbang, tawa yang lebih seperti teriakan pilu. Tawa itu terasa miris, dan ada sedikit nada mengejek dalam suaranya yang semakin menambah luka.
“Aku paham sekarang, aku paham” Suaranya penuh dengan kekesalan dan rasa tidak percaya.
Tawa Seonho itu semakin menusuk, seakan meremehkan usaha Taehwan untuk menahan diri, sementara Yoora tetap terdiam, merasakan tubuhnya semakin lemas di bawah cengkeraman Seonho yang semakin menekan. Suasana itu menjadi semakin berat, dan meskipun semua orang di sana bisa merasakan ketegangan yang hampir meledak, tak ada yang berani bergerak.
"Ouh... Aku paham sekarang, kamu sudah tidak membenci dia lagi?" Tanya Seonho, suaranya tajam dan penuh sindiran, seolah-olah menggali luka yang sudah lama ada. Taehwan yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam, bibirnya terkatup rapat.
“Taehwan yang dulu begitu membenci adiknya kini sudah tidak lagi membenci nya, apa yang dia berikan padamu? Apa dia memberikan sesuatu yang begitu berharga hingga kebencianmu yang sudah tertanam selama bertahun-tahun lamanya sirna dalam sekejap? Apa yang dia lakukan sudah berhasil mengubah rasa kecewamu padanya? Yang dia lakukan berhasil membuatmu melupakan kenyataan bahwa karena dialah kita semua kehilangan kedua orang tua kita? Begitu?” Seonho tersenyum dengan pahit, namun sorot matanya penuh dengan campuran kesedihan yang dalam dan kebencian yang membara.
Setiap kata yang keluar dari mulut Seonho seperti pisau yang menyayat hati Taehwan, membuatnya merasa tak berdaya dan hancur. Perasaan bersalah dan kebingungannya semakin menyakitkan.
“Hyung... Dia tidak sepenuhnya salah atas hal itu, dia juga tidak menginginkan hal itu terjadi pada kita. Berhentilah membenci nya, aku mohon,” ujar Taehwan dengan suara yang gemetar, penuh keputusasaan. Ia menatap Seonho dengan mata penuh harap, meskipun hatinya juga penuh dengan keraguan.
“Berhenti katamu? Seonho mendekat, wajahnya memerah karena amarah yang terpendam begitu lama. Dengarkan aku, Tae. Walaupun dia menyerahkan nyawanya sekalipun padaku, aku tidak akan pernah sudi memaafkan apa yang telah dia lakukan pada kita, kau tahu apa tentang semua perjuanganku? Kau pikir kau bisa mencapai kesuksesanmu seperti saat ini karena siapa? Karena aku... aku yang berjuang sendirian siang dan malam hanya untuk memastikan hidup kalian lebih baik daripada hidupku. Pernahkah kau berpikir bagaimana lelahnya aku saat itu? " Suaranya semakin meninggi, tetapi kali ini ada juga kesedihan yang mengalir di dalamnya. Seonho yang selama ini terlihat begitu keras dan penuh kebencian kini meneteskan air mata. Setetes air mata jatuh dari matanya, menuruni pipinya yang tegang. Ia menatap Taehwan dengan kesedihan dan rasa kecewa yang begitu mendalam.
Taehwan terdiam, matanya terbuka lebar, merasakan setiap kata yang keluar dari Seonho sangat berat. Ia melihat air mata Seonho, dan perasaan bersalah mengalir deras dalam dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk memperbaiki semua yang telah terjadi.
"Pernahkah kamu merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kebencian semua orang? Penghinaan, rasa sakit, rasa tidak dihargai, keputusasaan, hingga perasaan ingin mengakhiri hidup ini karena merasa dunia tidak pernah adil padaku?, kau berani berucap seperti itu karena kau tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan, ucapan mu itu omong kosong!. Kau tahu tidak bagaimana kondisi keluarga kita dulu? Kau pikir semua kekayaan ini datang dengan sendirinya hanya karena aku ongkang-ongkang kaki? Kau pikir semua fasilitas yang aku berikan pada kalian semua itu hasil kerja keras siapa?" Seonho berbicara dengan suara yang penuh amarah, matanya penuh kekesalan yang mendalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pisau yang mengiris perasaan Taehwan. Seonho menatap Taehwan dengan tatapan tajam, membuatnya semakin terpojok dalam situasi yang semakin mencekam ini.
"Aku tahu semua pengorbananmu, Hyung... dan memang benar jika aku membencinya, tapi itu dahulu. Suaranya terdengar tercekat. Hyung tahu dia bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan ku... dia tidak peduli pada dirinya sendiri, dia tidak peduli jika dia akan terluka karena menyelamatkan ku, ta..." Ucapan Taehwan terhenti, terbata-bata, karena Seonho kembali berbicara dengan nada yang lebih menusuk.
"Benar begitu? Seonho mengejek, pandangannya kembali tertuju pada Yoora yang masih terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Benar begitu Yoora? Kau rela terluka demi saudaramu? Kau akan bahagia jika aku bahagia?" Tanya Seonho dengan nada tajam, seolah ingin menantang kebenaran yang ada dalam hati Yoora.
"Akhh... sakit, oppa!" Ringisannya terdengar begitu lirih, seperti suara yang hampir tenggelam dalam kesedihan yang tak terucapkan. Ia menatap tangannya yang digenggam begitu erat oleh Seonho, merasakan perbedaan kekuatan yang begitu mencolok. Seonho, dengan kekuatan seorang laki-laki, jelas tidak sebanding dengan tenaga Yoora yang lemah.
"Tapi aku bahagia, Seonho melanjutkan dengan senyuman yang lirih nya, meskipun air mata mulai mengalir di matanya. Aku bahagia bisa melihatmu kesakitan... tahanlah, bukan kah kamu bilang kebahagiaan kami adalah kebahagiaanmu? Lalu kenapa kamu menangis?" Tanya Seonho sambil tersenyum, namun senyum itu terasa kosong dan penuh kebencian. Air matanya menetes begitu saja, seakan-akan dia sendiri terperangkap dalam kebenciannya yang tak kunjung padam. Yoora merasakan cengkraman Seonho semakin mengencang, tubuhnya semakin lemas, namun ia berusaha menahan tangisan yang hampir keluar.
"Sakit oppa... Hiks... hiks..." Suara tangisnya terdengar begitu murni, namun setiap isakan yang keluar hanya membuat Seonho semakin terbuai dalam rasa sakit yang dia ciptakan.
"Hyung..." Ujar Taehwan dengan suara yang penuh kekhawatiran, berusaha melepaskan cengkraman Seonho, merasa semakin tak tahan melihat kondisi Yoora yang semakin menderita.
"Jangan panggil aku Hyung, Seonho membentak, wajahnya semakin merah karena kemarahan yang meluap Aku bukan kakakmu lagi. Berani sekali kau menyuruhku berhenti membenci alasan ku kehilangan kebahagiaan. Kamu ingin menjadi seperti Namjin, bukan? Lakukan itu, aku tidak peduli lagi padamu..." Ucapan Seonho membuat suasana semakin tegang. Semua orang yang ada di sana terdiam, menatap Taehwan dengan tatapan yang penuh dengan kesedihan. Mereka tahu, meskipun Seonho keras dan penuh kebencian, dia juga sangat terluka, namun entah bagaimana ia tidak bisa lagi melihat jalan keluar dari kebencian yang sudah ia tanamkan sedari dulu.
"Hyung, jangan seperti itu," Haesung akhirnya berbicara, suaranya terdengar penuh keprihatinan. Ia sangat menyayangi Taehwan, meskipun dia tahu Taehwan pun salah dalam banyak hal. Namun, mendengar Seonho berkata seperti itu pada Taehwan membuat Haesung merasa hatinya hancur.
“Kau juga ingin membelanya, Hae-ssi?” tanyanya dengan suara datar, namun terbungkus dengan kesan yang tajam. Seonho tidak menatap langsung pada Haesung, seolah enggan untuk melihat siapa pun lagi, terutama Haesung yang merasa terpanggil untuk ikut campur.
Haesung merasa ciut, dan seketika itu pula dia merasa kata-katanya seperti ditelan oleh udara yang semakin berat. Namun ia tetap berdiri di sana, menatap Seonho dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.
Haesung hanya diam, tidak berani mengatakan apapun lagi pada Seonho. Dia tahu bahwa sang kakak tengah berada di ambang batas, emosi Seonho sudah meluap dan dia tak ingin menjadi pemicu pertengkaran lebih lanjut. Yongki, yang melihat Haesung terdiam, berusaha mencegahnya untuk ikut campur. Sejak tadi dia hanya memperhatikan tanpa berani berbicara, takut jika ucapannya akan menyinggung perasaan Seonho. Yongki tahu betul betapa sensitifnya Seonho ketika berbicara tentang perjuangan dan pengorbanannya selama ini. Semua orang di ruangan itu seolah terdiam dalam kekosongan, berusaha menjaga jarak, namun kesedihan dan kecemasan mengisi atmosfer itu.
"Ikut dengan ku," ujar Seonho dengan suara dingin, menatap mereka semua satu per satu. Dengan langkah tegap dan penuh kebencian, ia pergi meninggalkan mereka semua, sambil menyeret Yoora dengan paksa.
"Hyung..." Namjin berlari mengejar Seonho dengan kekhawatiran yang teramat dalam. Wajahnya penuh dengan kecemasan, matanya menyiratkan ketakutan akan tindakan Seonho yang bisa membahayakan Yoora.
"Hyung, tunggu! Jangan seperti ini ku mohon " teriak Namjin lagi, namun Seonho hanya terus berjalan tanpa menoleh.
"Diam di sini, Yongki menahan tangan Namjin dengan keras, mencegahnya mengejar Seonho lebih jauh. Biarkan Seon Hyung pergi, " tambah Yongki dengan suara datar, namun tegas. Namjin berontak, berusaha melepaskan diri, tetapi Yongki menahannya dengan kekuatan yang lebih besar.
"Tidak, Hyung... lepaskan aku! Hyung jangan bawa Yoora." Namjin berteriak, mencoba merebut kembali kebebasannya. Namun Yongki tetap tidak bergeming, tetap menahannya dengan sekuat tenaga.
"Kamu bisa diam tidak, biarkan Seon Hyung pergi!! " Bentak Yongki, urat - urat leher pria tersebut terlihat mengencang pertanda jika dirinya begitu emosi .
Taehwan yang melihat kejadian itu berusaha mengejar Seonho, yang semakin jauh dari pandangannya, dengan niat untuk menghentikannya. Namun Haesung, dengan wajah penuh rasa sakit, segera menahan Taehwan.
"Kau sudah tidak waras, Tae... Apa yang kau pikirkan? Sadarlah," ujar Haesung dengan suara penuh penekanan.
"Hyung... Jangan bawa Yoora..." teriak Taehwan, suaranya pecah karena kekhawatiran yang tak tertahankan. Ia tak memperdulikan perkataan Haesung, hanya ingin memastikan bahwa Yoora tidak pergi dengan Seonho yang penuh kemarahan itu.
"Selangkah kalian berdua keluar dari sini, aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang sama seperti yang Seon Hyung lakukan," ujar Yongki dengan suara dingin yang penuh ancaman. Ketika mendengar deru mobil yang menjauh, tanda bahwa Seonho sudah berhasil membawa Yoora pergi, suasana semakin hening.
"Anak itu... apa yang dia lakukan hingga Tae dan Namjin Hyung sampai seperti itu?" tanya Jihwan, yang juga memperhatikan kekacauan itu dari lantai atas. Namun, Jungsoo hanya diam, menatap ke bawah tanpa mengatakan apapun.
"Aku akan ke kamar ku Hyung," ujar Jungsoo akhirnya kembali turun untuk masuk ke kamar nya, dan meskipun tadi kedua nya menuju ke lantai atas tapi mereka tidak benar-benar masuk ke kamar. Mereka hanya bersembunyi di sana, memperhatikan dengan diam semua yang terjadi, tanpa memberikan penjelasan apapun.
Yongki dan Haesung akhirnya meninggalkan Namjin dan Taehwan di sana, kedua pria itu saling memandang dengan tatapan penuh penyesalan. Namjin yang terkenal kuat dan jarang sekali menangis, hari itu meneteskan air mata, terisak pelan melihat keadaan yang semakin kacau ini. Namjin berjalan mendekati Taehwan, yang sudah menangis sesenggukan, seolah tak bisa menahan penyesalan yang begitu dalam.
"Sudahlah... nanti Hyung akan berusaha mencari Seonho," ujar Namjin sambil memeluk Taehwan dengan lembut. Ia berusaha menenangkan adiknya yang begitu rapuh.
"Semua ini karena aku, Hyung," lirih Taehwan, suaranya penuh dengan rasa bersalah yang begitu mendalam.
"Tidak.. kamu sudah benar Tae" ujar Namjin yang mendukung keputusan sang adik , dalam satu sudut Namjin senang karena akhirnya Taehwan sudah tidak membenci yoora lagi .
"Bagaimana jika Seonho melakukan hal yang tidak-tidak pada Yoora?" Isakannya semakin keras, seakan takut bahwa segalanya akan berakhir dengan tragedi yang tak bisa mereka hindari.
••
"Dek... bangun, kita sudah sampai..."
Panggilan suara itu seolah menjadi tarikan untuk Yoora agar dirinya bisa segera terbangun dari alam bawah sadarnya. Perlahan, Yoora mengerjapkan matanya, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sebuah sensasi hangat mengalir dalam tubuhnya, menandakan bahwa ia sudah kembali ke kenyataan.
"Bangun... kita sudah sampai. Ayo lanjutkan tidur di dalam?" Ujar Taehwan, suara lembutnya mengusir rasa kantuk yang masih membalut Yoora. Mobil mereka kini sudah berhenti di halaman depan mansion, suasana yang terasa familiar.
"Ak... iya, maafkan aku oppa," tutur Yoora, masih terngiang-ngiang dengan mimpinya barusan, berusaha menenangkan pikirannya yang sedikit terombang-ambing.
"Kenapa, panas sekali sampai berkeringat seperti itu?" tanya Taehwan, yang kini melihat keringat di pelipis Yoora. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pelipisnya dengan lembut, mencoba memberi kenyamanan.
"Ak... tidak," jawab Yoora canggung, merasa sedikit terkejut dengan perhatian Taehwan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Pikirannya masih tertahan di mimpi yang tadi, entah kenapa mimpi itu membuatnya merasa gelisah.
"Ayo turun," ujar Taehwan, sambil membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar dengan tenang, namun matanya masih mencerminkan perhatian pada Yoora.
"Oppa, bagaimana jika yang lain bertanya soal kita?" tanya Yoora dengan suara ragu, masih teringat dengan mimpi buruknya tadi. Sepertinya, ketakutan itu masih menghantuinya.
"Apa?" Taehwan bertanya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu.
"Iya, bagaimana jika yang lain tahu bahwa aku kembali bersama oppa? Apa tanggapan mereka?" tanya Yoora dengan cemas, matanya sedikit berkedip seiring kegelisahan yang merayapi hatinya.
"Tak apa-apa, kamu ini kenapa?" tanya Taehwan, bingung sekaligus khawatir. Ia tidak mengerti apa yang membuat Yoora begitu gelisah.
" Aku takut mereka akan marah jika melihat oppa baik padaku " ucap Yoora, mengatakan kegelisahan nya.
"Kamu terlalu berpikir terlalu jauh," tambahnya, berusaha menenangkan adiknya.
"Hiks... aku... aku barusan bermimpi, kamu dimarahi oleh Seonho oppa karena baik padaku," ujar Yoora, akhirnya mengungkapkan isi hatinya yang penuh kecemasan, mengenai mimpi yang begitu menyakitkan baginya. Mendengar itu, Taehwan langsung merengkuh tubuh Yoora dengan lembut, berusaha menenangkan adiknya.
"Sudahlah, itu hanya mimpi. Kamu terlalu berlebihan, tidak perlu dipikirkan, Ayo turun, kita tidak boleh berlama-lama di sini, " ujar Taehwan dengan suara lembut. Keduanya akhirnya turun dari mobil. Namun, kali ini Taehwan berjalan terlebih dahulu, sementara Yoora mengikuti langkahnya di belakang, merasa sedikit canggung dan masih terjebak dalam bayang-bayang mimpi yang mengganggu.
Saat mereka masuk ke dalam mansion, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah empat kakak tertua mereka yang sedang duduk di ruang tengah, bersantai sambil membahas sesuatu. Kehadiran Taehwan dan Yoora segera menarik perhatian mereka. Pandangan Yongki teralihkan saat melihat keduanya kembali.
"Dari mana kalian?" tanya Yongki, suaranya yang datar membuat Seonho, Namjin, dan Haesung ikut mengalihkan pandangan mereka pada keduanya.
"Dari luar... ada sesuatu yang aku cari," jawab Taehwan dengan nada santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yongki mengangguk, tampaknya menerima jawaban tersebut tanpa bertanya lebih lanjut.
Setelah itu, Taehwan langsung masuk ke kamarnya, diikuti oleh Yoora yang juga segera menuju kamar untuk mandi, berusaha menenangkan pikirannya. Setelah itu, dia berniat untuk memasak makanan untuk keluarganya, berharap bisa mengalihkan perhatian dari kecemasan yang mengganggunya. Hatinya bisa sedikit bernafas lega karena, setidaknya, mimpi buruknya tidak menjadi kenyataan.