Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Beraninya Dia Menyentuh Marsha.
“Apa kamu sedang sakit?” Tanya Chef Robby ketika melihat Marsha yang tidak fokus saat bekerja.
Beberapa kali, gadis itu membungkukkan badannya hingga berjongkok.
“Aku sedang datang bulan, Chef.” Ucap Marsha pelan.
Setelah berhasil kabur dari Rafael, ia merasakan sakit yang begitu melilit di bagian perut bawahnya. Dan beberapa menit berada di apartemen, Marsha pun kedatangan tamu bulanannya.
Chef Robby mengangguk paham. Tiga tahun bekerja sama dengan Marsha membuatnya tahu sedikit tentang gadis itu.
Di hari pertama datang bulan, Marsha akan merasa sedikit lemas, di sertai muntah, hingga sakit kepala. Jika itu terjadi, gadis itu akan meminta ijin libur.
“Kenapa tidak ijin saja?” Tanya Chef Robby khawatir. Ia kemudian mengambilkan segelas air hangat untuk Marsha.
“Aku baru libur kemarin, Chef.” Marsha menerima mug berisi air hangat itu, kemudian meminumnya.
“Kamu pulang saja. Lagi pula, hari ini aku juga shift sore.” Ucapnya lagi sembari mengusap lengan gadis itu.
Marsha menggeleng pelan. Ia merasa tidak enak hati. Baru bekerja selama dua jam sudah minta ijin pulang. Sebentar lagi waktu makan malam, orderan makanan pasti akan penuh.
Chef Robby mengerti arti dari gelengan kepala asistennya itu. “Kamu tidak perlu memikirkan waktu makan malam. Aku akan membantu menyelesaikan pesanan. Lebih baik sekarang kamu pulang. Jangan sampai kamu pingsan, dan malah merepotkan aku disini.” Gurau pria dewasa itu.
“Tetapi Chef—
“Ekhmm!!
Marsha dan Chef Robby menoleh ke belakang mereka. Rafael berdiri sembari bersedekap dada dengan tatapan yang siap menikam lawannya.
“Apa aku membayar kalian untuk mengobrol?” Tanya pria itu sembari menatap ke arah Marsha.
Ia hendak pulang. Namun, ketika mengetahui Marsha mendapat tugas sore, Rafael pun memutar langkah menuju restoran, dan tujuannya adalah dapur.
Dan, sampai di tempat membuat makanan itu, ia mendapati pemandangan yang membuatnya panas. Sang pujaan hati sedang mengobrol dengan seorang pria, bahkan sangat dekat dan apa yang ia lihat tadi? Pria dewasa itu mengusap lengan Marsha.
Kurang ajar sekali. Batin Rafael menjerit.
“Maaf, pak. Aku hanya sedang meminta Marsha untuk ijin pulang. Dia sedang tidak enak badan.” Jelas Chef Robby.
“Aku tidak apa-apa, Chef.” Marsha menatap Chef Robby sembari menggeleng pelan.
“Jangan keras kepala, Sha. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Sudah. Aku yang akan mengurus pekerjaan disini. Sebaiknya kamu pulang.” Chef Robby mengambil mug dari tangan Marsha.
Melihat hal itu membuat Rafael semakin panas.
“Jika sedang tidak enak badan, sebaiknya kamu pulang saja. Daripada disini, yang ada akan membuat keadaan semakin runyam.” Pria itu bersuara.
Marsha melihat ke arah Rafael. Pria itu menatapnya dengan tatapan memelas. Meminta untuk menurut.
Marsha menghela nafas pelan. Ia memang sebaiknya pulang. Ia tidak bisa terus berpura-pura kuat, saat rasa sakit semakin keras menyerang perut bagian bawah gadis itu.
Daripada membuat perdebatan di tempat kerja, lebih baik pulang dan merebahkan diri di atas ranjang. Gadis itu pun menurut. Ia berpamitan pada Chef Robby.
“Baik, Chef. Aku akan pulang. Maaf, aku membuat Chef kerepoatan.” Ucap Marsha tidak enak hati.
“Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu istirahat. Jangan lupa, kompres hangat perutmu. Supaya sakitnya berkurang.” Pria dewasa itu kembali mengusap lengan Marsha.
Sontak membuat Rafael kembali memanas.
‘Apa-apaan pria ini? Beraninya dia menyentuh Marsha!’
“Saya permisi, pak.” Ucap Marsha dengan sopan kepada Rafael. Bagaimana hubungan mereka, ia harus tetap menghormati pria itu saat sedang berada di tempat kerja.
Marsha pun keluar meninggalkan dapur.
\~\~\~
Meski ia tidak membawa kendaraan, Marsha tetap memilih keluar melalui parkiran hotel. Ia tidak enak pulang lebih dulu, saat teman-temannya yang lain masih sibuk bekerja.
Melangkah dengan gontai, Marsha tak menghiraukan saat sebuah mobil berhenti di sampingnya. Ia tetap melangkah sembari memegang perutnya yang terasa nyeri.
“Akh.” Gadis itu tersentak. Ada orang yang menarik tangannya.
“El.” Gumamnya, sembari mengerejapkan mata.
“Ikut aku.” Rafael membawanya masuk ke dalam mobil pria itu.
Marsha tersadar setelah mobil sedan mewah milik Rafael itu melaju meninggalkan area parkir.
“El. Tolong berhenti. Aku bisa pulang sendiri.” Kali ini, Marsha tidak meronta. Menghadapi Rafael sepertinya harus dengan tenang. Memberontak hanya akan membuat pria itu semakin menjadi.
“Tidak. Kamu sedang sakit. Aku akan mengantarmu.” Rafael tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di gedung apartemen. Rafael sudah tahu dimana Marsha tinggal. Tidak mendapat informasi dari Aldo, ia masih bisa bertanya pada Manager restoran.
“Terimakasih, El.” Ucap Marsha kemudian keluar dari mobil pria itu.
Baru lima langkah, Marsha tersentak karena Rafael mengikutinya.
“Aku akan mengantarmu.” Pria itu menekan tombol lift. Kemudian menarik Marsha masuk ke dalamnya.
“Darimana—
Ting!!
Suara lift terbuka memotong ucapan Marsha. Mereka telah tiba di lantai tiga, dimana unit apartemen berada.
Rafael melangkah lebih dulu. Apartemen Marsha terletak tak jauh dari pintu lift.
“Apa kamu mau aku mendobrak pintu itu, atau kamu yang membukanya?” Tanya Rafael saat mereka tiba di depan pintu.
“Aku akan membukanya.” Marsha tidak ingin banyak berdebat. Jelas Rafael tahu dimana ia tinggal, pria itu adalah atasannya, pemilik hotel yang menyediakan tempat tinggal untuk para Staff dari cabang Bali.
Tanpa di persilahkan, Rafael masuk begitu saja. Hal itu membuat Marsha menghela nafas pelan. Ia terpaksa menutup pintu, agar tidak ada orang lain terlebih rekan kerjanya yang melihat keberadaan Rafael di dalam unit gadis itu.
“Kamu sakit perut karena apa?” Tanya Rafael sembari melepas jas yang ia gunakan. Tadi ia sempat mendengar Chef Robby mengatakan jika Marsha sakit perut.
Pria itu mengamati sekitar ruangan itu. Sangat sempit menurutnya. Bahkan kamar di dalam penthouse pria itu masih lebih luas dari unit yang di tempati oleh Marsha.
“Datang bulan.” Ucap Marsha pelan.
Rafael menganggukkan kepalanya. “Duduklah. Atau kamu rebahan di atas kasur.” Pria itu melihat ke arah tempat tidur yang hanya di batasi oleh tembok kamar mandi.
‘Lebih pantas di sebut kost-kostan daripada apartemen.’ Batin pria itu tersenyum mengejek.
“Aku—
“Jangan membantah, Cha. Kamu sedang sakit. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Ingat, dulu kamu akan sangat manja jika sedang datang bulan—
“Tolong jangan membahasnya lagi.” Marsha menurut dan merebahkan diri di atas ranjang. Ia tidak punya tenaga untuk berdebat. Biarlah Rafael melakukan sesuatu sesuai keinginannya.