Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Tentang Masa Lalu yang Menyakitkan
Meta menerima sekantung plastik putih dari wanita pemilik klinik yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Prismatrix Kafe. Mungkin sekitar setengah jam perjalanan. Dan disepanjang perjalanan, Meta hanya diam mengikuti kemana Aksel membawa motornya melaju. Mempercayakan semua hal pada cowok itu sekaligus bertaruh pada dirinya sendiri untuk membuktikan tujuan Aksel, mengapa ingin lebih dekat dengan dirinya akhir-akhir ini. Benar-benar sedang gencar dan akan memicu masalah besar dalam hidup Meta kedepannya.
Cowok itu tidak menjelaskan apapun padanya tapi berani sekali membawanya datang ke klinik tanpa bertanya apakah Meta setuju atau tidak. Aksel hanya memerintahnya untuk diperiksa, diobati, kemudian diberikan sekantung plastik putih yang berisi obat-obatan untuk lukanya. Lagi-lagi Meta hanya diam dan menurut, sesekali tersenyum pada wanita yang tadi melihat luka-luka di wajahnya. Saat wanita itu mengobrol bersama Aksel, yang Meta lakukan hanyalah memperhatikan keadaan di dalam klinik yang cukup luas itu. Saat dirinya diajak masuk ke dalam obrolan, Meta hanya mengangguk dan tersenyum tanpa berniat menambahkan apapun.
Meta hanya berharap dan berdoa bahwa situasi ini akan cepat berakhir, lalu dirinya bisa pulang dan istirahat.
Sepertinya Tuhan mendengarkan permohonan Meta. Akhirnya Aksel mengatakan kepada wanita berambut pendek seperti laki-laki itu, bahwa ia akan mengantarkan Meta pulang ke rumah. Mereka pun bangkit sama-sama dari kursi, wanita yang tidak Meta ketahui namanya itu mengantar hingga di depan klinik. Tak jauh dari posisi motor sport-nya terparkir.
"Ini pacar kamu, Sel?"
Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi wanita itu tahan terlontar juga, membuatnya lega tapi membuat Meta mendelik kesal pada Aksel.
Aksel gelagapan, takut melihat tatapan Meta yang mengulitinya habis-habisan. "Bukan, Tante. Jangan bilang ke bunda soal ini, ya. Aku cuma mau bantu Meta, kebetulan dia anaknya bar-bar banget sama cowok," ucap cowok itu yang jelas membuat Meta meradang. Namun ia masih ingat sedang ada dimana dan bersama siapa, hingga berusaha untuk tidak termakan emosi.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum, berjanji akan tutup mulut. "Masa, sih? Tante liat anaknya cukup pendiam, kok, Sel. Kalau lain kali butuh bantuan, dateng aja ke sini, Tante selalu di sini, kok, asalkan di waktu jam kerja," beritahunya. Menawarkan diri pada Meta yang ia tahu punya sebuah masalah yang dirahasiakan. Melihat tatapan Aksel gadis itu, Anggun dapat menilai hubungan mereka seperti apa. Dan ini kali pertama Aksel mengenalkan seorang perempuan padanya, bahkan dalam keadaan babak belur.
"Ta, lo dibilang pendiam sama Tante Anggun. Gue pikir bisa lo cuma jadi garong doang, ternyata jadi kucing juga bisa, ya," bisik Aksel sebelum menatap tantenya itu kembali. Sekarang Meta sudah tahu namanya, akan ia ingat dengan baik.
"Makasih, ya, Tan. Aku ngerepotin lagi, untuk luka-luka itu, mungkin aku belum bisa jelasin sekarang." Meta menoleh lagi pada Aksel, mempertajam tatapannya. Aksel hanya menatap Meta dengan tatapan tak enak, ia sadar kalau terlalu ikut campur.
"Nggak apa-apa, Sel, asalkan kamu bisa jaga diri kamu baik-baik. Jangan mengecewakan bundamu. Dan yang terpenting, jangan semena-mena terhadap perempuan. Ta, bilang aja ke Tante kalau Aksel macam-macam." Perempuan itu tertawa, membuat Meta harus tersenyum dan menjawab iya.
"Aku nggak sebejat itu, Tan. Aku akan ingat pesan Tante dan bunda," jawab Aksel. "Aku akan bertanggung jawab sama ucapan aku, Tan.
Kening Meta mengernyit, seolah hal ini bukan kali pertama atau kedua yang dilakukan oleh Aksel. Kemungkinannya, Aksel memang sering merepotkan wanita bernama Anggun itu. Bahkan dia tidak merasa heran lagi atas kejanggalan yang ada. Atau luka bekas kekerasan di wajah dan tubuhnya. Anggun mungkin tahu, namun memilih untuk buta dan bisu. Ia tak ingin Aksel menjauh darinya, membuat Meta penasaran dan melupakan kemarahannya terhadap Aksel.
Meta melirik Aksel buru-buru, mencaritahu sesuatu atas pertanyaan di kepalanya. "Lo sering bawa temen-temen lo ke sini abis tawuran?" selidiknya.
Aksel nyengir, Anggun memerhatikan interaksi keduanya yang manis dan menggemaskan. Kebetulan sekali, dirinya tidak bisa mendapatkan keturunan setelah lima belas tahun menikah dengan suaminya. Dan dua tahun lalu, Anggun diceraikan oleh suaminya karena hal itu. Ia tidak bisa memperoleh keturunan. Alasan yang membuat Anggun menyukai anak-anak, terutama Aksel, putra dari teman masa kecilnya.
"Tan, aku sama Meta pamit, ya."
"Hati-hati, udah malam. Bawa cewek jangan ngebut, kasian."
"Siap, jangan khawatir."
Setelah menyelesaikan ritual berpamitan yang super panjang itu karena Anggun selalu mencari topik pembicaraan, akhirnya Meta dan Aksel berhasil lolos. Sekarang mereka sedang di jalan raya, Aksel sengaja memelankan laju motornya hingga kemudian melihat sebuah kedai kopi. Di sana ada beberapa bapak-bapak yang sedang bercengkerama sambil menikmati kopi. Karena wangi khas kopi yang memabukkan itu seakan memanggil, Aksel jadi tergoda dan akhirnya menepikan motornya di depan kedai. Sekaligus punya alasan untuk berlama-lama dengan Meta.
"Sel, lo nyari mati banget, ya. Dasar hama!" maki Meta, seakan tahu apa yang akan Aksel lakukan. "Buruan balik ke kafe, gue harus pulang."
"Ngopi dulu, Ta, biar nggak ngantuk di jalan. Gue nggak mau ngajak lo ke rumah sakit bareng, kasian sama tim medis dapet pasien bar-bar kayak lo," alibi cowok itu yang seketika membuat Meta berdecak sebal.
Pada akhirnya mereka berdua tetap turun ke sana dan mampir, menikmati secangkir kopi pahit untuk Aksel dan segelas kopi susu manis untuk Meta. Sekarang hanya tinggal mereka berdua di meja persegi panjang itu, bapak-bapak tadi sudah pamit entah mau kemana.
"Lo inget, nggak, pertama kali lo nolak gue?" Tiba-tiba suasana berubah tegang, Aksel mengorek masa lalunya yang tidak mengenakkan tentang Meta. Cewek yang duduk di sebelahnya. "Tanpa rasa kasihan, lo biarin gue jadi bahan tertawaan satu sekolahan. Saat itu gue nggak tau apa alasannya, sampai gue menyadari satu hal. Nasib gue sama kayak cowok-cowok sebelum dan sesudah gue. Lo menolak semua cowok yang menyatakan cintanya ke elo, kan, Ta?"
Meta merasa sedang terintimidasi oleh Aksel, hingga tatapan bersalahnya berganti dengan tampang tak berdosa. Meta selalu berusaha menyembunyikan semuanya, tanpa pengecualian. Kehadiran Aksel akan mengacaukan hal itu, Meta takut ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.
"Gila, ya. Lo bela-belain nyari momen paling langka, cuma untuk ngobrolin masalah ini sama gue."
"Jawab, Ta, jangan menghindar. Kenapa lo menarik diri dari semua perasaan yang sejujurnya lo butuhkan?"
"Gue nggak butuh, lo jangan sok tau!" bentak Meta, menatap Aksel dengan marah seolah sedang berusaha menghentikan aksi cowok itu.
Aksel tersenyum tipis menanggapi api yang membakar manik mata Meta. "Bibir lo mungkin bilang enggak, tapi hati lo bilang iya," katanya makin sok tahu.
"Kayak lo bisa denger hati gue aja," cibir Meta. "Nggak usah drama, deh, Sel. Kalau lo udah gue tolak, terima keadaan aja. Jangan kayak hama yang perlu diberantas secara terus-menerus!"
"Gue lagi nyari tau alasan kenapa lo nolak gue. Jangan menahan diri untuk nggak menerima orang baru dalam hidup lo."
"Gue nolak lo karena lo gila! Lo bukan tipe gue, dan gue benci lo sama geng lo itu."
"Tapi itu bukan alasan yang bisa gue terima dengan mudah, Ta. Alasan lo nggak masuk akal. Apalagi disaat semua orang merendahkan harga diri gue. Cara lo nolak gue, dan alasan di balik itu semua. Kasih tau ke gue semuanya, tanpa pengecualian."
Bertepatan dengan kalimat terakhir yang meluncur dari bibir Aksel, cowok itu menarik ponselnya keluar dari saku. Mencari sesuatu dan kemudian benda itu diletakkan di atas meja. Tepat di hadapan Meta, dimana ia melihat video rekaman yang sama seperti yang Aksel kirimkan kepadanya sebelum ini.
Meta seakan tak lagi punya air mata, ia hanya bisa diam dan membungkam mulutnya. Cewek itu menatap datar rekaman itu, lalu membuang mukanya karena keadaan mulai membuatnya gelisah. Masa lalu memang meresahkan, membuat gerak Meta lumayan terbatas.
"Kenapa orang itu mukulin lo? Kenapa lo nggak ngelawan kayak biasa? Lo bukan tipe orang yang diam ketika diperlakukan kayak binatang."
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Meta membanting pintu kamarnya untuk melepaskan rasa marah dalam dirinya yang sudah meluap. Aksel benar-benar akan menjadi masalah besar jika tidak ia hentikan dari sekarang. Risa masih berdiri di depan pintu kamar Meta setelah menyambut kepulangan anaknya itu, tetapi ia putuskan untuk kembali ke kamar karena merasa Meta butuh waktu untuk sendiri. Risa tak mau mengganggunya jika saat ini yang Meta butuhkan adalah pelampiasan atas semua penderitaannya.
"Sialan! Kenapa lo jadi hama yang harus gue singkirin berkali-kali, sih?!" Meta marah pada udara, seolah Aksel ada bersamanya di sana. "Gue tau gue salah, tapi gue nggak bermaksud untuk mempermalukan lo di hadapan semua siswa Gemilang. Lo salah paham, Sel!"
Menarik napas dalam-dalam, rasa lega tak kunjung Meta dapatkan. Justru kejadian di kelas X itu kembali merantainya lagi dalam rasa bersalah yang kali ini jauh lebih besar. Mungkin karena keterlibatan Aksel dalam penderitaannya di kelas XII ini, Meta hanya bisa menerka-nerka. Cowok itu membahayakan dirinya hanya demi sebuah alasan dan jawaban yang menurut Meta tidak penting. Ya, itu tidak penting. Karena ia menolak semua itu demi keamanan dan ketenangan hidupnya. Agar rahasianya tak terendus oleh siapapun.
Lantas saat Meta menjatuhkan tubuhnya ke kasur, kepalanya berdenyut nyeri. Ingatan itu seperti video yang diputar berulang, dimana Aksel mengupayakan seluruh tenaganya untuk mendapatkan hatinya.
Meta menatap sekuntum mawar di tangan cowok yang sedang berlutut di hadapannya, seperti sedang melamarnya saja. Padahal hanya meminta untuk menjadi pacar, kenapa terlalu berlebihan sampai membuat satu sekolah tahu? Meta kesal, ia marah dengan sikap norak Aksel dalam menyatakan perasaan padanya. Tapi itu selera cowok itu, Meta tak perlu menyalahkan. Namun yang salah adalah, mengapa harus dirinya?
"Nggak punya harga diri banget lo jadi cowok! Kenapa harus kayak gini, sih? Nggak bisa pake cara yang lain?" Ucapan menohok yang Meta lontarkan melenyapkan senyuman Aksel. Semua yang berada di lapangan, termasuk anak-anak ekskul Taekwondo yang sedang berlatih, langsung berbisik di tempat mereka. Meta bisa merasakannya, tatapan hina itu. Yang membuatnya ingin lari.
"Gue suka sama lo. Lo mau, nggak, jadi pacar gue?" Aksel mengulang kalimatnya yang diabaikan oleh Meta, mengangkat sekuntum mawar di tangannya lebih tinggi. Dimana di depannya ada Meta, yang memakai seragam putih taekwondo kebanggaannya.
Entahlah, rasanya Meta ingin menghajar Aksel habis-habisan. Seingatnya, Meta telah menunjukkan ketidaksukaannya, namun mengapa cowok itu masih saja mengejarnya. Bahkan sekarang sampai membuatnya malu. Sebelum menolak Aksel, Meta merenggut bunga mawar itu dan meremasnya. Menjatuhkan benda yang melambangkan cinta itu lalu menginjaknya sampai hancur. Tatapan Meta kembali diantarkan pada Aksel yang merasa sakit hati.
"Gue nggak suka sama lo, gue nggak mau jadi pacar lo!"
Setelah mengatakannya, Meta berbalik untuk kembali ke teman-teman ekskulnya. Namun Aksel butuh penjelasan atas penolakan yang mempermalukannya ini, hingga menarik pergelangan Meta sampai membuat cewek itu berhadapan lagi dengannya.
"Kasih gue penjelasan kenapa lo nolak gue dan menghina gue di depan orang banyak. Alasan lo nggak bisa menghentikan gue untuk terus ngejar lo," kata Aksel dalam dan penuh tekanan. Tatapannya yang tadi lembut telah berganti marah dan kecewa.
Meta tersenyum miring, lalu menghempaskan cekalan Aksel. "Itu karena lo bego! Selama lo ngedeketin gue, gue nggak pernah menunjukkan respon yang baik, kan, sama lo. Seharusnya lo sadar, bukannya malah menciptakan keadaan yang bisa mempermalukan diri lo sendiri. Punya otak dipake!" makinya yang membuat Aksel memejamkan mata dihina dan dimaki-maki seperti itu.
Di tepi lapangan, ada tim inti Destroyer yang sedang menonton aksi kebodohan Aksel. Padahal sudah diperingatkan sejak awal, tapi cowok itu keras kepala. Mereka tak kuasa melihatnya, hingga kemudian meninggalkan lapangan yang dimulai oleh Dewa-Ketua Destroyer. Sementara sebagian tim unit masih setia menyaksikan, sebagiannya lagi pergi dan ikut kecewa.
"Gue suka sama lo tulus dari hati, Ta. Gue nggak bisa menerima alasan nggak masuk akal itu. Tolong kasih gue kesempatan." Aksel masih berusaha, membuat cowok-cowok yang memperhatikannya geleng kepala sambil bergumam, "Kelewat bego, tuh, bocah!"
Mendelik kesal, Meta menatap lama Aksel. Menurutnya cowok itu pantas diberikan pelajaran, agar dia sadar Meta bukanlah orang yang pantas untuk dicintai oleh siapapun.
"Oke! Gue kasih lo kesempatan." Jawaban Meta membuat Aksel tersenyum senang, menampilkan deretan giginya. "Jangan seneng dulu, gue punya satu syarat."
"Syarat apa? Lo tinggal bilang." Aksel kembali bersemangat, ia merasa punya kesempatan besar.
"Kita duel di matras itu. Kalau gue menang, artinya lo gue tolak. Kalau gue kalah, kita jadian. Gimana?"
Senyuman Aksel berganti lagi. Ia merasa sedang dipermainkan oleh Meta namun persyaratan Meta sangat tidak masuk akal. Jelas Aksel tidak akan menyetujui hal itu, dia akan merasa sangat bersalah pada dirinya karena telah menghajar cewek yang dia suka.
"Gue nggak bisa ngelakuin itu. Lo nyari syarat yang bener dikit, kek."
"Kalau gitu nggak usah maksa! Itu syaratnya udah paling bener!" ketus Meta. "Lo mendingan balik ke warmam, deh, nyusulin temen-temen lo. Gue mau latihan sama temen-temen gue, ganggu aja lo."
Di tempatnya, Aksel berpikir dalam-dalam. Jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan Meta menjadi kekasihnya. Karena ia merasa Meta berbeda, dia tidak seperti perempuan pada umumnya. Aksel suka cewek yang mandiri, pekerja keras dan bisa melindungi orang-orang terdekatnya. Tapi ia tidak akan mungkin melakukan itu, bisik-bisik kembali terdengar yang mengatakan bahwa Aksel tidak akan sanggup. Membuat Aksel harus membulatkan tekad dengan kekuatan yang berasal dari kepalan tangannya.
"Oke! Gue terima syarat lo."
Dan saat itu, Meta benar-benar hanya ingin Aksel berhenti mengejarnya. Tidak menyangka cowok yang Meta sebut hama itu akan menyanggupi persyaratan konyolnya. Hingga kemudian ia dan Aksel saling berhadapan di matras, ditonton oleh warga Gemilang yang masih berada di sekolah pada saat kegiatan ekskul berlangsung.
Sorakan dan teriakan dari dua kubu terdengar tidak seimbang, dukungan untuk Aksel lebih banyak dan berasal dari cewek-cewek yang juga merupakan penggemar Destroyer. Hal itu membuat cowok itu semakin semangat untuk memberitahu Meta bahwa ia sanggup jika hanya untuk melakukan itu. Tapi hanya berlangsung dua pukulan dan satu tendangan. Setelah itu Aksel meninggalkan lapangan dan meninggalkan Meta. Aksel memilih untuk lari, tidak melanjutkan karena kedepannya mungkin ia akan diburu penyesalan.
Sebelum pergi, cowok itu sempat mengatakan sesuatu. "Jangan pikir gue nggak mampu untuk ngehabisin lo karena lo cewek yang gue suka. Gue cuma mau ngingetin lo, jangan terlalu keras kepala."
Hari itu Aksel cukup keren. Dia memilih jalan untuk tidak meladeni kegilaan Meta, lalu mendapat tepukan meriah dari seluruh penonton di lapangan. Yang seketika membuat cowok itu merasa tidak terlalu buruk.
Isakan pertama Meta lolos, air matanya tumpah menimpa kasur sederhananya. Meta merasa sangat bersalah, itu adalah penolakan terparah yang pernah ia lakukan terhadap cowok. Ia menyesal menempatkan Aksel di situasi itu.
"Lagian lo juga bego banget! Gue udah nolak masih lo kejar kayak nggak punya malu. Bahkan sampe kelas dua belas lo ngejar gue, marahnya cuma dua minggu doang lagi. Hati lo terbuat dari apa, sih?" omel Meta sambil terus menangis dan memukul-mukul badan kasur. Berharap nanti, setelah ia meluapkan emosinya, keadaan akan membaik.