Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK18
Kilas balik malam sebelum Ethan menghilang.
Liam meletakkan ponselnya di meja setelah membaca sebuah pesan. Ia bersandar di sofa, membiarkan senyumnya tetap melekat di wajah. Matanya menatap ke luar jendela, menikmati keheningan malam yang terasa menenangkan. Tapi, di balik ketenangan itu, pikirannya berputar-putar dengan rencana yang sudah ia susun matang-matang.
Namun, ketukan keras di pintu memecah lamunannya. Liam menghela napas, lalu berdiri dengan santai. Ia tahu siapa yang datang. Dari cara ketukannya, dari ritmenya—seseorang yang tidak sabar.
Saat pintu terbuka, wajah Ethan muncul. Pemuda itu tampak gelisah, tangan kanannya menggenggam ponsel.
"Liam ...," Ethan langsung masuk tanpa dipersilakan. "Ini masalah besar."
Liam menutup pintu dengan tenang, berbalik, dan menatap Ethan dengan tatapan tajam namun penuh rasa ingin tahu. "Masalah besar apa? Gue nggak suka kalau lo datang ke sini cuma buat panik tanpa alasan."
Ethan menghempaskan diri ke sofa, memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Gue nggak panik tanpa alasan, Bro. Ada sesuatu—gue nemu sesuatu yang nggak masuk akal. Ini ... ini gila."
"Tenang, Ethan." Liam berjalan mendekat, duduk di kursi di seberang sofa. "Mulai dari awal. Jelasin pelan-pelan."
Ethan merogoh ponselnya, membuka file yang baru saja ia temukan. Ia menyerahkan ponsel itu ke Liam dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Ini. Lo lihat sendiri."
Liam mengambil ponsel itu, matanya menyipit saat membaca data yang muncul di layar. File itu penuh dengan informasi tentang mereka semua—Liam, Max, Jessie, bahkan Anna. Rincian yang terlalu spesifik, terlalu detail, seolah-olah seseorang telah mengawasi mereka selama ini.
"Siapa yang bikin ini?" tanya Liam, suaranya tetap tenang, meski matanya memancarkan kilatan yang sulit diterjemahkan.
"Kalau gue tau siapa yang bikin, gue nggak bakal segugup ini," jawab Ethan cepat. "Data ini tiba-tiba nongol di sistem gue. Gue nggak pernah ngunduh apa pun, nggak ada yang masuk ke jaringan gue. Tapi file ini ... kayaknya udah lama ada di sana, cuma baru sekarang muncul."
Liam menggeleng pelan, lalu mengembalikan ponsel itu ke Ethan. "Ini kerjaan orang yang pintar. Tapi, gue nggak kaget. Dari awal gue tau, kita pasti diawasi."
Ethan menatap Liam dengan kening berkerut. "Lo tau? Bro, kenapa lo nggak bilang apa-apa?"
Liam tersenyum kecil, senyum yang membuat Ethan sedikit gelisah. "Gue bilang sekarang, kan? Udah cukup."
Ethan menghela napas frustrasi. "Ini nggak masuk akal. Kalau ada yang tahu sebanyak ini tentang kita, berarti kita semua dalam bahaya."
Liam berdiri, berjalan ke arah jendela. Ia menatap gelapnya malam, lalu berkata pelan, "Bahaya? Gue nggak takut sama bahaya, Ethan. Gue cuma takut kalau permainan ini selesai terlalu cepat."
Ethan terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Liam yang membuat bulu kuduknya meremang. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Liam berbalik dengan ekspresi yang lebih serius.
"Denger, Ethan. Lo harus tetap tenang. Jangan kasih tau siapa pun soal ini, terutama Max."
Ethan mengerutkan kening. "Kenapa nggak kasih tahu Max? Dia kan bos gue."
Liam mendekat, menatap Ethan dengan tajam. "Karena Max terlalu emosional. Dia nggak bisa mikir jernih kalau menyangkut masalah ini. Lo paham?"
Ethan akhirnya mengangguk, meski ragu. "Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa ke dia."
"Bagus," Liam menepuk bahu Ethan sebelum kembali duduk. "Sekarang, lo hapus file itu. Pastikan nggak ada jejak."
Ethan mengangguk lagi. Ia berdiri, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Saat pintu tertutup, Liam kembali tersenyum dengan penuh makna.
"Apapun yang terjadi nantinya, semua harus berjalan dengan yang sudah di atur. Tenaga ku sudah terkuras banyak untuk mempersiapkan segalanya," gumam Liam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ethan duduk di sudut sofa dengan laptop di pangkuannya. Sorot matanya penuh konsentrasi. Ia melacak rekaman cctv di kota New York untuk mencari jejak Jessie. Dipandanginya layar laptop yang penuh dengan data yang baru saja ia temukan. Namun, tak ada satupun yang memuaskan nya.
Pikirannya begitu kacau, sampai-sampai ia tak menyadari ponselnya bergetar berkali-kali. Nama Liam muncul di layar, meninggalkan sebuah pesan yang tak sempat di baca pria itu : "Hati-hati ...."
TING!
TONG!
Ethan menoleh ke arah pintu. Ia terdiam sejenak sebelum bergumam pelan, "siapa?"
Ethan menggigit bibirnya, mencoba menahan resah yang menyelimuti. Ia kembali menatap layar, jari-jarinya bergerak cepat. Ia mencoba meretas cctv apartemen. Namun, yang ada hanya kegelapan.
"Seseorang pasti menempelkan sesuatu di cctv," gumamnya.
TING!
TONG!
Ethan kembali menatap pintu lagi, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk berdiri, melangkah perlahan menuju pintu.
KRIEEET!
Ethan membuka pintu perlahan, sorot matanya waspada. Tidak ada siapa-siapa ketika pintu itu terbuka.
Pemuda tampan itu semakin penasaran. Ia menyembulkan kepalanya keluar, meskipun ia tau hal itu sangat berbahaya. Benar saja, seseorang sudah menunggu di sisi pintu. Tersenyum, tidak ... sosok itu menyeringai dingin.
"Hello, Ethan ...."
JLEB!
*
*
*
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅