Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Na, Bangun Na!" seru Ibu pagi-pagi berisik sekali. Gegara semalam tidak bisa tidur, Nahla hari ini benar-benar kesiangan.
"Hah, jam berapa, Buk?" tanya gadis itu tergeragap. Melihat jam di ponselnya hampir setengah enam. Spontan langsung ngacir ke kamar mandi.
"Duh ... beneran kesiangan ini," dumel gadis itu siap-siap mandi.
"Buk ...!" pekik gadis itu mendapati kran airnya mati.
"Apaan sih Na, pagi-pagi teriak-teriak. Cepetan mandi!"
"Airnya mati Buk, help me!" ujarnya ngenes sendiri.
"Eh, beneran? Ini gegara kalau jam segini tetangga lagi banyak yang pakai, jadi mati," sahut Ibu ikut kasihan.
"Terus aku gimana dong, Buk, masak nggak mandi?"
"Sebentar," ujar Ibu beranjak. Menilik halaman belakang.
"Pantesan mati, lawong dikecilin gini, dasar tetangga usil," dumel Ibu sengaja mampir ke tetangga diam-diam gantian mengecilkan pengunci kran.
Setelah melancarkan aksinya, Bu Kokom balik ke rumah sembari waspada. Kali aja diusilin lagi.
"Na, udah nyala kan?" seru Ibu sembari menyiapkan sarapan.
"Aman, Buk," sahut Nahla dari dalam.
Usai mandi langsung memakai seragamnya. Bersiap berangkat membagi ilmu agar manfaat.
"Sarapan dulu itu sudah siap," seru Ibu mengingatkan.
Nahla hanya makan roti satu tangkep, ditambah segelas teh cukup bekal pagi ini. Perempuan yang setiap hari mengajar matematika itu lekas menyalakan motornya. Langsung bergegas menuju lokasi SMA Tunas Bangsa.
Seperti biasa, perempuan itu memarkirkan motornya di parkiran guru. Masuk ke ruang guru beramah tamah dengan yang lain.
"Pagi Bu Nahla?" sapa Pak Agam selaku guru Bahasa Indonesia.
"Pagi," sahut Nahla mengangguk sopan. Lebih dulu mengambil absen sebelum memulai belajar mengajar. Begitu pun saat jam pulang, harus meninggalkan absen elektronik untuk memenuhi akhir tugas hari ini.
Perempuan itu akan pulang menjelang sore. Tepatnya hari ini, sekitar setengah empat Nahla sudah dihubungi Icha yang sedari tadi sudah menunggu. Sayang sekali handphone Miss Nahla kehabisan daya. Perempuan itu tidak bisa menghubungi rumah, dan sialnya motor yang dikendarai mengenai masalah.
Hingga sore hari Nahla tidak datang, bahka hingga Pak Hanan pulang menemukan putrinya yang terlihat cemberut di rumah.
"Icha kenapa, Mbok?" tanya Hanan pada asisten rumah tangganya. Mbok Ijah yang bekerja dari pagi sampai sore itu pun terpaksa belum pulang karena menemani Icha terlebih dahulu.
"Miss Nahla tidak datang, Pak, jadi Non Icha-nya ngambek," lapor Mbok Ijah sesuai kondisi putri Pak Hanan.
"Loh, kok bisa nggak datang nggak ngabarin?" gumam pria itu beranjak. Merogoh ponselnya siap menanyakan kabar tersebut. Kenapa sampai sore begini perempuan yang akrab disapa Miss Nana itu tidak menampakan batang hidungnya.
"Nggak aktif, ke mana sih?" gumam pria itu mendadak khawatir. Cemas, apa mungkin sengaja menghindarinya, atau jangan-jangan berhubungan dengan lamarannya yang belum ada jawaban. Seharusnya Nahla tetap datang, dan jangan mencampur adukan urusan pekerjaan dengan masalah pribadinya.
Hanan pun mencoba menghubungi nomor Tio, adik dari Nahla. Sore itu Tio belum pulang jadi tidak tahu apakah kakaknya sudah pulang atau belum.
Beralih menghubungi ayahnya Nahla, tidak kunjung diangkat. Pria yang kesehariannya sibuk berjualan kain di pasar itu baru pulang menjelang sore.
"Buk, Nahla belum pulang? Tolong sambungkan daya, ponsel Bapak mati, tadi ada telepon dari Hanan tapi keburu kehabisan batrai," pinta Bapak sembari menuang air putih dari teko.
"Jam segini belum pulang paling ngeles anak-anak, Pak," sahut Ibu santai. Biasanya juga begitu. Kembali sibuk di dapur setelah menyeduh kopi untuk suaminya.
Tio baru saja pulang, pemuda itu sedikit berlarian dari halaman depan karena mendadak hujan. Sementara yang dicari-cari masih di bengkel menunggu antrian motornya digarap.
"Mbak, waktunya nggak cukup sebentar lagi bengkel kami mau tutup, bagaimana kalau diambil besok saja," saran abang bengkel tersebut.
"Owh ... gitu ya Mas," ujarnya galau. Rela menunggu demi bisa digarap hari ini karena besok pagi pasti akan kerepotan sendiri tanpa si kuda besi kesayangannya itu.
"Iya, ditinggal saja," ujarnya penuh solusi.
Nahla pun mengiyakan, sembari menunggu hujan reda, menunggu di depan bengkel tidak bisa pulang.
"Bu Nahla? Belum pulang?" sapa Pak Agam menghentikan mobilnya tepat di depan perempuan itu berpijak.
"Hehe, iya nih Pak, motor saya bannya bocor, eh malah suruh ditinggal saja sudah mau tutup."
"Oalah ... mari bareng saya saja, Bu, sudah mau maghrib ini," ujarnya menawarkan.
Nahla mendadak galau, menerima tawaran Pak Agam atau tetap berdiri di tempat itu menunggu reda. Hati sudah beranjak petang.
"Ayo Bu, kebetulan rumah kita searah kan?" ujar pria itu tanpa basa-basi.
"Iya Pak, boleh," jawab Nahla akhirnya mengiyakan.
Sebenarnya Nahla canggung dan bingung, terpaksa juga karena tidak bisa menghubungi orang rumah, bahkan memesan taksi karena ponselnya mati. Semoga saja selamat sampai rumah tidak dijulitin tetangga, atau bahkan diinterogasi orang tua.
"Sampai sini saja, Pak, rumah saya sudah dekat," ujar Nahla tidak enak hati.
"Jangan, masih gerimis," ujar Pak Agam berbaik hati hingga sampai halaman depan.
Naasnya, perempuan itu justru kebingungan sendiri hendak bersikap seperti apa mendapati mobil Pak Hanan ada juga terparkir di halaman rumahnya. Pria itu merasa khawatir karena tidak bisa menghubunginya, alhasil menyusulnya ke rumah memastikan.