Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
Ben melajukan mobilnya begitu cepat menuju ke rumah sakit terlebih dahulu. Karena barusan anak buahnya menelepon.
"Sepertinya ada yang aneh dengan sikap Bela. Untuk apa juga dia datang ke rumah sakit mengecek mayat itu. Untung saja aku sudah bekerja sama dengan pihak rumah sakit untuk berbohong tentang mayat itu. Maaf ya Mah, aku berbohong dengan mengatakan bahwa Mamah sudah meninggal. Aku melakukan ini untuk memancing orang yang telah berlaku jahat pada Mamah. Dan kini aku yakin sekali jika semua yang terjadi pada Mamah ada hubungannya dengan Bela. Aku ingin menyelidiki lebih lanjut, sebelum memiliki bukti yang kuat, aku belum bisa menyeret Bela ke kantor polisi," gumamnya dalam hati.
Tanpa ia sadari, dibelakang mobilnya ada sebuah mobil yang melaju untuk mengikutinya. Saat ini Ben benar-benar sedang fokus tanpa melihat ke belakang mobilnya. Hingga sampai di rumah sakit, Ben masih juga belum sadar akan kehadiran Bela.
Sementara Ben masuk ke dalam rumah sakit, Bela justru menunggu di tempat parkir mobil.
"Ada kabar terbaru apa lagi?" tanya Ben pada salah satu anak buahnya.
"Untuk saat ini belum ada, Den. Hanya saya sempat melihat Non Bela menemui salah satu perawat untuk bisa masuk ke kamar mayat. Mungkin ada hubungannya dengan mayat itu, Den," jawab anak buahnya tersebut.
"Hem, baguslah. Umpan mulai dimakan, dan sebentar lagi akan terbongkar siapa sebenarnya dalang dibalik musibah yang menimpa Mamah. Minta bagian rumah sakit untuk segera melakukan prosesi pemakaman. Untuk segala biaya, nanti saya yang tanggung. Simpan rahasia ini sampai kita berhasil menangkap pelaku kejahatan itu."
Setelah mengatakan hal itu, Ben memberikan kartu hitam untuk mengurus prosesi pemakaman wanita itu. Ia pun segera melangkah pergi untuk mengecek kondisi Diajeng.
"Kunci utama adalah Mamah. Mungkin Mamah juga tahu siapa sebenarnya yang telah berbuat jahat. Semoga saja Mamah lekas pulih supaya ada secercah harapan untuk menangkap pelakunya," batin Ben begitu berharap untuk kesembuhan Diajeng.
Ia segera melanjutkan perjalanannya, tapi di baru seperempat perjalanan terpaksa ia menghentikan laju mobilnya dan menepi sejenak untuk menerima panggilan telepon. "Hem, tenang saja Bi. Aku akan lebih berhati-hati. Terima kasih infonya."
Ternyata Bibi barusan menelepon memberi tahu jika Bela tidak ada di rumah bersamaan dengan perginya dirinya.
"Aku harus waspada, jangan sampai ceroboh. Aku nggak ingin Bela tahu tentang keberadaan Mamah karena ini bisa berbahaya," batinnya sembari celingukan kesana kemari dan tanpa sengaja ia melihat dari kaca spion mobilnya, dimana mobil Bela mengikuti laju mobilnya.
"Hem, untung saja Bibi melapor. Pintar juga tuh orang meski sudah tua tapi o taknya ok banget. Hem, awas saja ya Bela," gumamnya sembari menggertakkan giginya.
Ben tidak tinggal diam, ia pun memutar arah menuju ke tempat lain karena tidak ingin Bela berhasil mengikuti dirinya. Ia masuk ke sebuah pusat perbelajaan. Sedangkan Bela seperti biasa menunggu di dalam mobil di tempat parkir.
Hingga beberapa jam, ia mulai bosan. "Ngapain Mas Ben lama sekali berada di dalam Mall? Apa sih yang dia beli hingga berjam-jam lamanya? Padahal yang aku tahu, dia tidak suka berbelanja sendiri selalu meminta tolong Tante Diajeng.
Bela terus saja menatap ke arah mobil Ben yang terparkir tak jauh dari mobilnya. Sejenak matanya membola tatkala melihat seorang lelaki masuk ke dalam mobil Ben. "Bukannya itu salah satu anak buah Mas Ben? Loh kok dia yang....si@l@n, pasti Mas Ben sadar aku mengikutinya. Bo dohnya aku! Ah parah banget sih, aku. Jika seperti ini aku kehilangan jejak Mas Ben, dong?"
Bela mendengus kesal merutuki dirinya sendiri atas kebo dohannya tersebut sembari memukul-mukul kemudinya.
Sementara dari balik mobil Ben, lelaki muda yang merupakan anak buahnya tersenyum miring sembari berkata lirih. "Kamu licik, tapi bosku cerdik."
Lelaki itu lekas melajukan mobilnya arah pulang ke rumah Ben sesuai instruksi dari sang majikan.
Berbeda situasi di rumah Iva, Ben sudah menceritakan apa yang barusan terjadi hingga dirinya terpaksa bertukar kendaraan dengan salah satu anak buahnya.
"Mas, kamu harus lebih berhati-hati lagi dengan Bela. Bisa saja memang dia o tak dari musibah yang menimpa Tante Diajeng," ucap Iva memberikan satu nasehat.
"Iya sayang, aku pasti berhati-hati. Maaf ya, pernikahan kita harus tertunda karena permasalahan ini. Jika saja...
"Sudahlah Mas, nggak usah mempermasalahkan hal ini. Yang terpenting kesembuhan Tante Diajeng terlebih dahulu dan menangkap pelakunya secepat mungkin supaya tidak ada celah bagi pen jahat itu untuk mengulangi keja hatan nya terhadap Tante Diajeng," ucap Iva menyela perkataan Ben.
Tanpa sepengetahuan Bela, Ben juga melacak panggilan telepon Bela untuk mengetahui siapa saja yang telah berkomunikasi dengan Bela. Di samping Ben seorang pengusaha muda yang sukses, ia juga pintar meretas data. O taknya sangat cerdas dalam hal komputer, bahkan sebelum ia mewarisi perusahaan orang tuanya, ia bekerja sebagai seorang hacker.
"Beberapa kali Bela berkomunikasi dengan nomor ponsel yang berbeda-beda dan terakhir nomor ponsel itu aktif tak jauh dari sini. Tapi sayang nomor sudah tidak aktif. Kini aku harus menyelidiki lebih lagi si Bela. Aku harus menyewa seorang detektif jika seperti ini karena aku nggak mungkin bertindak sendiri di tengah gempuran pekerjaan yang begitu menumpuk seperti gunung. Aku juga harus extra dalam menjaga Mamah dan juga Iva karena aku nggak ingin pen jahat itu menyakiti Iva."
Esok menjelang...
Bela sengaja datang ke kantor Ben. "Mas, maaf ya aku ganggu pekerjaanmu. Mas, aku kangen Tante, boleh nggak minta nomor ponselnya? Bagaimana pun Tante sudah aku anggap seperti Ibuku sendiri. Tante sudah menjadi pengganti almarhumah Mamahku."
Tanpa rague, Bela menjatuhkan pantatnya di sofa depan meja kerja Ben.
Ben sama sekali tidak menghiraukan ucapan Bela, ia justru asik berkutat dengan pekerjaannya mengecek berkas-berkas yang ada di meja.
"Mas, kok kamu cuekin aku sih? Apa kamu masih marah denganku ya? Bukannya aku sudah minta maaf padamu waktu itu, aku tidak berniat buruk kok. Aku...
"Cukup Bela, sebaiknya kamu pergi dari sini karena hanya mengganggu pekerjaanku saja. Perlu kamu ketahui jika Mamah sudah meninggal karena kecelakaan dan sudah di makamkan. Aku minta maaf karena tidak memberi tahumu," ucap Ben sembari terus menatap berkas yang ada di hadapannya.
Bela berpura-pura terperangah terkejut sembari menutup mulutnya dengan satu tangan. "Inalillahi, kalau boleh tahu dimana makamnya Mas? Jangan larut dalam kesedihan ya Mas, kan ada aku yang selalu siap untuk menghiburmu. Mas, bagaimana kalau kita menikah saja supaya ada yang mengurus dirimu. Aku janji akan menjadi istri yang baik dan patuh."
Dengan percaya diri Bela menggenggam salah satu tangan Ben, tapi dengan gerak cepat Ben menepisnya.
"Mimpi kamu! Pergi sana, nggak punya malu ya? Kamu itu cewek kok mura han banget sih? Ji Jik aku tahu! Oh ya, aku minta secepatnya kamu kemasi semua barang-barangmu yang ada di rumahku dan segera pergi! Aku nggak ingin di omong buruk oleh para tetangga. Kalau tidak juga di kemasi, aku akan usir paksa!"
Mendadak Bela bangkit dari duduknya sembari melotot ke arah Ben. "Nggak Mas! Selamanya aku akan tinggal di rumahmu karena aku sudah jadi adikmu seperti yang di inginkan Tante Diajeng. Baguslah jika kita di grebek dan di paksa menikah karena memang itu tujuan hidupku eh mimpiku ingin menikah denganmu. Mas, aku tuh cinta mati sama kamu dan tidak akan membiarkanmu jatuh ke pelukan wanita lain."
Bela menghentakkan kakinya melangkah pergi dari ruang kerja Ben. Sepanjang perjalanan menuju ke tempat parkir mobil, ia terus saja mengumpat tindakan Ben. "Nyebelin banget Mas Ben! Ia sama sekali tidak bisa menghargai perasaanku ini. Seharusnya dia itu bersyukur karena aku cinta padanya secara aku ini kaya raya."
Selagi mengumpat dan akan membuka pintu mobil, tangannya tertahan oleh sebuah tangan kekar. "Heh, ka.....
Siapakah lelaki itu?
lanjut