Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Waktu seakan lambat berganti, gerimis pun masih enggan berhenti dan malam menciptakan gelap yang mencekam. Hanya ada cahaya dari lampu mobil yang memberi sedikit terang dalam kegelapan.
Evan meraih jemari Hanna, menggenggamnya erat hingga melukiskan rasa hangat yang sulit dijabarkan oleh wanita itu. Posisi mereka saling berhadapan satu sama lain. Hanna duduk di kursi panjang stainless, sedangkan Evan berjongkok di hadapannya.
“Boleh aku katakan?” Ucapan evan memecah kebekuan. Tangannya semakin erat membelenggu jemari Hanna yang mulai terasa dingin.
“Meskipun tidak tertarik, tapi aku akan berusaha mendengarnya dengan baik.” Ucapan bernada ketus itu membuat Evan tersenyum tipis. Menatap dalam mata Hanna yang masih tampak basah oleh sisa air mata.
“Kau tidak berubah, masih keras kepala dan galak seperti dulu dan sialnya itulah yang tidak bisa kulupakan sampai sekarang.”
Sejenak tatapan Hanna teralihkan pada butiran hujan yang jatuh dari langit. Helaan napasnya pun terdengar berat. Ia memejamkan mata saat merasakan lembutnya ibu jari Evan mengelus punggung tangannya. Sangat hangat, hingga tanpa sadar ia membalas genggaman itu hingga jari-jari mereka saling bertaut.
“Aku pernah berpikir melakukan sebuah kesalahan besar dengan mencintai seseorang yang tidak seharusnya. Aku tahu itu menyakitkan, seperti menggenggam duri yang semakin lama membuat tanganmu terluka dan berdarah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat berharga, sampai aku tidak pernah rela melepasnya, bahkan walaupun aku telah membibit kebencian dalam hatiku untuknya.”
“Suatu malam aku merasa terbakar melihatnya berada di antara laki-laki lain yang menatapnya seperti orang kelaparan. Rasanya aku mau mencongkel mata mereka. Tapi anehnya aku tetap menolak mengakuinya sebagai bentuk cemburu. Perasaan itu memaksaku melakukan satu kebodohan. Aku mabuk dan tanpa sadar meluapkannya pada seorang gadis asing.”
“Rasa bersalah membuatku memutuskan melupakannya dengan pergi jauh. Kau tahu ... rasanya sangat tersiksa ketika jauh darinya dan setiap hari yang kulalui tidak pernah tanpa bayangannya. Aku masih ingat tujuh tahun lalu, terakhir kali melihatnya di stasiun bus. Dia pergi dengan tergesa seperti dikejar sesuatu. Keong sialan—(sebutan untuk Rafli)—itu bilang aku sudah gila. Dia memang benar aku gila, mulut dan hati tidak pernah sejalan. Mulut berkata benci tapi hati memuja. Itulah kesalahan terbesarku, menyakitinya! Saat tersadar, aku sudah kehilangan ... dan aku baru mengerti kehilangan ternyata sesakit itu. Saat keadaan menuntut untuk melupakan, tapi segenap hati mencintai.”
Evan menciumi punggung tangan Hanna. Hingga cairan bening itu menetes tanpa dapat dikendalikan.
“Aku sangat mencintainya, sejak awal bertemu sampai detik ini. Bisakah kau mengembalikan Hanna Cabrera padaku?”
Hanna membeku, seolah waktu terhenti saat itu juga.
“Hanna Cabrera tidak pernah menjadi milikmu, lalu bagaimana aku bisa mengembalikannya padamu?” ucap Hanna memalingkan pandangan. Menatap mobil dari jarak tidak begitu jauh dari mereka. “Kau hanya berhak atas dua anakmu yang terlahir dari rahim Hanna Cabrera saja.”
“Baiklah, setidaknya aku masih memiliki mereka. Tapi aku akan menebus kesalahanku. Mengganti tujuh tahun yang terlewati dengan sisa waktuku. Maukah kau memberiku hukuman untuk tujuh tahun yang kau lewati dengan penuh perjuangan?”
Hanna tak dapat lagi membendung perasaannya. Rasa sakit, kecewa, dan marah yang terpendam selama tujuh tahun hanya dapat ia luapkan dengan air mata. Isak tangis yang tertahan itu perlahan menyisakan suara sesegukan. Evan memeluknya, membiarkan Hanna melepaskan semua rasa yang terpendam.
Hingga keadaan mulai tenang, ia mengusap air mata wanita itu dengan jari, kemudian membenamkan kecupan lembut pada kelopak mata sembab itu. Kanan dan kiri bergantian. Evan melingkarkan tangan di tengkuk leher Hanna, menautkan kening dan hidung hingga hembusan napas hangat saling bertukar.
“Maafkan aku. Semua ini salahku,” bisik Evan.
Hanna menjauhkan wajahnya hingga berjarak satu jengkal saja. Menatap lekat-lekat wajah Evan.
“Kalau begitu bersiaplah, karena aku akan menghukummu dengan caraku sendiri.”
“Dan aku akan menerimanya dengan senang hati,” balas Evan dengan senyuman.
*****
apa lh