Alena: My Beloved Vampire
Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.
Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Bayang Bayang Petaka
Chapter 38: Nina yang Trauma
Sore itu, matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat jingga keemasan yang memudar di langit. Udara terasa tenang, namun ada sesuatu yang menggantung di dalam suasana rumah keluarga Reinhard, sebuah kecemasan yang belum pudar sejak malam sebelumnya.
Sebuah mobil melaju perlahan ke halaman rumah, lalu berhenti dengan lembut. Dari dalam, Alberd dan Alena keluar, tangan mereka saling menggenggam erat seolah ingin memastikan keberadaan satu sama lain. Mereka melangkah masuk, kehangatan rumah menyambut, tapi ada kekosongan yang terasa.
Alberd menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu dengan napas panjang. "Ayah dan Ibu masih di luar, mereka sedang membeli bahan untuk pesta barbeque malam ini. Seharusnya mereka akan pulang sebentar lagi," ujarnya sambil melirik jam dinding.
Alena tersenyum kecil lalu duduk di sampingnya.
"Hari ini ulang tahun pernikahan mereka, mungkin mereka ingin menikmati waktu bersama lebih lama," katanya lembut.
Alberd mengangguk sebelum tatapan Alena berubah sedikit serius. "Bagaimana dengan teknik transmisi pikiran yang aku ajarkan? Sudah bisa menguasainya?" tanya Alena.
Alberd menatap tangannya sejenak, lalu menghela napas.
"Sebagian, tapi aku masih butuh latihan."
"Itu adalah teknik komunikasi rahasia bangsa vampir," jelas Alena.
"Energi relik di dalam dirimu memungkinkanmu untuk menggunakannya, tapi tetap butuh waktu untuk mengasahnya."
"Aku mengerti. Aku akan terus berlatih," balas Alberd dengan keyakinan.
Alena mengangguk pelan, lalu mengubah topik.
"Ngomong-ngomong, di mana Nina? Apa dia ada di rumah?"
Pertanyaan itu membuat Alberd terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas berat.
"Dia mengurung diri di kamar sejak pagi. Tidak bicara, tidak mau makan, hanya duduk diam dengan tatapan kosong..."
Wajah Alena menegang, tatapannya dipenuhi kekhawatiran.
"Apa ini karena kejadian semalam?"
"Aku rasa begitu," jawab Alberd dengan suara lirih.
"Semalam, dia begitu ketakutan… dia menangis dan gemetar. Aku merasa sangat bersalah, Alena. Seharusnya aku bisa melindunginya lebih baik."
Alena meletakkan tangannya di atas pundak Alberd, mengusapnya lembut. "Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu adalah kakak yang hebat."
"Tapi karena aku, dia terlibat dalam masalah..." bisik Alberd, ekspresinya dipenuhi penyesalan.
Alena menggenggam tangannya erat. "Tidak, Alberd. Sebenarnya, ini bukan kesalahanmu... tapi aku."
Alberd menoleh, menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu?"
Alena menarik napas dalam sebelum menjawab,
"Mereka bukan perampok biasa. Mereka adalah bawahan Simon, pemburu vampir yang menyerang kita waktu itu. Mereka datang untukku."
Alberd menegang.
"Apa? Tapi dari mana kamu tahu? Mereka tidak menggunakan peluru perak, hanya peluru biasa!"
"Aku melihat pertarunganmu saat itu," ucap Alena lirih.
"Ketika aku tiba, mereka sudah menembakmu. Aku bersyukur kamu selamat, Alberd... Setelah itu, aku membuntuti mereka dan mendengar langsung siapa yang memerintahkan mereka."
Alberd terdiam, matanya menatap Alena dengan campuran keterkejutan dan kesadaran. Tanpa berkata apa pun, dia menarik Alena ke dalam pelukannya.
"Aku mengerti... Tapi ini bukan hanya tanggung jawabmu. Kita akan menghadapi ini bersama," bisik Alberd, tangannya mengusap lembut rambut Alena.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi mereka sendirian."
Alena menutup matanya sesaat, merasakan kehangatan Alberd yang menenangkan.
"Terima kasih...sayang,"
Beberapa saat kemudian, mereka berdiri di depan pintu kamar Nina. Alberd mengetuk perlahan.
"Nina, ini Kakak. Bolehkah kami masuk?"
Tak ada jawaban.
Alberd saling bertukar pandang dengan Alena sebelum akhirnya membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Di dalam, kamar itu terasa sunyi dan sedikit redup. Nina duduk di atas ranjang dengan lutut terpeluk erat, tubuhnya membentuk lingkaran kecil seakan ingin menyembunyikan diri dari dunia. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan seluruh auranya dipenuhi kesedihan yang mendalam.
Melihatnya seperti itu, hati Alena terasa perih.
Dengan langkah pelan, Alena mendekati gadis itu.
"Nina..." panggilnya lembut, suaranya penuh kehangatan.
Seakan baru tersadar dari lamunannya, Nina mendongak. Saat melihat Alena, matanya langsung dipenuhi air mata. Dengan suara terisak, dia berlari dan langsung melompat ke pelukan Alena.
"Kakaaak..." Nina menangis tersedu-sedu, tangannya mencengkeram erat pakaian Alena.
Alena memeluknya erat, mengusap lembut punggungnya, berusaha menenangkan gadis itu yang begitu ketakutan.
"Sstt... Kakak di sini, sayang... Tidak ada yang bisa menyakitimu," bisik Alena sambil menyeka air mata Nina.
Nina mengangguk kecil, meskipun tangisannya masih terdengar. Alena lalu menariknya perlahan ke tepi ranjang dan duduk di sampingnya.
(Transmisi pikiran)
"Alberd, tolong ambilkan makanan untuk Nina," ucap Alena dalam pikirannya, tatapannya sekilas menatap Alberd.
Alberd mengangguk dan segera keluar dari kamar, meninggalkan mereka berdua.
Sementara itu, Alena terus mengusap kepala Nina, membiarkannya menangis sepuasnya.
"Nina, kakak akan melindungimu. Kamu tidak sendirian," ucapnya lembut.
Nina mengeratkan pelukannya.
"Aku tahu... Kakak selalu menyayangiku..." bisiknya dengan suara serak.
Alena tersenyum kecil, meskipun matanya masih menyiratkan kepedihan. "Tapi kakak dengar kamu belum makan seharian. Kalau kamu tidak makan, kakak bisa marah lho."
Nina menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu mengangguk pelan. "Baik... aku akan makan."
Beberapa menit kemudian, Alberd kembali membawa semangkuk bubur dan segelas air. Dia menyerahkannya pada Alena, yang langsung menyuapkan sesendok bubur ke Nina.
Nina membuka mulutnya, perlahan mengunyah, lalu menelan. Setelah beberapa suapan, dia menatap Alena dan tersenyum tipis.
(Transmisi pikiran)
"Kamu luar biasa, Alena. Ibu bahkan tidak berhasil membujuknya untuk makan," ujar Alberd dalam pikirannya.
Alena menoleh sebentar dan tersenyum kecil sebelum kembali menyuapi Nina.
"Nina, habiskan bubur ini ya. Kakak mau ke depan sebentar," kata Alena sambil mengelus rambut adiknya.
Nina mengangguk, mengambil mangkuknya sendiri.
Alena dan Alberd bangkit, meninggalkan Nina yang perlahan mulai tenang. Meskipun trauma itu belum sepenuhnya hilang, setidaknya malam ini, dia tahu bahwa dia tidak sendiri.
Chapter 39: Simon Bergerak
Di sudut jalan yang gelap, tak jauh dari rumah keluarga Reinhard…
Sebuah mobil hitam terparkir diam, hampir menyatu dengan bayangan malam. Langit yang tadinya berwarna kemerahan telah berubah gelap, menandakan bahwa malam telah sepenuhnya tiba.
Di dalam mobil, Simon dan Lukas duduk di kursi depan, cahaya temaram dari dashboard menyinari wajah mereka yang penuh rencana.
"Bagaimana persiapannya?" tanya Lukas, suaranya rendah dan penuh kewaspadaan.
Simon menyeringai tipis, matanya menatap lurus ke depan.
"Semua sudah siap. Orang-orang kita telah bersembunyi di sekitar rumah itu, menunggu aba-aba."
"Rencana kita sederhana," lanjutnya. "Tiga orang akan maju lebih dulu, dua menyerang secara langsung, sementara satu menyelinap mencari celah untuk mengambil sandera."
Lukas mengangkat alis, skeptis.
"Tiga orang saja? Apa itu cukup? Lalu kita?"
Simon menoleh padanya dengan ekspresi dingin.
"Kita akan menunggu di gudang kosong dekat sini bersama tiga orang lainnya. Setelah sandera berhasil dibawa, kita akan memancing mereka ke gudang… dan di sanalah kita akan menghabisi mereka."
Lukas menyipitkan mata.
"Tiga orang lainnya? Bukankah seharusnya lima? Kemana dua orang lagi?"
Simon menghela napas panjang, nada suaranya sedikit kesal.
"Mereka menghilang sejak kemarin. Aku tidak punya waktu untuk mencari mereka atau menyewa orang baru. Rencana harus tetap berjalan."
Lukas hanya mengangguk pelan, merenungkan situasi.
Simon menyeringai, tatapannya tajam seperti pisau.
"Tiga dari mereka yang kita sewa berasal dari geng Viper, sindikat perdagangan manusia. Mereka bilang punya dendam pribadi dengan pria itu."
Lukas terkekeh pelan.
"Kalau begitu, mereka pasti akan lebih bersemangat."
Simon menatap lurus ke jalanan gelap, suaranya terdengar seperti bisikan beracun.
"Ya… kali ini, kita akan memastikan rencana ini berhasil."
Di rumah keluarga Reinhard.
Di ruang tamu yang nyaman, Alberd duduk di sofa, matanya sesekali melirik ke arah jendela. Sementara itu, Alena berdiri di depan jendela kaca yang terbuka, menatap langit malam yang biru kelam.
Pelan, Alena mengangkat kedua tangannya. Dari telapak tangannya, empat ekor kelelawar muncul mengepakkan sayapnya sebelum terbang menembus malam. Mereka menyebar dalam kegelapan, menjadi mata-mata yang mengawasi sekeliling rumah.
Setelahnya, Alena melangkah ke sofa dan duduk di samping Alberd.
"Kamu dari mana, sayang?" tanya Alberd, menoleh ke arahnya.
Alena tersenyum tipis. "Aku mengirim familiarku untuk mengawasi di sekitar rumah ini."
Alberd menatapnya dengan kagum. "Kamu selalu membuatku takjub dengan kemampuanmu."
Alena menunduk sedikit, suaranya terdengar lebih pelan.
"Sebelumnya aku bisa melacak Simon, tapi aku tidak bisa mengawasinya terus-menerus. Jarak terlalu jauh, dan itu melemahkan koneksi dengan familiarku. Sekarang dia sudah meninggalkan persembunyiannya… dan aku tidak tahu di mana dia sekarang atau apa yang dia rencanakan."
Alberd mengangguk, memahami kekhawatiran Alena.
Hening sejenak. Alena tampak ragu, tapi akhirnya berkata,
"Alberd, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku beritahu padamu…"
Alberd menatapnya serius.
"Apa itu? Katakan saja, aku akan mendengarkan."
Alena menggigit bibirnya sebelum akhirnya berbisik,
"Setelah melihatmu bertarung malam itu, aku mengejar dua orang yang menyerangmu… lalu aku…" Ia menarik napas dalam.
"Aku membunuh mereka."
Alberd membeku. Tatapannya tetap tertuju pada Alena, tapi ekspresinya sulit diartikan.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia berkata dengan tenang, "Mereka pantas mendapatkannya."
Alberd meraih tangan Alena, menggenggamnya erat.
Alena menatapnya dengan penuh keraguan.
"Kamu tidak bertanya kenapa? Aku… seorang pembunuh. Apakah menurutmu aku salah?"
Alberd menggeleng pelan.
"Tidak, Kamu membunuh mereka untuk melindungiku dan Nina. Aku tidak peduli apa pun sebutannya. Bagiku, kamu tetap Alena… orang yang paling kucintai."
Alena menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Menunjukkan apa?" tanya Alberd.
Alena mendekat, jari telunjuknya menyentuh dahi Alberd.
"Mata vampir murni bisa merekam kejadian dan membagikannya kepada orang lain. Aku ingin kau melihatnya sendiri."
Alberd menelan ludah. "Baiklah…"
"Tutup matamu." bisik Alena.
Perlahan, Alberd memejamkan mata. Seketika, gambaran peristiwa itu menyeruak ke dalam pikirannya.
Ia melihat saat Alena membuat mobil terlempar ke udara, melihat dua pria yang gemetar ketakutan, lalu melihat bagaimana mereka tercekik dan meronta-ronta sebelum dijatuhkan dari ketinggian. Dan juga bagaimana kawanan kelelawar mencabik-cabik tubuh mereka sampai mati.
Kilatan ingatan itu berakhir. Alberd membuka matanya dengan napas memburu, wajahnya sedikit pucat.
Alena menatapnya lekat.
"Bagaimana? Apakah sekarang kamu berubah pikiran?"
Alberd menelan ludah, masih berusaha mengatur napasnya.
Alena menunduk, suaranya bergetar. "Aku adalah pembunuh yang kejam dan jahat. Aku bahkan menikmati saat menyiksa mereka hingga mati.. Aku..."
Namun sebelum Alena bisa melanjutkan, Alberd tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan erat.
Alena membeku, matanya membelalak kaget.
"Tidak…" suara Alberd terdengar penuh ketegasan.
"Kamu bukan pembunuh kejam. Kamu adalah kekasihku. Tidak peduli meski jika seluruh dunia menganggapmu jahat, aku tidak akan pernah berubah."
Alena terdiam beberapa saat, sebelum perlahan memejamkan mata. Tangannya bergerak, membalas pelukan Alberd dengan erat.
"Iya, sayang…" bisiknya pelan.
Di luar rumah, suara klakson mobil terdengar memecah keheningan.
Alberd melepaskan pelukan mereka dan menoleh ke arah pintu.
"Sepertinya Ayah dan Ibu sudah pulang."
Alena mengangguk. "Ayo kita sambut mereka."
Dengan langkah ringan, keduanya berjalan menuju pintu, sementara di kejauhan, bahaya terus mengintai dalam bayang-bayang malam.
Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.
Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.
Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.
Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.