Hangga menatap gadis kecil di hadapannya,
" bunda sedang tidak ada dirumah om.. ada pesan? nanti Tiara sampaikan.." ujar gadis kecil itu polos,
Hangga menatapnya tidak seperti biasanya, perasaan sedih dan bersalah menyeruak begitu saja, mendesak desak di dalam dadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
omelan mak Dar
" Wahh.. hilang kemana rasa malumu mas?" suara Hanum dari ruang tamu, rupanya ia sudah bangun sedari tadi dan melihat kelakuan kakaknya itu.
Hangga hanya tersenyum saja, ia berjalan melewati Hanum dan menuju kamar dimana Tiara tidur.
Senyum yang memiliki banyak arti pagi ini, senyum yang jarang sekali terlihat karena ada perasaan bahagia yang bertumpuk disana, Hanum jadi bertanya tanya, apa yang sudah terjadi diantara mereka, kenapa dalam semalam mas Hangga nya berani bersikap seperti itu? seakan mbak Rani sudah menjadi miliknya, dan yang lebih mengherankan adalah..
kenapa mbak Rani diam saja saat kening dan bibirnya di cium, di hadapan orang lagi?
apa benar tadi malam terjadi sesuatu?,
Hanum bertanya tanya dalam hati,
karena tidak biasanya kakaknya itu bersikap sedemikian percaya diri,
dulu, waktu masih menjadi suami istri saja, kakaknya itu terlihat enggan sekali menunjukkan bahwa keduanya adalah suami istri,
tapi apa yang Hanum lihat pagi ini,
aura kepemilikan terpancar kuat dari kakaknya, seakan akan ingin memberi tahu semua orang, bahwa mbak Rani adalah miliknya.
Hangga menatap gadis kecil yang sedang lelap itu, di pandangi terus.
" Mata, hidung, bibir, semua lebih mirip dirimu mas, lebih baik cari tau kebenaran tentang kelahiran anak ini," suara Hanum dari balik punggung Hangga.
" Tidak mungkin Kirani berbohong, lagi pula untuk apa dia berbohong?" jawab Hangga tenang, tapi tidak bisa ia pungkiri Tiara memiliki banyak kemiripan dengannya.
" Kita tidak pernah tau apa yang sesungguhnya di pikirkan mbak Rani, dan seberapa kecewanya dia pada keluarga kita?"
mendengar itu Hangga diam, ia berusaha memikirkan ucapan adiknya.
" Sudahlah.. Jangan ramai disini, nanti dia terbangun," Hangga mengajak Hanum keluar dari kamar.
" Tapi.. apa sudah terjadi sesuatu tadi malam?" Hanum yang penasaran mengejar langkah Hangga.
" Mas terlihat senang pagi ini?"
" ah, perasaanmu saja," jawab Hangga menuju kamarnya,
" perasaanku? Sementara ciuman di bibir itu? Dan kepasrahan mbak Rani?" Hanum terus mengejar sampai ke kamar Hangga.
" Harusnya kau senang,"
" senang, tapi kalau mas begitu apa mbak Rani tidak lari? bukankah segala sesuatu ada prosesnya?"
" kau lupa, dia itu mantan istriku, kami bukan orang yang baru bertemu lalu sedang menjalin hubungan pacaran," jawab hangga melepas kaosnya ia berniat untuk mandi, tapi ia lupa bekas cengkraman Rani membekas di dadanya, bahkan ada goresan kemerahan seperti tergores kuku.
Hanum melotot, memperhatikan dada Hangga dengan teliti.
" Nah kan? sesuatu terjadi tadi malam? Kalian adu fisik atau bagaimana sih?"
kata kata Hanum membuat Hangga tersadar, ia sontak berkaca, benar, bekas tangan Kirani masih membekas, mungkin karena kaos putih yang ia pakai tadi malam terlalu tipis sehingga kuku kuku Kirani bisa melukai kulitnya.
Tapi, jika Kirani tidak mencengkeramnya dengan kuat, maka keduanya sekarang sudah pasti menyesal karena sudah melebihi batas.
" Kau benar benar ya mas? diam diam menghanyutkan.. Ckckckck.." Hanum menggelengkan kepalanya berulang ulang.
Ia sungguh tak percaya kakaknya yang pendiam bisa bertingkah seperti itu.
Rani baru saja keluar dari kamar mandi, ia menutupi dirinya dengan handuk, dan berjalan ke kamar.
Ini adalah rumah yang sederhana, dimana kamar mandi terletak di luar kamar dan di belakang.
Di karenakan selama ini Rani hanya hidup berdua saja dengan Tiara, Rani jadi terbiasa bolak balik kamar mandi hanya dengan handuk yang menutupi dirinya.
" Ceklek!" terdengar suara pintu di buka, rupanya Rani lupa menguncinya kembali.
" Tiara?! sudah pulang nduk?!" rupanya suara mak Dar.
" Anu mak, Tiara ku tinggal disana, di masih tidur," ujar Rani sembari keluar dari kamar, masih dengan handuknya.
Melihat Rani keluar, mak Dar terlihat terkejut, perempuan tua itu bahkan sampai menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
" kok bisa begitu tho mbak?" suara mak Dar setelah membuka mulutnya,
" apa nya yang kok bisa begitu mak? aku ndak tega mak mau bawa Tiara turun subuh subuh, kasian..?" jawab Rani.
" Bukan Tiara, tapi dada dan leher sampean itu ?!" seru mak Dar membuat Rani sontak menatap dadanya yang setengah tertutupi Handuk, ia belum bisa melihat dengan jelas,
" opo seh mak? ( apa sih mak?)" katanya berjalan kembali ke kamar dan berkaca.
Betapa terkejutnya Rani saat menyadari banyak tanda kemerahan di leher dan dadanya,
" Hangga sialan.." umpat Rani geram, ditahan suaranya karena rasa malunya sudah tidak tertolong.
" Itu dengan ayah Tiara?" tanya mak Dar masuk ke kamar Rani, perempuan itu sudah seperti pengganti ibunya, tentu saja ia berani bertanya se lugas itu.
Rani diam, ia sungguh malu, segera di tutupi lehernya dengan handuk yang lain.
" Itu dengan ayah Tiara?!" tanya mak Dar lagi,
Rani terpaksa mengangguk,
" memangnya saya kelihatan seperti mau dengan siapa saja mak?" tanya Rani masih dengan rasa malunya.
" mak hanya ingin menegaskan, kalau itu memang perbuatan ayahnya Tiara, bukan menuduh mbak Rani mau dengan siapa saja?!" ujar mak Dar seperti seorang ibu yang sedang menemukan putrinya tidak pulang semalaman dan pulang pulang tubuhnya malah penuh jejak ciuman laki laki.
" Tidak sampai begitu kok mak.." ujar rani lirih, ia tertunduk.
" Tidak sampai begitu bagaimana? Itu merah dimana mana?!" mak Dar menggelengkan kepalanya, persia dengan gelengan Hanum kepada Hangga.
" Mbak Rani ini bukan anak muda lagi, sudah melahirkan satu anak, mak faham,
tapi kalau itu sampai di lihat orang, bagaimana nama baik mbak Rani nanti??"
" saya tadi pulang masih gelap mak, tidak ada orang dijalan.."
" di jalan tidak ada, tapi di sawah banyak mbak?!" tegas mak Dar.
" Pak Putra iki piye?! Moso ndak iso menahan diri?!" omel mak Dar.
Rani masih tertunduk,
" Kalau sama sam cinta itu kenapa dulu bercerai sih mbak.. Mbak??" mak Dar terus saja mengomel,
" sudah ku katakan mak, kejadiannya tidak sampai seperti itu.." ujar Rani lagi,
" tidak sampai seperti itu bagaimana? sudah punya anak satu kok tidak sampai seperti itu?!" omelan mak Dar tidak bisa di hentikan.
.....