"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 30
Orang-orang berpikir hidupnya terlihat mudah sejak dulu, anak tunggal yang dimanja orang tua, cantik, pintar dan populer lalu bahkan setelah kedua orang tuanya tiada mereka masih meninggalkan harta yang banyak agar Gladys tetap hidup enak.
Ia akui dulu kehidupannya memang enak, saat Mama dan Ayah masih hidup, mereka bekerja keras agar Gladys tidak kekurangan apapun, dimanja, diberikan apapun yah dia minta asal masih dalam batas kemampuan mereka.
Namun, secara tiba-tiba maut merenggut semuanya dari tangan Gladys. Anak manja dan cengeng yang dulunya hanya berlindung di belakang orang tua sekarang dipaksa berdiri di atas kaki sendiri parahnya tidak ada satupun kerabat yang bersimpati padanya.
Gladys terpaksa kerja paruh waktu untuk menyambung hidup setelah pulang sekolah, kadang ia bekerja sampai larut, pulang bekerja tetap harus belajar lagi agar nilainya tidak anjlok.
Rutinitas gadis SMA yang dulunya hanya seputar belajar dan bermain kini harus berubah dalam sekejap, Gladys mengorbankan banyak waktu tidurnya untuk bekerja.
Tidak mudah mempertahankan nilai ditengah depresi kehilangan orang tua, kadang kala Gladys memaksa diri untuk terus sibuk agar tidak larut dalam kesedihan.
Setelah menjadi simpanan Gustav pun hidupnya bukan serta merta menjadi lebih baik, memang ia tidak perlu lagi bekerja hingga tipes, tetapi hidup dengan Gustav perlahan merusak mentalnya karena Gustav pria yang toxic dan kasar.
Gladys mengusap air matanya yang kembali mengalir, saat ini ia sedang menyendiri di dalam toilet untuk menangis meluapkan emosi.
Hidup itu sulit bagi Gladys. Masih sehat begini saja sudah anugrah karena tanpa siapapun tahu bahwa sebenarnya sudah ratusan kali kata b u n u h diri berbisik menggoda kewarasannya.
***
Nick menerima laporan jika Brica dan Gladys diam-diam bertemu di cafe depan kantor, pria yang menjabat sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi itu segera menemui Gustav yang sedang melakukan final check pada pesta perayaan ulang tahun hotel.
Acaranya dilakukan nanti malam dan siang ini Gustav masih saja sibuk melakukan pengecekan ulang, pria itu ingin memastikan sendiri bahwa tidak ada cacat cela di pestanya.
Nick mendekat dan menyampaikan informasi yang baru saja dia dapat pada Gustav.
"Apa? Brica mengajak Gladys bertemu?"
"Benar, di cafe depan kantor pada jam makan siang tadi, entah apa yang mereka bicarakan tapi Nona Gladys keluar dalam keadaan menangis."
"Wanita gila itu pasti mengganggunya," dengus Gustav memijit kepalanya yang agak pening karena akhir-akhir ini sangat sibuk dan kurang tidur.
"Anda tidak akan melakukan apapun, Pak? Memberikan peringatan kecil pada Nona Brica misalnya?" tanya Nick hati-hati.
Gustav menaikkan alisnya tinggi. "Untuk apa? Itu masalah antara mereka bukan masalahku."
"Pak, setidaknya Anda bisa sedikit menghibur Nona Gladys. Dia pasti merasa sangat tertekan sekarang."
Gustav tertawa. "Waktuku terlalu berharga, untuk menghibur seorang pelacur!" sinisnya, tapi ketika wajah sedih Gladys terbayang di mata, tak ayal hati Gustav merasa terganggu.
Pria itu bangkit dari kursi. "Sudah waktunya aku bersiap, kita ke butik mengambil pakaian yang aka kau kenakan malam ini," ujarnya mengancingkan jas.
Nick mengangguk, membiarkan sang atasan berjalan di depan lebih dulu dan ia menyusul di belakang seperti biasanya.
Diam-diam Nick menarik napas dalam memikirkan Gladys. Tidak seperti Gustav yang gila, Nick pria yang cukup lembut dan menghargai wanita, moralnya juga bertabrakan dengan pandangan Gustav terhadap wanita.
Nick menghargai semua wanita seperti dia menghargai ibu dan adik perempuannya tetapi di sini ia tidak punya banyak kuasa untuk menolong Gladys.
"Gladys yang malang," gumam Nick pelan.
***
Mita melambaikan tangannya dari depan pintu. Kini hubungan nya dan Gladys sudah kembali seperti semula, sore ini selepas pulang kerja Gladys juga memberinya tumpangan pulang seperti biasa.
"Hati-hati di jalan," ucap Mita riang.
Gladys mengangguk. "Dah, Mita," pamitnya membunyikan klakson lalu melesat pergi meninggalkan halaman rumah Mita.
Perempuan itu menghirup udara banyak-banyak dan melepaskannya perlahan. Hari ini hari yang berat sekaligus melegakan bagi Gladys.
Ia kehilangan banyak energi setelah bertemu dengan Brica di cafe tapi untungnya kini Mita dan dia sudah berbaikan.
"Oh shit!"
Gladys tiba-tiba ingat kalau malam ini adalah pesta perayaan hotel dan dia belum membeli gaun!?
"Sial! Bisa-bisanya aku melupakan hal sepenting ini," decak Gladys merutuki diri sendiri.
Pesta tinggal beberapa jam lagi dan ia belum punya persiapan apapun, dengan panik Gladys meraih ponsel menekan nomor salon langganannya.
Gladys nyalakan speaker dan letakan ponselnya di kursi penumpang, pada dering ketiga telepon diangkat.
"Halo, ini salon Beauty Bell, ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis salon ramah.
"Halo, Mbak. Ini Gladys. Aku butuh make up dan hair do sekarang juga, urgent! Bisa siapin segera? Aku lagi diperjalanan ke sana."
"Sebentar ya kak," ucap si Resepsionis, setelahnya terdengar suara ketikan keyboard komputer.
Gladys mengetuk-ngetuk jarinya pada stir dengan cemas.
Semoga bisa semoga bisa
Suara Resepsionis kembali terdengar. "Aduh, mohon maaf, Kak. Hari ini kita lagi full—Booked. Semua stylish kita pada sibuk."
"Gak ada yang bisa diselipin, Mbak? Aku udah langganan lama loh di Beauty Bell," ucap Gladys berharap.
"Duh, mohon maaf banget Kak, kita udah full—booked sampai besok."
"Yaudah deh, Mbak. Makasih." Tut!
"Shit! Bagaimana sekarang?"
Gladys mencengkram stir kesal. Sekarang dia sudah tidak punya pilihan selain memakai baju-baju yang ia punya, Gladys berdoa semoga ada bajunya yang cocok untuk pergi ke pesta.
Perempuan itu tancap gas mengambil jalan tikus yang sepi agar cepat sampai di apartemennya.
Setengah jam kemudian ia tiba di basement, Gladys cepat-cepat keluar dari dalam mobil dan naik lift ke unitnya.
Melihat jam. "Masih ada waktu dua jam," gumamnya. Ketika pintu lift terbuka.
Gladys berjalan tergesa-gesa menuju unitnya begitu sampai dan membuka pintu dengan fingerprint ia menemukan sosok Gustav yang sudah rapi dengan tuxedo hitam licinnya.
Gladys senyum."Kamu—"
"Jangan datang ke pesta," potong Gustav sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.
Senyum Gladys perlahan surut. "Maksudnya?" tanya Gladys berharap jika dia barusan salah dengar.
"Kubilang jangan datang ke pesta hotel malam ini, Gladys. Aku melarang mu datang," jawab Gustav datar menatap wajah Gladys tajam penuh peringatan.
"Ke—kenapa? Kenapa kamu melarang ku?" tanya Gladys frustrasi. Bahunya melemas kecewa. Sudah ia bilang bukan kalau ia suka pesta, ia suka bertemu dengan orang-orang baru dan memakai gaun cantik.
Gustav tidak pernah mau membawanya ke pesta manapun, dan malam ini adalah satu-satunya kesempatan ia bisa pergi, kesempatan yang telah ia dambakan sejak lama tapi mengapa? Mengapa pria itu malah melarangnya pergi.
"Kau tidak pantas ada di sana!" tandas Gustav tanpa simpati berlalu melewati Gladys yang melemas kecewa.