Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 32
Mobil Vano melambat kala matanya menangkap seorang wanita yang wajahnya mirip sekali dengan Mia sedang ngobrol dengan seorang pria di pinggir jalan. "Mia bukan sih, masa dia senyum-senyum begitu dengan pria" Vano merasa tidak yakin sebab biasanya raut wajah Mia tidak seceria itu, apa lagi keningnya di plester. Rasa cemburu dan ingin tahu menjadi satu.
Vano pun menurunkan kaca mobil, lalu melongok keluar untuk memastikan. Begitu yakin yang dia lihat memang Mia, dia memanggil. "Mia..."
Mia menoleh begitu juga dengan pria yang bersamanya. Seperti anak yang dipanggil orang tuanya ia menurut, secepatnya meninggalkan pria tersebut mendekati mobil Vano.
"Mase mau kemana?" Mia nempel di badan mobil Vano. Tetapi Vano diam menatap nya bingung, mungkin karena melihat luka di dahinya.
"Kamu kenapa" Vano meringis melihat kain kasa yang menempel di kening Mia masih ada bercak kemerahan.
"Eemm... tadi kejedot" Mia menjawab asal, walaupun memang benar.
"Sekarang masuk aku antar pulang" Vano lalu minta Mia untuk naik.
"Tapi..." Mia menoleh barang di kantong hitam, apa iya dia membawa pupuk ke mobil mewah seperti ini. "Tapi aku membawa pupuk kandang" lanjut Mia lalu terkikik.
"Ayo" Vano setengah memaksa, walaupun dalam hati merasa aneh. Untuk apa pula Mia membeli pupuk kandang.
"Sebentar" Mia pun menemui pria yang tak lain teman sekolah SMA nya yang kebetulan bertemu, temanya itu sedang membeli tanaman.
"Fad aku pulang ya sampai ketemu lagi" Mia pamit kepada Fadli.
"Okay... kapan-kapan aku ajak istriku main ke rumah kamu ya," Fadli serius.
"Aku tunggu" Mia pun melambaikan tangan ke arah Fadli lalu pergi.
"Mase saya mau menyimpan pupuk ini di bagasi, ya" Mia menunjukkan kantong plastik besar. Setelah diacungi jempol oleh Vano Mia pun membuka bagasi.
"Aku nggak yakin kalau kening kamu kejedot, sekarang cerita kenapa Mia?" Tanya Vano ketika sudah kembali menyetir.
"Tadi tuh numpang angkutan, terus... kejedot. Sudahlah Mase, nggak usah dibahas lagi. Oh iya Mase, tadi kok potongan kue yang pertama dikasih saya?" Mia mengalihkan.
"Mama yang nyuruh" Vano menjawab asal. Ingin rasanya dia mengatakan bahwa Mia orang yang paling spesial di hatinya, tetapi entah mengapa serangkaian kata yang sudah Vano susun ambyar ketika berhadapan dengan Mia sendiri.
"Tolong sampaikan ucapkan terimakasih saya ke ibu sepuh," tulus Mia.
"Ya" Hanya itu jawaban Vano. Mendadak sunyi, Vano bingung entah mau berbicara apa. Anganya melayang hendak menculik Mia mengajaknya ke Cafe tanpa memberi tahu Mia terlebih dahulu. Pikir Vano, lalu manggut-manggut. Hingga mobil pun melintas di area pasar yang kemarin mereka datangi.
"Saya turun disini saja Mase" Mia mengejutkan Vano. Niat hati dia akan mengajaknya ke Cafe terdekat gagal total.
"Mau membeli apa, aku temani,"
"Hihihi..." Mia cekikikan. Seorang Vano akan menemani ke pasar tradisional yang becek, serasa tak masuk akal.
"Serius Mia, jangan tertawa," Vano saat ini justru senang ke tempat-tempat seperti ini yang belum pernah dia datangi. Selama mengenal Mia, Vano kini mulai melihat ke bawah di mana orang-orang yang masih membutuhkan pertolongan. Kehadiran Mia, membawa pengaruh positif kepada Vano.
"Lagian, biasanya dirimu itu ke Mall, bukan ke tempat seperti ini," ucap Mia sambil membuka pintu. Tanpa bicara lagi Vano ikut masuk ke pasar becek di mana darah ikan, ayam, dan daging membaur menjadi satu menciptakan bau yang tidak sedap, tetapi Vano mengikuti kemana Mia membeli kebutuhan untuk pesanan kue ibu Nurul besok pagi.
"Kamu belanja sebanyak ini, untuk apa lagi," Vano memandangi tumpukan belanjaan yang siap angkat.
"Ada tetangga memesan kue Mase, saya senang sekali sekarang orderan saya banyak" Mia berbinar-binar setelah keluar dari rumah lama, rezekinya terus mengalir dan bisa memberi pekerjaan tetangga juga.
Mia menyingkap kaos membuat mata Vano membelalak. Dia pikir Mia sudah gila, tetapi rupanya ambil kain yang Mia lilitkan di pinggang seperti stagen, kemudian menariknya. Vano yang terus memperhatikan merasa lega karena Mia tidak memperlihatkan aurat bagian perut.
Namun, tanpa Vano duga Mia mengangkat karung akan menggendong seperti biasanya. "Stop Mia" Vano tidak sampai hati melihatnya.
"Jangan lakukan ini Mia" Cegah Vano, menahan karung tersebut ketika Mia hendak mengangkat.
"Ya Allah... saya itu bukan mau bunuh diri Mase..." Mia heran dengan orang kaya, hanya mengangkat berat saja sikapnya berlebihan. Tidak mau mendengarkan ucapan Vano, Mia tetap menggendong karung membawa ke pinggir jalan.
Vano berniat membantu akan tetapi Mia sudah ngacir meninggalkan dirinya. Vano cepat menyusul lalu membuka bagasi.
"Saya pesan angkutan Mase" Mia tidak enak hati, menggunakan mobil mewah untuk mengangkat barang-barang basah.
"Hais, Mia. Kapan sih kamu menurut"
"Iya... iya Mase..."
"Waah... hebat kamu Mia, belum lama bercerai sudah berhasil menggait pria kaya" seorang wanita bertepuk tangan merasa Mia telah memanfaatkan orang kaya.
Deg.
"Mia pernah bercerai?" Batin Vano yang berdiri di sebelah Mia membetulkan posisi karung di bagasi. Mendengar kata cerai seketika balik badan. Hati Vano bergemuruh ternyata Mia pernah bercerai, itu artinya dia seorang janda. Vano menatap Mia yang tetap tegar, tidak menjawab justru mendekati Maya hendak mencium tangan wanita itu, tetapi tangan Mia ditepis kasar.
"Ibu apa kabar?" Mia tetap bersikap baik seperti biasa ketika Maya mengucap sumpah serapah.
"Jangan basi basi Mia, gara-gara kamu mengambil semua isi rumah anak saya, mereka jadi banyak hutang" Maya mencak-mencak sambil menunjuk mata Mia.
"Saya tidak mengambilnya Bu" Mia berusa menjelaskan, ketika pulang jualan barang-barang nya sudah di rumah. Awalnya Mia memang menggertak Ranti akan mengambil barang-barang itu, tetapi Mia sempat berubah pikiran, akan mengikhlaskan semua furniture tersebut. Tetapi, rupanya Slamet yang inisiatif mengantar ke rumah. Namun, lagi-lagi Mia yang disalahkan oleh mertua.
"Jangan bohong kamu!" Maya terus mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Namun, Mia adalah wanita yang kuat, anti mengeluarkan air mata. Bukan hanya tubuhnya yang kuat, tetapi juga kuat menghadapi segala permasalahan baik di rumah, di dunia dagang, dan juga di tempat seperti sekarang.
"Jika furniture itu mau diambil kembali silahkan saja Bu" Mia sedang tidak mau meributkan hal yang ada kaitannya dengan Slamet. Toh dia bisa berusaha untuk membeli kembali.
Sementara Vano masih terpaku di pinggir bagasi, memperhatikan wanita paruh baya yang sedang marah-marah. Vano bingung entah mau berbuat apa. Bukan berarti tidak mau membela Mia, tetapi Vano yakin, Mia bisa menyelesaikan masalah yang tidak pernah dia tahu apa itu.
Hingga 15 menit kemudian, Maya mungkin lelah dia pun akhirnya pulang numpang angkutan.
**************
Brak!
Gebrakan meja menggema di salah satu rumah sederhana. Matanya menatap nyalang pria yang sudah kesakitan karena wajah dan kakinya terluka saat angkot yang dia kendarai menabrak tadi.
"Maaf bude, wanita itu kuat sekali" lapor pria itu, sambil meringis. Bukan diobati justru dimarahi karena gagal menjalankan tugasnya.
"Kamu itu pria atau banci! Mau diberi enak, tetapi kamu tolak," ucap wanita dengan nada membentak.
"Bukan menolak bude, tapi wanita itu tidak bisa kita lawan" Si pria mengatakan tidak menyangka bahwa wanita yang akan menjadi targetnya memukul pundak nya. Sehingga si pria kehilangan kendali, dan mobil angkut miliknya pun menabrak pohon.
"Rasakan itu," Dengus wanita yang dipanggil bude lalu pergi meninggalkan pria yang masih duduk di lantai.
"Bude... jangan pergi, saya bagi duit untuk berobat,"
...~Bersambung~...