Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Rania
Aluna terkejut lantaran Rania mengatakan jika dirinya berbohong Perempuan itu pun menghentikan aktivitasnya dan mendekati Rania lantas mengambil posisi duduk di sebelah Rania. "Rania, kamu berbohong tentang apa?"
"Tentang mereka tadi," jawab Rania.
"Maksudmu om Adrian dan tante Arleta?" tanya Aluna disambut anggukkan kecil oleh Rania. "Aku masih tidak mengerti. Kamu bisa mengatakan secara jelas?" pinta Aluna.
"Baiklah, aku jelaskan." Rania mengubah posisi duduknya mengadap Aluna. "Kamu pasti tahu tempat kerja suamiku, kan?" tanya Rania.
"Bramantyo Corporation," jawab Aluna.
Aluna terdiam sesaat lantas memekik. "Hah, mereka. Astaga, Rania. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan wajah mereka." Rania berseru kegirangan. "Aku benar-benar beruntung mereka hampir menguasai pasar global, 'kan? Dan pusat perbelanjaan ini juga milik mereka, kan?"
"Iya, mereka juga pemilik utama perusahaan itu. Farel hanya membantu mengelola perusahaan itu," sambung Rania. "Tapi yang aku suka dari mereka itu, meskipun mereka kaya raya, tetapi tidak pernah memandang rendah orang lain."
"Ya, aku bisa melihat itu," ucap Aluna. "Lantas, kebohongan apa kamu maksud?"
"Emmm, itu …?" Rania berpikir sejenak. "Tadi aku mengatakan jika yang datang itu rekan bisnis Farel, 'kan?" ucap Rania kikuk.
"Ya Tuhan, itu kebohongan yang kamu maksud?" tanya Aluna.
"Iya," cicit Rania. Sebenarnya bukan itu, Aluna.
Akan tetapi Rania belum bisa mengatakannya. Ia merasa ragu.
"Kamu ini ada-ada saja. Aku pikir hal yang serius." Aluna menggeleng kecil lantas kembali membereskan pekerjaannya.
"Ini sudah sore, ayo kita pulang," ajak Aluna.
"Pulang?" tanya Rania memastikan sebab waktu masih menunjukkan pukul lima sore. "Ini masih jam lima sore. Biasanya kamu pulang jam 7?" sambungnya.
"Urusan rumah tangga sudah diserahkan kembali padaku. Mas Haris juga sudah mengatakan aku boleh bekerja asal tidak boleh mengabaikan pekerjaan keperluan dia," jelas Aluna. "Aku harus siapkan makan malam untuknya juga," sambung Aluna.
"Harusnya kamu biarkan saja nenek sihir itu mengurus semuanya. Jadi … kamu bisa bebas," gurau Rania.
"Jujur itu akan menambah kesulitan bagiku. Kamu tahu kemana yang itu pergi," ucap Aluna.
"Ya, kamu benar," balas Rania.
"Pembantuku juga sudah kembali bahkan bertambah satu. Jadi aku tidak akan kesulitan," tambah Aluna.
"Bagus kalau begitu." Rania bangkit dari duduknya lantas menyapirkan tasnya ke pundaknya. "Ayo pulang."
"Kamu bawa mobil sendiri?" tanya Aluna.
"Tidak, aku ke sini naik taksi," jawab Rania.
"Kalau begitu ayo, aku akan mengantarmu," ucap Aluna.
"Baiklah. Di mana sipirmu?" tanya Rania.
Sebentar aku telepon dulu. Aluna mengambil ponselnya untuk menghubungi Elgar, tetapi matanya lebih dulu menangkap sosok Elgar sedang berjalan masuk ke tempat itu.
"Dia panjang umur. Kita membicarakan dan dia datang." Aluna menunjuk Elgar yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Heh, kamu di sini, Rania. Masih rindu padaku?" goda Elgar.
"Percaya diri banget kamu!" Rania melempar bantal ke wajah Elgar, tetapi langsung ditangkap oleh pria itu dan meletakannya di tempat semula.
"Tidak kena," ucap Elgar.
"Ya Tuhan bisakan kalian akur sebentar?" tutur Aluna.
"Tidak!" jawab Elgar dan Rania bersamaan hal itu membuat Aluna tertawa.
"Ah, sudahlah terserah kalian," kekeh Aluna.
"Ingat yang aku katakan padamu, Aluna kamu harus waspada padanya." Rania memicik tajam ke arah Elgar, tetapi laki-laki itu justru melipat bibirnya untuk menahan tawanya.
"Baiklah, aku akan ingat iru. Tapi ada yang harus diwaspadai olehnya nanti ketikan dia tinggal dirumahku," ucap Aluna.
"Siapa? Suamimu?" bukan Rania yang bertanya melainkan Elgar.
"Bukan?" jawab Aluna.
"Lantas, siapa?" tanya Rania.
"Sandra," jawab Aluna. "Kamu tahu tentunya, Rania sifat Sandra seperti apa," sambung Aluna.
"Ya, kamu benar. Perempuan itu tidak bisa melihat laki-laki tampan sedikit. Mungkin kambing jantan pakai jas dan memakai jam tangan Rolex pun dia akan suka," ejek Rania yang berhasil memecah tawa Aluna dan Elgar.
"Kamu kejam sekali, Rania," puji Aluna.
"Dia memang begitu. Si lidah pahit," ucap Elgar.
"Tutup mulutmu, Elgar," omel Rania.
"Rania jangan mulai lagi," tegur Aluna.
"Abaikan dia. Ayo pulang," ucap Elgar membuat Rania misah-misuh. "Berikan barang-barangmu, biar aku yang membawanya," pinta Elgar.
Tidak ada lagi perdebatan. Ketiganya berjalan menuju lift. Elgar pun menekan tombol turun di depan lift. Ketiga menunggu sejenak sampai pintu lift terbuka.
"Kalian tunggu saja di lobi. Aku akan mengambil mobil di basement," ucap Elgar sebelum mereka masuk ke lift.
Lift muali bergerak turun. Setiap lantai berhenti sebab ada yang keluar maupun masuk. Setelah itu sampailah lift itu di lantai dasar. Aluna dan Rania keluar lebih dulu, sedangkan Elgar masih harus turun menuju basement.
Aluna berjalan bersama Rania menuju lobi. Sebelum itu mereka mampir untuk membeli minuman di lantai itu. Setelahnya mereka berjalan ke lobby. Keduanya menunggu Elgar sembari meminum minuman yang mereka beli. Tidak lama juga melihat mobil Aluna yang dikendarai oleh Elgar.
Elgar keluar dari mobil ketika sampai di lobby. Ia membuka pintu belakang mobil untuk Aluna dan Rania
"Kamu lama sekali," ejek Rania.
"Mobil ini berjalan bukan menghilang," sungut Elgar.
Setelah Aluna dan Rania masuk ia berjalan memutar ke sisi lain mobil. Elgar pun masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Laki-laki memakai Seatbelt dan melajukan mobil itu kembali membawa kereta besi itu keluar dari area pusat perbelanjaan.
"Elgar ini untukmu." Aluna memberikan satu minuman yang ia beli untuk Elgar.
"Oh, terima kasih." Elgar menerima minuman itu dan meletakkannya di tub holder yang ada di sampingnya.
"Kita antar Rania dulu ya," suruh Aluna.
"Siap, Bos," ucap Elgar membuat Aluna terkekeh.
Jalanan nampak sangat padat sebab bertepatan dengan jam pulang kerja membuat mobil itu terjebak oleh kemacetan. Jika biasanya Aluna akan mengeluh, kini dirinya bisa dengan santai mengobrol dengan Rania. Ia juga merasa nyaman sebab Elgar mengemudi dengan baik.
Sudah hampir 1 jam mereka terjebak oleh kemacetan. Beruntung Elgar menguasai kemudi dengan baik, juga hafal jalanan. Laki-laki itu keluar dari jalur, mencari jalan yang tidak padat. Benar saja mereka Akhirnya bisa lolos dari kemacetan dan sampai di rumah Rania dengan cepat.
"Aku beruntung Farel mengenalkan aku pada Elgar. Dia tahu jalan dan juga mengemudi dengan baik," puji Aluna.
"Bagaimana tidak, dia raja jalanan," sindir Rania.
"Rania …." Elgar dan Aluna sama-sama menegur Rania.
"Okey, okey, aku tidak akan bicara lagi," ucap Rania sebelum keluar dari mobil. "Sampai jumpa, Sayangku." Rania memeluk serta mencium pipi kanan dan kiri Aluna.
"Sampai jumpa," balas Aluna.
Setelah itu, mobil kembali melaju meninggalkan rumah Rania. Elgar pun kembali mencari lain agar mereka tidak terjebak oleh kemacetan.
"Oh iya, Aluna bisakah aku bertanya sesuatu?" tanya Elgar.
"Silakan," jawab Aluna. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Aluna.
"Mengenai Sandra. Siapa dia? Dan … sepertinya kamu juga Rania tidak menyukai dia?" tanya balik Elgar.
"Dia adik iparku dan yang Rania katakan itu benar jadi aku ingin kau waspada dengan dia jangan terlalu dekat dengan dia," peringat Aluna.
"Oh, untuk itu kamu tenang saja. Seleraku bukan perempuan biasa, melainkan perempuan yang luar biasa. Contohnya seperti kamu," ucap Elgar.
Eh?
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang