Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bolehkah berharap?
Brak!
Aksa dan seorang pria paruh baya sontak menoleh. Tertuju pada gadis yang mematung. Giliran begini, Laras sendiri yang terkejut. Dia gak tahu kalau Aksa lagi ada tamu.
"Ah, sory," tukasnya, seraya kembali menutup pintu.
Tadinya Laras hendak menemui Aksa. Mempertanyakan tindakan Aksa yang tiba-tiba memecat bu Desi dan dua orang yang sering mengganggunya itu. Maksudnya, dia hendak mempertanyakan, untuk apa Aksa melakukannya? Bukannya selama ini pria itu mendiamkan dirinya dijadikan bahan remehan karyawannya sendiri? Ralat, maksudnya pas jadi Bunga. Mereka gak akan meremehkan, seandainya dari dulu Aksa membelanya. Kenapa baru sekarang, setelah dirinya bisa membela diri. Gengsi dong.
Sementara itu, di ruangannya, Aksa menyungging senyum tertahan. Melihat wajah Laras awal tadi, sepertinya gadis itu hendak mengomelinya. Tapi berubah terkejut karna ada orang lain di ruangannya. Gadis yang sembrono, tapi anehnya justru membuatnya tergelitik.
"Karyawanmu?" tanya pria paruh baya itu, pak Juan namanya.
Aksa hanya tersenyum.
"Berani sekali dia, nyelonong masuk tanpa ketuk pintu dulu."
"Dia istri saya."
Pak Juan terkejut. "Loh? Itu tadi istrimu itu? Tapi kok pakai seragam karyawan?"
Aksa tertawa kecil. "Dia yang minta. Katanya pengen kerja. Bosan di rumah."
"Pantas saja, kok berani nyelonong tanpa ketuk pintu."
Ada-ada saja. Melihat Aksa yang senyam senyum, pak Juan menggelengkan kepala. Anak muda memang tidak bisa ditebak.
Kembali ke topik, Aksa dan pak Juan membahas tentang pekerjaan, yang sempat tertunda karna kedatangan Laras yang tiba-tiba tadi.
.
.
Sepertinya ngomelnya harus ditunda. Aksa ada jadwal di luar. Jadi mereka tidak bertemu di jam makan siang.
Jam kerja sudah selesai. Laras mengganti seragamnya, dan memberesi barang-barangnya. Seperti biasa, dia segera menyusul Aksa ke parkiran. Mobilnya ada. Berarti Aksa belum pulang. Parkiran ini khusus untuk petinggi kantor. Jadi, mobilnya tidak terlalu banyak seperti parkir karyawan. Sepi dan lengang.
Lama banget. Belum ada tanda-tanda kemunculan Aksa. Laras sampai bosan. Bahkan dia sekarang duduk jongkok di bawah, saking bosan dan pegal kakinya.
Laras menekan nomor Aksa. Sedari tadi, cowok itu juga gak mengabarinya. Memang sialan. Gak tanggung jawab banget, udah bawa cewek, gak mau bawa balik.
"Lo dimana sih?" tanyanya to the point, begitu telponnya diangkat.
"Masih di kantor. Kamu belum pulang?"
"Pake nanya lagi. Ya belum lah," Laras menjawab kesal.
"Loh, aku kira sudah pulang."
Naik apa, dodol! Orang berangkatnya bareng dia, pulangnya juga bareng dia lah. Ingin rasanya Laras memaki Aksa.
"Aku lembur. Aku pesankan tak ...."
Laras memutuskan sambungan. Perasaannya dongkol setengah mati. Mulutnya menggerutu kesal. Gak habis pikir sama Aksa. Kok bisa ya, ada orang senyebelin itu.
Gadis itu melangkahkan kakinya. Kembali masuk ke dalam lewat lift khusus. Dia tahu passwordnya, pernah melirik saat Aksa memasukkan angka-angka waktu itu. Untung saja dia masih ingat.
Lift membawanya ke lantai sembilan belas. Kakinya gegas melangkah begitu pintu terbuka. Melangkah cepat. Di kepalanya sudah terangkai umpatan apa saja yang akan dia lontarkan untuk memaki Aksa. Apalagi, siang tadi dia gagal memaki Aksa. Siap menumpahkan saat ini juga.
Tangannya terulur, hendak mendorong seperti tadi siang, tapi urung. Jangan-jangan Aksa sedang meeting, atau ada rekan kerjanya di dalam. Jadi, daripada membuat malu dua kali, kali ini dia mendorongnya hati-hati. Mengintip terlebih dahulu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada Aksa yang tengah berkutat dengan layar tabletnya. Juga sesekali membuka lembar demi lembar berkas.
"Loh, Ras, kok kesini?" ujar Aksa saat melihat kedatangannya.
"Lah, memangnya kemana? Mau ngusir gue?" ketusnya. Bahkan, sambutan Aksa masih terkesan mengusirnya. Gak seneng ya, dengan kedatangannya?
Aksa justru tersenyum. Membuat Laras jadi terkesip. Kenapa harus senyum sih.
"Bukan begitu. Aku kira kamu sudah pulang tadi."
"Berangkatnya sama lo, pulangnya sama elo lah. Gak tanggung jawab banget," Laras menyahut masih dengan nada ketusnya.
"Hari ini aku lembur, Ras. Mungkin pulang lebih malam. Jadi, daripada kamu menunggu kelamaan, aku pesankan taksi."
"Gak mau. Lo aja yang pulang bareng taksi," ceplosnya. Tapi demi melihat kerutan dahi Aksa, sepertinya pria itu terkejut dengan ucapannya barusan.
"Terus, kamu yang nyetir mobilnya sendiri?" tanya Aksa, masih dengan kerutan di dahinya.
Laras mengerjap. Iya juga. Dia aja gak bisa nyetir, aneh. Bisa sih, dulu. Tapi badan Bunga nolak. Mendadak dia lupa caranya nyetir.
"Ya kalau lo tega," ujarnya. "Dahlah. Gue mau nonton. Sana, kerja!" ketusnya, seraya mengambil ponsel dari tasnya. Membaring miring badannya ke sofa. Membuka aplikasi video.
Niatnya memang marah-marah. Tapi, melihat raut lelah dan kucel Aksa, dia jadi gak tega. Kayaknya, dia lagi pusing sama pekerjaannya. Jadi, dia urungkan niatnya. Ngomel bisa lain kali.
"Mau makan atau minum apa? Aku pesankan?" suara Aksa menyela tuna rungunya.
"Gak usah. Gue kenyang," ketus Laras. Tanpa mengalih perhatiannya dari tontonannya.
Dan setelah itu dia tidak mendengar suara Aksa. Pria itu kembali sibuk dengan pekerjannya. Sesekali, Laras menajamkan telinganya, atau menggerakkan matanya, gatal pengen memastikan keberadaan Aksa. Tapi gengsi. Justru, sekarang matanya semakin berat. Pekerjaan yang lumayan menyita tenaganya seharian ini penuh, membuat kantuk mudah saja menyerangnya. Hingga, tanpa terasa, genggaman ponselnya mengendur. Dan berakhir jatuh. Tapi dia sudah tidak sadar. Kantuk membawanya ke alam mimpi. Aksa yang melihatnya, menatap cukup lama. Tapi dia tidak bergerak untuk membenarkan letak tidurnya. Takut membuat gadis itu justru terganggu dan terbangun.
Malam semakin larut, dan sepi tentunya. Hanya detak jam yang perlahan menunjuk ke angka satu. Aksa menghembuskan napas lega setelah menyelesaikan pekerjannya. Tatapannya langsung tertuju ke arah gadis yang meringkuk di sofa, diselimuti jas milik Aksa. Ya, disela pekerjaannya, Aksa sempat menyelimuti gadis itu dengan jasnya. Tidak ada selimut di dalam. Karna dia juga jarang menggunakan rest roomnya.
Aksa beringsut dari duduknya. Dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Laras dalam bopongannya. Laras sama sekali tak terganggu. Mungkin saking mengantuknya. Bahkan, saat Aksa meletakkan tubuhnya hati-hati ke mobil, Laras tidak terganggu. Gadis itu terlanjur nyaman dengan alam mimpinya.
Mobil Aksa membelah mulus jalanan yang sepi dengan kecepatan diatas rata-rata. Lagipula tidak ada kendaraan lain.
Begitu sampai di rumah, Aksa memarkirkan mobilnya di garasi. Melirik ke arah Laras yang masih terlelap. Bandel juga dia. Dari kantor sampai ke rumah, tidurnya sama sekali gak terusik. Sunggingan senyum tipis terbit di bibir Aksa. Melepas sabuk pengamannya. Lalu dengan hati-hati, dia kembali mengangkat tubuh mungil Laras. Membuka pintu dengan sebelah tangannya.
Di rumah sepi. Bi Imah sudah dia kabari kalau mereka akan pulang telat malam ini. Tapi beberapa lampu penting sudah dihidupkan. Jadi tidak terlalu gelap.
Dengan hati-hati, Aksa merebahkan tubuh mungil Laras ke ranjang. Gadis itu sempat menggeliat kecil. Aksa tertegun sesaat saat bibir tipis itu menggumamkan umpatan, yang intinya mengumpati Aksa. Tidak lama, dan kembali tenang.
Aksa tertawa kecil. "Dasar," gumamnya, menarik sudut bibirnya. Menyingkirkan helai rambut Laras yang menutupi wajahnya. Mengusapnya ke belakang. Gerakannya terhenti sesaat. Memandang lekat pahatan feminim di depannya itu. Terutama, bagian yang menarik perhatiannya. Dorongan itu begitu kuat. Hingga, dengan disadarinya, dia semakin membungkuk dan menempelkan miliknya menyentuh bibir mungil yang mengumpatinya tadi, cukup lama. Baru dia jauhkan, setelah sang puan bergerak tipis. Sepertinya Laras merasakan sentuhan tak biasa di cherry-nya. Jantung Aksa hampir mencelos saat ternyata Laras membuka matanya. Aksa menahan napas. Bersiap mendapat amarah gadis itu karna kelancangannya.
Namun, satu dua menit, tak ada reaksi apa-apa. Hingga gadis itu bergerak berganti posisi miring. Posisi yang justru menghadap ke arah Aksa.
Aksa kembali memandang lekat Laras yang kembali terlelap itu. Harusnya begini saja, tolong ... ingatan lamanya jangan kembali.
Sebuah permintaan tak masuk akal. Sekaligus membuatnya gusar.