Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30-Penghujung Kisah
Berprinsip untuk tidak menjalin hubungan sebelum halal adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Menikah bukan untuk uji nyali, maka dari itu harus selektif dalam memilih. Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Banyaknya kerikil tajam, ataupun adanya batu sandungan tidak membuat kita berputus asa untuk tetap teguh mempertahankan. Sebab, kita percaya pernikahan tidak selamanya indah dan mudah, adakalanya kita berada di titik terendah.
"Hati-hati kalau jalan, gak usah grasak-grusuk gitu."
Teguran itu aku dapatkan dari Bang Fariz yang kini sudah berpakaian rapi. Sebuah kemeja dengan dilengkapi jas, serta celana bahan membuat penampilannya semakin menawan.
"Iya, bawel banget sih. Pecinya jangan lupa dipakai," kataku seraya berusaha untuk memakaikannya langsung pada Bang Fariz.
Bang Fariz menggandeng tanganku untuk berjalan ke luar rumah. "Abang kok deg-degan yah."
Aku melirik ke arahnya sekejap. "Alhamdulillah dong, itu tandanya Abang masih hidup."
Bang Fariz menjitak pelan keningku. "Bukan itu maksud Abang. Nggak usah pura-pura polos gitu deh."
"Tarik napas, buang, in syaa allah semuanya akan berjalan lancar," kataku menyemangati.
Bang Fariz mengangguk singkat lalu membukakan pintu mobil. "Gamisnya kepanjangan, awas nanti kalau turun hati-hati. Jangan sampai keserimpet," katanya seraya merapikan gamisku lantas kembali menutup pintu mobil.
Aku hanya geleng-geleng melihat Bang Fariz yang berlari kecil untuk bisa duduk di kursi kemudi. Semakin hari dan seiring bertambahnya usia pernikahan kami, Bang Fariz semakin manis dan perhatian sekali.
Kuputar murottal sebagai teman perjalanan. Mobil yang kami tumpangi berjalan nyaman menyusuri jalan, sesekali berhenti jika ada lampu merah ataupun kemacetan.
"Abang takut telat, masih ada waktu, kan?" tanya Bang Fariz sedikit cemas.
Aku mengangguk pelan. "In syaa allah, nggak akan telat. Abang gak usah tegang gitu ah. Kalau panik fokus Abang suka berkurang."
Bang Fariz melirik sekilas ke arahku. "Iya, ini juga lagi berusaha untuk tenang. Tapi, Abang takut telat, Sayang."
Kuelus tangannya seraya memberikan senyum lebar. "Nggak akan, percaya sama aku. Sekarang Abang fokus nyetir aja, gak usah mikir yang macem-macem."
Sebuah anggukan kecil Bang Fariz berikan.
Mobil yang kami tumpangi pun akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sana sudah terlihat sangat ramai, membuat Bang Fariz semakin panas dingin.
"Bismillah semua akan berjalan dengan lancar, istighfar supaya hati Abang tenang," bisikku saat kami baru turun dari mobil.
"Kalian ini ke mana aja sih? Mama sudah takut kalian telat datang, penghulunya sudah nunggu itu," cerocos Mama saat kami menemuinya.
"Maaf, Ma sedikit macet tadi," jawabku sembari tersenyum tipis.
"Ya sudah sana, kamu sudah ditunggu. Nia biar sama Mama," titah Mama yang langsung dipatuhi Bang Fariz.
"Ish, kamu kenapa malah pake heels sih? Pegel nanti kakinya. Mama, kan sudah belikan flatshoes buat hari ini," omel Mama.
Aku sedikit meringis. "Gamisnya kepanjangan, Ma, kalau pake flatshoes makin nyapu lantai. Heels-nya gak tinggi kok, cuma lima centi."
Kami pun duduk tak jauh dari meja akad. Melihat Bang Fariz memasang wajah tegang, sebisa mungkin aku berusaha untuk menenangkannya dari kejauhan.
Aku merasa bahuku dirangkul oleh Mama, aku pun melirik ke arahnya sekilas.
"Mama tegang, Nia," bisik beliau.
Kupindahkan tangan Mama yang berada di bahu lantas menggenggamnya. "Mama yang tenang, in syaa allah semuanya berjalan lancar."
"Aamiin, makasih yah," sahut Mama penuh harap.
Aku hanya mengangguk dan kembali fokus ke depan.
"Saudara Rezza Devanka saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya, Arumi Syahiba binti Asnawi dengan mas kawin berupa 2.9 gram logam mulia, 5 gram perhiasan emas, serta 2.3 juta rupiah uang dibayar tunai." Bang Fariz berseru lantang seraya menjabat tangan Mas Rezza.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arumi Syahiba binti Asnawi dengan mas kawin tersebut, tunai."
"Sah?"
"Sah!"
Ketegangan serta keheningan yang semula memayungi seketika lenyap, dan digantikan dengan seruan hamdalah dari para tamu undangan.
Mama pun memelukku dengan sangat hangat, beliau berulang kali mengucapkan terima kasih. "Makasih, Sayang, kamu sudah mengizinkan Fariz untuk menjadi wali nikah Arum."
"Sama-sama, Ma. Lagi pula aku nggak papa kok. Malah seneng, bisa lihat Mas Rezza sama Mbak Rumi akhirnya nikah, apalagi Bang Fariz yang jadi walinya," sahutku.
Status Mbak Rumi yang merupakan mantan pacar Bang Fariz sudah benar-benar kulupakan. Itu hanya sebatas masa lalu.
Mbak Rumi akhirnya muncul dari persembunyian dan berjalan secara perlahan menghampiri Mas Rezza yang berdiri tak jauh dari meja akad. Aku merasa senang sekaligus terharu, karena akhirnya mereka bisa bersatu.
Tidak ada mahar seratus juta, tidak pula diadakan secara mewah dan megah. Pernikahan yang sederhana, serta hanya dihadiri oleh keluarga serta kerabat dekat saja. Pernikahan idaman Mbak Rumi akhirnya menjadi nyata.
Perjalanan serta penantian yang cukup panjang, sampai akhirnya mereka bisa sah dan duduk di pelaminan yang sama. Alhamdulillah.
"Lihat Mas Rezza sama Arum, Abang jadi ingat pernikahan kita dua tahun lalu. Nggak kerasa yah," ungkap Bang Fariz yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi kosong sampingku.
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. "Iya, berasa flashback. Waktu terasa cepat berlalu."
Bang Fariz menggenggam tanganku lalu menciumnya sebentar. "Momen sakral itu nggak akan pernah bisa Abang lupakan, akan selalu ada dalam ingatan."
Aku terkekeh kecil dan membawa tangan Bang Fariz untuk mengelus permukaan perutku yang sudah membuncit. "Alhamdulillah sebentar lagi kita akan tambah personil, ada orang ketiga di tengah-tengah kita."
Dikecupnya singkat perutku lantas tangannya beralih mengelus puncak kepalaku. "Semakin nggak sabar menunggu waktu itu tiba."
"Ekhem!"
Deheman kencang yang berasal dari Mama menghentikan kegiatan kami. Aku hanya bisa tersenyum kikuk untuk menutupi rasa malu, sedangkan Bang Fariz bersikap acuh tak acuh.
"Jangan pamer kemesraan di depan umum. Kurang baik," tegur beliau.
Aku mengangguk dan mengucapkan kata maaf.
"HPL-nya kapan, Nak?" tanya Mama seraya mengelus penuh sayang perutku.
"Satu minggu lagi kalau nggak salah."
Mama manggut-manggut paham. "Cucu Mama kalau perempuan pasti cantik kayak Nenek sama Ibunya, kalau cowok jangan sampai kayak Ayahnya, apalagi sifatnya."
"Di mana-mana juga mirip Ayahnya. Nggak mungkin mirip Neneknya, orang Mama nggak ikut andil juga."
"Nggak ikut andil apanya? Ini tuh hasil dari tiket umroh yang Mama kasih, kamu ingat itu, Riz. Mama ikut andil."
Aku hanya bisa geleng-geleng melihat perdebatan sepasang ibu dan anak ini. Selalu saja begitu. Mereka sangat antusias menyambut kehadiran bayi mungil yang saat ini masih berada di dalam perutku.
"Nanti Fariz ganti uangnya. Fariz gak mau anak Fariz dimonopoli Mama," cetus Bang Fariz.
"Nggak usah diganti, kalau perlu nanti Mama kasih lagi. Mama mau menikmati masa tua dengan ditemani cucu-cucu Mama."
"Ya Allah, Ma, ini juga belum lahir malah udah kepikiran buat nambah lagi," protesku.
Tanpa dosa Mama malah tertawa. "Becanda, Nia."
"Aku akan tagih janji Mama, satu atau dua tahun lagi," timpal Bang Fariz tanpa tahu malu.
Aku mencubit pinggang Bang Fariz cukup kencang. "Nggak ada yah, Bang."
"Banyak anak banyak rezeki, Sayang."
Kujewer kupingnya hingga memerah, mengabaikan ringisan Bang Fariz yang minta untuk dilepaskan. "Yang diutamakan itu kualitas, bukan kuantitas."
"Banyak kalau berkualitas jauh lebih baik."
Sontak aku pun beralih melirik pada Mama yang begitu enteng berkata demikian. Anak sama ibu memang sebelas duabelas.
"Ishhhh, perut aku mendadak kenceng dan mules, Ma," desisku spontan memegang perut.
Tanpa aba-aba Bang Fariz langsung menggendongku. "Abang nggak mau anak Abang lahir di nikahan orang. Kita ke rumah sakit sekarang!"
Aku mengalungkan tangan di leher Bang Fariz dan menyembunyikan wajah di dadanya untuk menahan malu karena jadi pusat perhatian.
"Bang!" panggilku menahan tangan Bang Fariz yang hendak menyalakan mesin mobil.
Bang Fariz menoleh dengan senyum yang dipaksakan. "Kenapa? Ada yang sakit? Nggak tahan mau lahiran? Tahan sebentar yah, Sayang."
Aku menggeleng pelan. "Mulesnya ilang, Bang."
Terdengar helaan napas singkat. Bang Fariz pun dengan lembut mengelus perutku. "Kamu ini seneng banget lihat Ayah sama Umma panik," ungkapnya lalu memberi sedikit kecupan.
"Bang Fariz modus mulu, geli tahu. Jangan cium-cium perut aku sembarangan!" omelku.
"Protes mulu kamu," ocehnya lalu mencium kedua pipiku tanpa izin.
"BANG FARIZ!!!"
...—SELESAI—...