Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 12 — I have Three Rules
Tak ada yang membuat pagi Faza terasa lebih indah selain saat ia membuka mata, Ashana berada di sampingnya. Bagi Faza, wajah Ashana yang polos tanpa riasan dan rambutnya yang tergerai indah tanpa hijab adalah pemandangan langka yang mungkin akan ia sesali jika ia tak memaksanya semalam.
Cahaya matahari yang menyelusup masuk lewat celah jendela kamar dan tepat mengenai wajah perempuan itu hingga ia terusik adalah mimpinya tujuh tahun lalu. Mimpi yang kini terwujud dengan cara yang tak pernah ia sangka.
"Cantik," gumam Faza, jari-jarinya bergerilya di wajah Ashana, mengusap kelopak mata, hidung hingga bibir. Faza bahkan merasa senang saat berhasil mengusik tidur Ashana.
Merasa seseorang mengganggu tidurnya, Ashana pun menggeliat dan berbalik memunggungi Faza. Saat itulah Faza menunjukkan senyum jahilnya yang hilang selama tujuh tahun terakhir.
Setelah merasa cukup puas menjahili istrinya, ia pun beranjak dari posisinya yang nyaman. Meski rasanya enggan sekali meninggalkan tempat di mana ia bisa bebas bersama Ashana. Tapi ia tak boleh berlama-lama di sana.
Setelah Faza menuntaskan mandi dan berpakaian dengan rapi, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan cukup kuat.
Merasa tak ada sahutan dari dalam, Vanya pun mengetuk pintu sekali lagi dan berkata dengan cukup keras, mengingatkan Faza untuk sarapan.
"Kak? Apa kau sudah bangun? Jika sudah, cepat turun ke bawah, sarapan sudah siap!" Setelah itu, Vanya kembali turun karena tak mendapatkan jawaban.
Mendengar itu, Faza berniat membangunkan Ashana. Ia bergerak membuka tirai jendela kamar dan membiarkan cahaya matahari menyorot langsung wajah Ashana yang masih lelap.
Perempuan itu menggeliat bangun, mengerjapkan matanya secara perlahan lalu membuka mata. Hal pertama yang ia dapati adalah Faza yang tersenyum ke arahnya. Pria itu bahkan membelai anak rambutnya yang tergerai di dahi.
"Bangun dan mandilah lalu turun ke bawah, kita sarapan," kata Faza lalu berdiri. Membenarkan kerah bajunya, Faza tersenyum menatap Ashana yang tampak bingung. "Ayo," ajaknya lalu mengulurkan tangan.
Ashana bergeming di posisinya, "I have three rules," gumamnya dengan sorot mata waspada, kedua tangannya meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
Mendengar pernyataan itu, Faza kembali tersenyum. Lucu sekali kau, Ashana, pikir Faza. Kemudian, ia kembali ke tempat duduknya semula. "Apapun aturan yang kau ingin katakan, katakanlah setelah kita selesai sarapan," kata Faza dengan tegas tepat di depan wajah Ashana.
Tak ada hal yang berarti selama sarapan berlangsung, hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang memecah sunyi di meja makan. Kesunyian itu membuat Ashana terasa sesak dan sulit menelan makanan yang dikunyahnya.
Tempat duduknya yang berhadapan langsung dengan Faza, membuat atmosfer di meja makan semakin canggung, belum lagi tatapan Vanya yang menyelidik ke arahnya kian membuat Ashana merasa tertekan.
"Kak, apa boleh aku pergi ke luar?" tanya Vanya saat mereka telah menyelesaikan sarapannya. Alih-alih menjawab, Faza justru mengambil serbet dan menyeka mulutnya.
"Aku ingin menemui teman lamaku, aku sudah berjanji akan menemuinya hari ini," kata Vanya lagi menegaskan ucapannya sebelumnya.
Faza pun mengangguk, "Pergilah jika kau sudah berjanji, kau harus menepati janjimu padanya," jawabnya seraya melirik Ashana sekilas.
Setelah perbincangan itu, keduanya melanjutkan obrolan mereka dengan hal-hal kecil, mengabaikan keberadaan Ashana sepenuhnya, seolah ia hanyalah sebuah benda yang tak terlihat dan tak perlu diajak berbicara.
"Aku sudah selesai," kata Ashana setelah menghabiskan hidangan terakhirnya. Faza dan Vanya sontak menoleh, baru sadar bahwa Ashana masih di sana, mungkin mendengar semua percakapan konyol mereka.
"Ya, pergilah ke atas jika kau sudah selesai," ujar Faza yang terdengar seperti mengusir Ashana dari sana. Ia mendelik lalu berjalan naik ke atas. Sedangkan Faza dan Vanya kembali melanjutkan percakapan mereka yang tertunda.
Ashana membuka pintu kamar Faza dan menutupnya dengan sangat pelan. Sebenarnya, ia sangat ingin berjalan-jalan untuk menghilangkan rasa bosan. Tetapi, ia sadar, tak banyak hal yang bisa ia lakukan di sini. Ini bukan rumahnya sekali pun Faza memintanya untuk menganggap rumah mereka sebagai rumahnya sendiri.
Ashana berjalan menuju balkon, membuka rolling door yang sebenarnya adalah jendela. Ia berdiri di tepi teralis balkon, merentangkan kedua tangannya ke samping, merasakan cahaya mentari pagi ternyata bisa menenangkan hati dan pikirannya.
Cahaya itu, menerpa wajah cantiknya dengan lembut, membelainya dengan hangat. Entah sudah berapa hari Ashana tak dapat merasakan kedamaian seperti ini.
"Sedang apa kau?"