Mind-blowing

Alice menggigit bibir, khawatir "Aku sudah menduganya, saat melihat raut wajahmu. Tapi bagaimana bisa? Aku pikir alasan itu benar-benar tepat."

Alice meremas selimutnya, dengan suara pelan kembali berbicara "Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Cindy menghela napas lagi, memandang langit-langit kamar. "Aku harus mencari alasan lain. Alasan yang tidak bisa mereka bantah. Aku hanya... butuh waktu untuk memikirkannya."

Mereka diam selama beberapa menit. Tiba-tiba Cindy tersadar akan sesuatu.

"Al." Panggil Cindy, Alice pun menoleh.

"Orang tua kita hanya tau kalau aku yang berkencan, padahal kenyataannya adalah kau. Dan pria itu ingin melanjutkan ke pernikahan, berarti yang dia maksud adalah kau. Sementara... Sulit menjelaskannya... tapi kau mengerti maksudnya kan?" Ucap Cindy, mereka saling melayangkan tatapan penuh arti.

"Tidak mungkin... Aku sudah berusaha seburuk mungkin." Alice mengerti, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia tidak peduli bagaimana rupamu."

"Tidak mungkin dia tidak peduli! Aku masih ingat jelas cara dia menatapku, seolah aku adalah wanita rendahan. Aku benar-benar tidak ada harga diri di hadapannya. Itu seharusnya berhasil, Cindy." Jawab Alice mencoba menolak kenyataan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Perjodohan ini pasti sangat menguntungkan untuk kedua belah pihak, baik daddy ataupun pria itu. Mereka mengutamakan kepentingan bisnis dan pria itu mengesampingkan fisik buruk. Meski kenyataannya fisik kita sempurna." Ucap Cindy serius.

"Inilah kenyataannya, Al. Kini kita sama-sama berada di posisi yang berbahaya sekarang. " Sambung Cindy dengan tegas. Mendengar itu, Alice terdiam menunduk.

"Namun ada baiknya dia bersikap terlalu formal. Dia pasti menyebut nama wanita yang dikencaninya dengan nama belakang kita. Dia memanggilmu Nona Swan. Jelas itu aku, Cindy Swan yang Daddy pikirkan. Tanpa curiga Nona Swan yang dimaksud adalah dirimu, Alice Swan." Jelas Cindy, Alice mendongak masih dengan kekhawatirannya.

"Dia terlihat sangat tajam, namun ternyata tidak begitu dengan pemikirannya. Dia bahkan tidak menyadari kalau kita telah mengelabuinya. Daddy terlalu berlebihan memujinya." Jawab Alice, ia bingung dan takut.

"Selama dia tidak menyebut nama lengkapmu, kita aman. Sekarang kita hanya perlu menyelesaikan dengan berhati-hati tanpa kesalahan lagi. Kau percaya padaku?" Cindy mengambil tangan Alice, menggenggamnya erat. Alice mengangguk.

"Kita akan melewatinya bersama-sama. Kita akan segera kembali hidup nyaman tanpa rasa khawatir lagi."

Ia menatap kakaknya dengan tatapan penuh kepercayaan dan Cindy membalas dengan tatapan penuh tekad. Meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan, mereka berdua tahu ini tidak akan mudah, tapi tidak akan menyerah begitu saja.

*

*

Malam hari, Alice mulai mengantuk.

Sementara Cindy yang berada disampingnya tengah bersandar di headboard sambil memegang ponsel ditangannya, memuat panggilan video bersama kekasihnya.

"Cindy, aku tidur duluan ya." Ucap Alice bangun sebentar dan mencium pipi kakaknya.

Cindy mengangguk, mengiyakan. "Selamat malam, Al."

"Selamat malam, Cindy. Selamat malam, Kevin." Ucap Alice sekali lagi, menunjukkan sedikit wajahnya dilayar panggilan. Lalu kembali tidur dengan posisi membelakangi Cindy.

(Kevin) "Iya, selamat malam, Al. Semoga mimpi indah."

(Kevin) "Aku masih banyak pekerjaan disini. Belum tau pasti kapan akan kembali ke London."

(Cindy) "Bukankah ada kakakmu yang mengatur semuanya?"

(Kevin) "Ya, tapi William ingin aku mulai mengambil peran di perusahaan. Jadi aku akan semakin sibuk sekarang."

(Kevin) "Saat pulang kesana, aku akan segera menemuimu. Setelah itu kita akan melanjutkan pendidikan Doktor bersama-sama seperti sebelumnya, okay?"

...

(Kevin) "Sayang, kau masih disana?"

(Cindy) "Aku di sini."

(Kevin) "Apa kau baik-baik saja? Kau mengantuk?"

(Cindy) "Aku baik-baik saja."

[Suasana hening sejenak, hanya suara napas Cindy yang terdengar. Pikirannya terus berputar, membayangkan bagaimana ia harus melawan keputusan keluarganya.]

(Kevin) "Kenapa kau banyak diam sejak tadi? Ada sesuatu yang kau pikirkan? Kalau ada sesuatu yang membebani hatimu, kau bisa bercerita denganku, Sayang... Aku siap mendengarkan."

(Cindy) "Tidak ada."

(Kevin) "Kau yakin?"

[Cindy mengangguk.]

(Kevin) "Sayang, apa kau-"

[Belum selesai dengan perkataannya, Cindy lebih dulu memotong.]

(Cindy) "Kevin, sudah dulu. Aku ingin istirahat."

...

Setelah panggilan berakhir, Cindy menatap layar ponselnya yang gelap dan berbaring dengan perasaan campur aduk. Memejamkan matanya, memaksakan diri untuk tidur.

Baru beberapa detik membaringkan tubuh, ia kembali bangun.

Malam itu, keheningan menyelimuti kamar Alice. Cindy duduk gelisah di tepi ranjangnya, matanya menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan cahaya rembulan. Suara detik jam yang menggema di kamarnya semakin memperjelas kesibukan pikirannya.

"Kenapa Daddy dan Mommy bersikeras soal perjodohan ini?"