"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Dua tahun berlalu begitu cepat. Tidak ada yang berubah dalam hidup Asya kecuali dia yang harus semakin giat bekerja. Wanita yang kini berusia 21 tahun itu tak lagi memikirkan soal kuliah seperti yang digalaukannya dua tahun lalu. Sekarang Asya lebih fokus ke bagaimana dia bisa mendapat uang yang banyak untuk membantu ekonomi keluarga.
Tapi, hei! Memangnya berapa yang bisa didapat Asya jika hanya bekerja di desa. Pekerjaan semakin berat namun gaji tetap seperti itu. Mungkin bertambah namun hal itu tidak mengubah apapun sebab harga barang yang harus dibeli juga bertambah mahal. Jadi bisa dibilang sama saja.
Asya sudah pernah meminta izin pada orang tuanya untuk bekerja di kota, tapi entah karena terlalu sayang atau takut Asya salah pergaulan membuat Yani dan Hamid melarangnya dengan keras.
"Hah ... sepertinya aku bakalan tetap di sini buat selamanya," gumam Asya sambil melempar tanah yang cukup gersang yang berada di hadapannya. Wanita itu menatap ke arah atas di mana pohon kopi yang harus dipanjatnya juga bertumbuh semakin besar yang berarti kesulitannya juga makin bertambah.
Tidak. Mengeluh seperti ini tidak akan membuat pekerjaannya selesai. Meski lelah dia tetap harus menyelesaikan semuanya hari ini agar bisa membawa uang saat pulang. Aysa memasang lagu dari ponsel bekas yang beberapa bulan lalu dibelikan ayahnya untuknya. Sambil bernyanyi kecil, Aysa mulai melakukan pekerjaannya. Setidaknya dengan adanya musik yang terdengar, suasana kebun tidak terlalu sunyi. Musik itu juga menambah semangat Asya dalan bekerja.
Pulang dalam keadaan pakaian yang kotor dan lusuh sudah menjadi hal yang biasa untuk wanita dengan rambut panjang yang diikat tinggi tersebut. Wajahnya akan tetap memancarkan senyuman sebab dalam tas gedongan bekas saat sekolah dulu itu terdapat uang yang akan dia berikan pada sang ibu.
Tak butuh waktu lama, kini Asya sudah sampai di rumahnya. Dia membersihkan diri terlebih dahulu sebelum beristirahat. Mungkin karena terlalu lelah memanjat, wanita itu jadi cepat terlelap. Dia baru terbangun saat Ibunya kembali.
Asya segera menghampiri sang ibu, membantunya membawa alat-alat yang wanita itu gunakan di kebun.
"Kamu udah lama pulangnya?" tanya Yani pada putrinya.
"Udah, Bu. Asya bahkan udah tidur tadi," jawab Asya sambil tertawa kecil. Yani hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah setelah mencuci kakinya. Rumah itu boleh saja sederhana namun sangat bersih. Siapa lagi jika bukan Luna pelakunya. Adik Asya itu memang rajin sekali. Hampir semua pekerjaan rumah kecuali memasak dan mencuci gadis itu lakukan.
"Adik kamu belum pulang?" tanya Yani saat tak melihat eksistensi Luna.
"Katanya dia ada kerja kelompok, Bu, dan mungkin bakalan nginap di rumah temannya," jawab Asya.
"Oh gitu," Yani beranjak menunju kamar mandi namun sebelum tenggelam di balik pintu yang terbuat dari seng halus tersebut dia kembai berkata, "Oh iya, besok kamu aja ya yang datang ke hajatannya Bu Dahlia."
"Iya, Bu," jawab Asya tanpa batahan. Lagipula dia juga tahu ibunya tidak bisa pergi kemana-mana, maklum musim kemarau sudah tiba. Dia harus bekerja ekstra menyiram tanaman sayurnya lebih sering lagi.
Keesokan harinya Asya sudah siap-siap dengan baju panjang di bawah lutut berwarna coklat tua. Baju yang dia pakai saat lebaran beberapa bulan yang lalu. Tidak apa-apa sebab itu baju Asya yang paling baru. Tampilan Asya memang sangat sederhana untuk seseorang yang akan menghadiri hajatan. Tapi mau bagaimana lagi. Yang penting pakaiannya tetap sopan dan layak dipakai.
"Asya!" teriak seseorang dari luar. Itu Dini anak tetangganya yang akan ikut bersamanya ke hajatan Bu Dahlia.
"Iya! Tunggu ya!" balas Asya keluar dari kamarnya dengan sedikit tergesa-gesa. Dia mengambil flat shoes di rak penyimpanan yang hanya terisi dia buah sepatu. Satu miliknya dan satu lagi milik adiknya. Sepatu yang hanya akan dipakai saat ada acara seperti ini. Itulah sebabnya sepatu miliknya itu sangat awet sampai bisa bertahan satu tahun lebih.
Saat sampai di luar, Asya tertegun melihat penampilan Dini. Baju yang dikenakannya terlihat begitu berkilau dan bagus senada dengan jilbabnya. Make up yang dia kenakan juga membuat Asya sampai pangling.
Tiba-tiba Asya merasa sangat rendah. Dia merasa malu berjalan di samping Dini yang terkenal sebagai gadis tercantik di desa tersebut.
'Aduh! Seharusnya aku pergi sendiri aja.' Batin Asya meruntuki keputusannya mengajak Dini.
"Sya, ayo cepetan. Panas banget nih," ujar Dini menyadarkan Asya dari lamunannya.
"Iya," jawab Asya cepat-cepat memakai sepatunya lalu menghampiri Dini.
"Sini biar aku aja yang bawa payungnya," ujar Asya mengambil alih payung dari tangan Dini. Panas siang itu memang terasa terik sekali. Mereka memilih berjalan kaki juga karena jarak antara rumah mereka dan rumah Bu Dahlia tidaklah terlalu jauh.
Saat sampai di sana mereka menjadi pusat perhatian. Tentunya dengan tatapan yang berbeda. Dini yang pandang dengan tatapan kagum sementara Asya yang pandang dengan tatapan yang seakan tengah menghakimi penampilannya. Bukan hanya karena barang murah dan tua yang dia kenakan tapi juga karena Asya membiarkan rambut panjangnya tergerai begitu saja di saat semua yang hadir di sana mengenakan jilbab.
Asya sudah sering ditatap seperti itu. Tak jarang juga ada yang menegurnya agar mengenakan jilbab seperti mereka. Namun hingga saat ini Asya masih enggan mengenakannya. Dia tidak ingin mengenakan jilbab karena mengikuti kebiasaan wanita-wanita di desanya. Dia ingin mengenakan jilbab jika memang hatinya sudah siap. Asya tidak meminta pembenaran untuk prinsipnya itu. Pribadi setiap orang kan beda-beda.
Setelah selesai makan, Dini pamit pada Asya untuk bergabung bersama teman-temannya. Kenapa Asya tidak diajak? Tentu saja karena Asya bukan bagian dari mereka. Bisa dikatakan Asya dan keluarganya itu cukup dikucilkan di lingkungannya karena keadaan mereka yang tidak punya harta.
Miris bukan? Tak hanya keluarganya, bahkan orang di kampungnya pun melakukan hal yang sama. Namun karena sudah terbiasa, Asya pun tak terlalu memikirkannya.
Wanita itu lalu beranjak. Daripada dia bersedih di sana lebih baik dia ke sound sistem, sudah lama juga Asya tidak menyanyi. Setidaknya dengan bernyanyi akan membuat Asya senang.
"Asyafa!" Padahal Asya belum sampai di sana namun seseorang sudah memanggilnya.
Asya sedikit memicingkan mata untuk melihat siapa yang tengah memanggilnya di belakang panggung. Wanita tetap melanjutkan langkah sembari mengingat wajah wanita yang tengah melambai padanya.
"Astaga, Indah!" Baiklah, akhirnya Asya mengingat sosok wanita itu. Mereka saling berpelukan dengan sangat erat. Ya, dia Indah Permata salah satu teman akrab Asya saat masih SMA.
"Ya ampun, Asya, aku gak nyangka banget loh bisa ketemu kamu di sini," kata Indah membawa Asya untuk duduk di sampingnya.
"Aku juga. Ya ampun, Indah, kamu tambah cantik aja," puji Asya membuat gadis yang memiliki tinggi lebih dari Asya itu tersenyum malu-malu.
"Makasih loh. Sebenarnya kemarin pas nerima job terus bosku bilang bakalan nyanyi di desa ini, aku berharap banget bisa ketemu sama kamu. Karna aku tau kamu tinggal di sini. Akhirnya bisa ketemu juga. Sumpah aku kangen banget sama kamu, Sya," kata Indah panjang lebar lalu memeluk Asya sekali lagi.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,