Hera membaca novel Fantasi yang tengah trending berjudul "Love for Ressa", novel klasik tentang Dante, seorang Duke muda yang mengejar cinta seorang gadis bernama Ressa.
Tentunya kisah ini dilengkapi oleh antagonis, Pangeran Mahkota kerajaan juga menyukai Ressa, padahal ia telah bertunangan dengan gadis bernama Thea, membuat Thea selalu berusaha menyakiti Ressa karena merebut atensi tunangannya. Tentunya Altair, Sang Putra Mahkota tak terima saat Anthea menyakiti Ressa bahkan meracuninya, Ia menyiksa tunangannya habis-habisan hingga meregang nyawa.
Bagi Hera yang telah membaca ratusan novel dengan alur seperti itu, tanggapannya tentu biasa saja, sudah takdir antagonis menderita dan fl bahagia.
Ya, biasa saja sampai ketika Hera membuka mata ia terbangun di tubuh Anthea yang masih Bayi, BAYANGKAN BAYI?!
Ia mencoba bersikap tenang, menghindari kematiannya, tapi kenapa sikap Putra Mahkota tak seperti di novel dan terus mengejarnya???
#LapakBucin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
...****************...
Paviliun Rotter, Akademi Kerajaan
“Kau ingin pesan apa?”
“Roti seperti biasanya saja.”
Shenina beralih pada Anthea, “Aku juga sama, Shenina.” Jawab Anthea.
Saat ini mereka tengah berada di Paviliun Rotter karena istirahat pelajaran. Di tengah ruangan yang ramai dengan percakapan dan tawa, Anthea duduk di meja panjang dari kayu mahoni, diapit oleh dua sahabatnya, Aru dan Shenina. Meja mereka dipenuhi oleh cangkir teh hangat dan piring kecil berisi roti panggang manis yang baru saja di bawakan Pelayan Paviliun.
Aru, dengan senyum khasnya yang cerah, sedang bercerita tentang pelatihan pagi yang baru saja mereka selesaikan. Shenina menyimak sambil sesekali mencubit roti panggangnya, lalu ikut bercerita hal lain hati ini.
Namun, di tengah hiruk pikuk suasana dan kehangatan mereka, pikiran Anthea melayang jauh, melintasi batas-batas akademi dan kerajaan ini.
Wajah Altair terbayang di benaknya—tatapan tegas sang Pangeran Mahkota yang selalu membuatnya merasa aman.
Ini sudah bulan ke-3 Altair dan juga Ares pergi ke Kerajaan Crylic, menjalankan sebuah misi penting untuk mencegah wabah yang mengancam benua ini. Kekhawatiran menggelayuti hatinya mengingat dua lelaki terdekatnya itu.
“Anthea, kau mendengarku?” Suara Shenina memecah lamunannya. Anthea tersentak, menatap kedua sahabatnya yang kini memandangnya dengan alis terangkat.
“Maaf,” jawab Anthea sambil tersenyum tipis, mencoba mengusir rasa cemasnya. “Aku hanya... memikirkan sesuatu.”
Aru tertawa kecil, memukul bahu Anthea dengan lembut. “Jangan bilang kau memikirkan Altair lagi,” godanya. Wajah Anthea memerah seketika, tapi tidak bisa disangkal, ketidakpastian tentang Altair terus mengganggu pikirannya.
Entah kapan laki-laki itu akan kembali. Tidak ada adegan seperti ini dalam novel, sehingga Anthea tak dapat menerka kejadian selanjutnya. Mereka memang sesekali bertukar surat, tapi tak ada kepastian kapan misi itu selesai.
“Oh, astaga. Aku sudah janji bertemu kakakku di perpustakaan,” Ujar Aru menepuk keningnya.
“Kau ingin ke perpus sekarang? Aku juga ada keperluan di sana bersama anak kelasku,” Ujar Shenina, Aru mengangguk.
Keduanya beralih pada Anthea, “Sepertinya Aku pergi dulu, apa kau tak apa sendirian di sini?” Tanya Aru. Waktu istirahat mereka masih cukup lama.
Anthea mengangguk, “Tak apa, pergilah. Nanti aku akan langsung ke kelas selesai makan.”
“Ya sudah, kami pergi dulu, Anthea.” Ujar Aru, sebelum pergi ia mengambil sepotong kuenya untuk di makan di jalan ke perpustakaan, lalu pergi bersama Shenina.
Anthea sendiri menikmati makanannya dengan tenang. Sepiring kue tart kecil dan secangkir teh melati menjadi temannya di saat-saat hening ini. Ia mengamati sekeliling ruangan, memperhatikan kerumunan para siswa akademi yang sibuk berbicara, tertawa, dan menikmati makanan mereka.
Sampai, suara pecahan piring keramik terdengar. Pandangan Anthea segera tertumbuk pada sebuah pemandangan di sisi lain paviliun.
Clarissa, dengan sikap sombong dan senyum mengejek, tengah berdiri di depan Ressa, gadis pendiam dengan rambut cokelat bergelombang yang kini tampak ketakutan. Clarissa mengeluarkan tawa sinis sambil berkata sesuatu yang membuat Ressa seolah semakin mengecil di tempatnya.
Tanpa pikir panjang, Anthea meletakkan sendok peraknya dan bangkit dari kursinya. Ia melangkah cepat, menyusuri lorong-lorong meja yang dipenuhi siswa, menuju ke arah Clarissa dan Ressa.
“Lady Clarissa,” suara Anthea terdengar tegas, cukup untuk membuat kerumunan di sekitar mereka menoleh. Clarissa menoleh, alisnya terangkat dengan sikap penuh tantangan.
“Cukup. Berhenti mengganggunya!” Tatapan Anthea beralih pada Ressa, “Kau, pergilah dari sini.”
Gadis itu mengangguk, “Te-terima kasih, Lady.” Ujar Ressa dengan tatapan lega dan segera pergi.
Ah, Rasanya Anthea sangat dejavu, kejadian ini persis seperti saat hari pertamanya di akademi, lalu ia tak lagi mendengar orang-orang seperti Clarissa membuat keributan hingga hari ini
Senyum Clarissa memudar seketika melihat mangsanya pergu, digantikan oleh sorot mata penuh kemarahan. “Jangan mentang-mentang kau Putri Mahkota, Anthea, kau pikir bisa seenaknya mengaturku,” katanya dengan nada meremehkan, suaranya tajam seperti duri.
Anthea menatapnya, mata birunya bersinar dingin. “Aku tidak mengatur siapa pun. Aku hanya menegakkan keadilan. Jika kau berpikir status memberimu kebebasan untuk berbuat semaumu, kau salah besar.”
Sejenak, suasana di Paviliun Rotter terasa menegang. Para siswa berhenti bercakap-cakap, menyaksikan ketegangan yang kini menggantung di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Cukup, Clarissa!”
Tiba-tiba, seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam legam dan mata abu-abu yang tajam melangkah maju. Dexter, siswa senior yang dikenal bijak dan tegas, mendekati Clarissa.
Mendengar nada tegas namun tenang itu, Clarissa mendengus pelan, lalu berbalik dan pergi dengan wajah merengut, meninggalkan area Paviliun Rotter.
Dexter menoleh ke arah Anthea, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. “Maafkan kekacauan ini, Putri Anthea. Clarissa kadang lupa batasannya,” katanya dengan nada tulus.
Anthea tau siapa pria ini, salah satu bangsawan Duke di Scarelion dan merupakan kerabat dekat Clarissa. Laki-laki itu saat ini berada di tingkat tiga akademi.
Anthea menghela napas, sedikit lega melihat intervensi Dexter. “Terima kasih. Aku menghargai sikapmu.”
“Itu sudah seharusnya,” jawab Dexter, matanya menatap lurus ke dalam mata Anthea. “Kami semua di sini untuk belajar dan saling menghormati, bukan membuat keributan.”
Anthea tersenyum tipis, ada rasa respect pada Dexter baginya. “Benar. Semoga Clarissa bisa belajar dari kejadian ini.”
Dexter mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman samar. “Aku pasti berusaha agar dia tidak berulah lagi. Dan jika ada masalah lagi, aku ada di sini untuk membantu.”
Percakapan itu mengurangi ketegangan yang tadi menyelimuti Paviliun Rotter. Para siswa kembali melanjutkan kegiatan mereka, dan Anthea menatap Dexter sejenak sebelum kembali ke mejanya.
Tak di sangka, laki-laki itu mengikuti langkah Anthea dan langsung duduk di hadapannya.
“Apa saya boleh bergabung di sini, Putri?” Tanya Dexter.
Anthea hanya mengangguk pelan, tak merasa keberatan. Ia menikmati makanannya sendiri dengan fokus. Tak lama suara Dexter kembali terdengar.
“Sepertinya kita belum berkenalan dengan baik, Putri. Saya Dexter, Putra Duke Varogar.” Ujarnya.
“Ya, salam kenal,” Jawab Anthea singkat, ia tak merasa perlu memperkenalkan diri, karena semua orang sudah pasti mengenalnya di sini.
“Sekali lagi saya minta maaf atas kelakuan Clarissa, apalagi saya dengar saat awal masuk akademi Putri juga sudah menegurnya.” Ujar Dexter dengan suara sopannya.
Anthea hanya mengangguk, “Tak apa. Ngomong-ngomong tidak perlu berbicara formal padaku, di sini kita semuanya sama, Dexter.” Jawab Anthea.
“Baiklah, Anthea.” Jawab Dexter, dengan pelan menyebut nama gadis itu.
Dalam diam Dexter menatap Anthea lurus. Jujur saja, Dexter adalah salah satu dari sekian banyak laki-laki di Scarelion yang tertarik pada Anthea. Gadis yang sudah terkenal di kalangan Kerajaan sejak kecil itu. Sayangnya, Dexter tak Seberani itu menganggu milik Pangeran Mahkota kerajaan ini.
“Jika boleh tau, bagaimana menurutmu selama sudah beberapa bulan di akademi ini?” Tanya Dexter setelah mereka hening beberapa saat.
Anthea berpikir sebentar, “Tidak buruk, apalagi aku suka cara para pengajar di sini menjelaskan materi, hampir mirip seperti tentorku selama ini.” Jawab Anthea.
“Benar, aku juga berpikir pengajar-pengajar akademi menjelaskan dengan baik. Bahkan mereka juga tidak membeda-bedakan muridnya.” Ujar Dexter.
Sebagai salah satu bangsawan tertinggi, Dexter juga pernah di hukum karena tudak mengerjakan tugasnya dengan baik.
“Tentu saja, sepertinya hanya Clarissa yang masih diskriminasi di sini,” Jawab Anthea sembari terkekeh kecil.
Dexter sempat terdiam sejenak melihatnya, seperti melihat pemandangan indah di depan matanya.
***
Di tempat Altair.
Altair sendiri kini tak lagi berada di Kerajaan Crylic, ia sudah berada di salah satu Kota di ujung dunia ini. Namanya Kota Wuhan, daerah pertama awla mula wabah penyakit ini menyebar.
Ketika mendapat laporan dari prajuritnya bahwa penyelidikan mereka belum membuahkan hasil, Altair sedikit menghela nafas frustrasi.
Ia sudah pergi jauh dari kerajaannya untuk menyelesaikan wabah ini, karena suatu alasan. Tapi, sudah lama Altair meninggalkan kerajaannya, mereka masih belum membuahkan hasil yang baik.
Altair mengambil tinta bulu dan kertas di kamarnya, hendak menuliskan surat memberi kabar pada sang tunangan yang jauh di sana. Setelah selesai, ia meminta prajuritnya mengirim surat itu dengan baik, dan dipastikan sampai di tangan Anthea.
Di balkon kamar yang ia tempati, Altair menatap bintang-bintang yang menghiasi langit malam.
“Tunggu aku, Anthea.” Gumamnya.
***
tbc.
Segera pulang ya bg Altair, Anthea udah di deketin cowo ituuu:)