5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Devid
Malam itu, di jalan.
Sheina cucu nenek Ema baru saja kembali dari mini market. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, namun langkah kakinya dipercepat karena ada firasat aneh yang mengganggu hatinya.
"Entah mengapa perasaan ku tidak enak, sepertinya aku harus segera pulang," gumam nya.
Begitu sampai dan membuka pintu rumah, pandangannya langsung tertuju pada lantai ruang tamu yang basah oleh cairan merah gelap.
"Nenek?" suara Sheina tercekat ketika melihat nenek Ema tergeletak di lantai dengan darah segar yang mengalir dari bahu kirinya. Matanya membelalak, tubuhnya membeku sesaat sebelum naluri paniknya mengambil alih.
Sheina berlari ke sisi neneknya. "Nenek? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar, tangannya menyentuh wajah nenek Ema yang pucat.
Nenek Ema membuka matanya perlahan, nafasnya tersengal. "Ah... Sheina... bahu nenek... ditembak," ucapnya dengan nada lemah, setiap kata seperti membawa beban berat.
Sheina menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya meskipun pikirannya penuh dengan kepanikan. "Ya Tuhan... siapa yang melakukan ini, nek?" Namun, ia segera menyadari bahwa pertanyaan itu tidak penting saat ini. Nenek Ema membutuhkan pertolongan medis.
"Ayo, kita ke dokter, nek!" ujar Sheina sambil menopang tubuh nenek Ema. Dengan susah payah, dia menyeret neneknya ke arah pintu.
Darah yang terus menetes dari luka di bahu nenek Ema membuat Sheina semakin panik, mobil pickup tua mereka yang diparkir di depan rumah menjadi tujuan utamanya. "Bertahan, nek. Kita akan pergi ke rumah sakit," bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Di perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Sheina penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan. Siapa yang tega melakukan hal seperti ini pada neneknya? Apakah ini sebuah perampokan? Atau ada alasan lain?
Ketika mereka tiba di rumah sakit, para perawat segera berlari mendekat. "Tolong, nenek saya ditembak! Dia butuh bantuan!" Sheina hampir berteriak, air matanya mulai mengalir di wajahnya.
Nenek Ema dibawa ke ruang gawat darurat dengan tandu. Sheina hanya bisa berdiri di luar ruangan dengan tangan gemetar. Tubuhnya masih dipenuhi noda darah nenek Ema, dan matanya terus terpaku pada pintu ruang operasi.
"Siapa yang tega melakukan ini?" gumamnya pelan, seraya menggenggam erat tangannya sendiri. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah ulah orang jahat yang ingin membunuh nenek nya.
...****************...
Di sebuah Mension mewah, di tengah kota.
Jam sudah menunjukkan pukul 21:00. Malam itu, suasana di Mansion mewah milik Devid begitu sunyi. Hanya deru angin yang menerpa dedaunan dan suara detak jam yang terdengar samar. Devid, seorang pria dengan sorot mata tajam dan senyum dingin, duduk di ruang kerjanya yang luas. Lampu kristal menggantung megah di atas kepala, memancarkan cahaya redup yang menciptakan bayangan di dinding.
Jems melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya. "Selamat malam, Tuan Devid," ucapnya, menunduk hormat.
Devid, yang sedang memutar gelas berisi minuman merah di tangannya, mengangkat kepalanya. "Jems, aku sudah mendengar semua percakapanmu dengan nenek Ema melalui alat penyadap. Kau tahu, aku selalu menghargai kejujuran," ucapnya tenang, namun dengan nada penuh tekanan.
Jems menelan ludah. "Maafkan saya, Tuan. Nenek Ema cukup keras kepala. Dia tidak mau memberikan informasi detail tentang Briyon kepada saya."
Devid mengangguk pelan. "Tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah mendengar langsung bahwa Briyon masih berada di sekitar Celine, itu informasi yang cukup berguna untuk sekarang."
Devid meletakkan gelasnya di meja dan berdiri. Sorot matanya berubah tajam. "Tapi, Jems, kita tidak bisa bergantung pada nenek Ema lagi. Aku ingin kau mencari seorang dukun terhebat lainnya untuk menangani hal ini!"
Jems terkejut. "Dukun terhebat, Tuan?"
"Ya," ujar Devid sambil melangkah mendekati jendela besar, menatap langit malam yang gelap. "Nenek Ema sudah jelas tidak mampu menangani Briyon, dia terlalu lemah. Kita butuh seseorang yang benar-benar tangguh, seseorang yang bisa mengendalikan roh sekuat itu."
Jems mengangguk paham. "Tuan benar. Kalau begitu, saya akan segera mencari dukun terkuat lainnya yang mampu menangani masalah ini."
Devid berbalik, sorot matanya menembus Jems seperti pisau. "Pastikan kau menemukannya, Jems. Jangan buat aku kecewa."
"Baik, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda," jawab Jems dengan hormat, sebelum melangkah mundur dan keluar dari ruangan.
Ketika pintu tertutup, Devid kembali menatap gelas minumannya. Senyum dingin terukir di wajahnya. "Briyon... permainan ini baru saja dimulai." Suara rendahnya terdengar di antara kesunyian malam, penuh dengan ancaman yang terselubung.
Di luar, Jems melangkah cepat menuju mobilnya. Pikirannya dipenuhi rencana untuk mencari dukun yang dimaksud. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, seberapa kuat makhluk yang mereka hadapi hingga Devid merasa perlu mencari bantuan yang lebih besar?
...****************...
Di apartemen Celine.
Malam itu, kesunyian menyelimuti ruang tamu apartemen kecil milik Celine. Ia melangkah menuju dapur, perutnya lapar ingin memakan sesuatu yang hangat. Namun, saat ia membuka lemari tersebut ternyata lemari itu kosong melompong.
"Wah, sudah habis. Aku lupa berbelanja bulan ini Haaahh, baiklah, aku akan ke minimarket sekarang," gumamnya sambil menutup lemari.
Celine berjalan menuju pintu keluar, tangannya meraih jaket yang tergantung di samping pintu. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, sosok transparan muncul di hadapannya.
"Celine," panggil Briyon, suara lembutnya membuat udara terasa lebih dingin.
"Briyon? Ada apa?" tanya Celine sambil mengenakan sepatunya.
"Mau kemana?" tanyanya terputus, tatapannya lembut, tapi ada kekhawatiran yang tersembunyi.
"Oh, aku mau ke minimarket. Ada beberapa makanan yang harus ku beli. Lagi pula, aku belum makan malam, jadi sekalian saja nanti mampir ke kedai," jelas Celine.
Briyon tersenyum tipis. "Aku ikut."
"Ya, tentu," jawab Celine dengan senang hati. Kehadiran Briyon selalu membuatnya merasa lebih tenang, meskipun ia tau sosok suami nya kini bukanlah lagi manusia.
Mereka meninggalkan ruang apartemen nya, berjalan menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, mata Celine langsung tertuju pada sosok seorang remaja perempuan yang berjongkok di sudut lift. Rambut panjangnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya.
Langkah Celine terhenti sejenak, tubuhnya merinding tanpa sebab. Ia melirik Briyon yang berdiri di sampingnya.
"Bukan manusia," bisik Briyon dengan nada tenang, namun cukup untuk membuat hati Celine berdegup kencang.
Celine menoleh ke arah Briyon, berharap mendapatkan penjelasan, tetapi yang ia terima hanya senyum kecil dari pria itu.
"Jangan tegur," tambah Briyon, suaranya terdengar lebih tegas kali ini.
Celine menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Oh, jadi dia melarang ku menegurnya karena... dia bukan manusia," gumamnya dalam hati, sebelum mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
Lift bergerak turun, membawa mereka dalam keheningan yang terasa begitu berat. Sesekali, Celine melirik remaja itu dari sudut matanya. Sosoknya tetap diam, namun auranya terasa mengintimidasi.
Saat lift sampai di lantai dasar, Celine segera melangkah keluar dengan tergesa. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia tak bisa menahan diri untuk menoleh ke arah lift yang pintunya mulai tertutup.
Matanya membelalak saat mendapati remaja perempuan itu menatapnya dengan mata kosong dan wajah pucat yang menyeramkan. Bibirnya yang hitam menyunggingkan senyum kecil yang membuat bulu kuduk Celine berdiri.
"Hah?" seru Celine kaget.
Namun sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Briyon dengan sigap memutar kepala istrinya agar menghadap ke depan.
"Jangan lihat!" serunya dengan nada mendesak.
"Ba-baik," balas Celine tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu.
Mereka berjalan meninggalkan gedung apartemen, menuju jalan yang diterangi lampu kota. Namun, perasaan tidak nyaman masih menggelayuti hati Celine. Ia melirik Briyon yang berjalan di sisinya, tatapan pria itu tetap lurus ke depan, seolah tidak ada yang terjadi.
"Seperti nya aku harus terbiasa melihat sosok-sosok seperti itu, karena... suami ku adalah bagian dari mereka."
...Bersambung ......