NOTES!!!!
Cerita ini hanya di peruntukan untuk orang-orang dengan pikiran terbuka!!
Cerita dalam novel ini juga tidak berlatar tempat di negara kita tercinta ini, dan juga tidak bersangkutan dengan agama atau budaya mana pun.
Jadi mohon bijak dalam membaca!!!
Novel ku kali ini bercerita tentang seorang wanita yang rela menjadi pemuas nafsu seorang pria yang sangat sulit digapainya dengan cinta.
Dia rela di pandang sebagai wanita yang menjual tubuhnya demi uang agar bisa selalu dekat dengan pria yang dicintainya.
Hingga tiba saatnya dimana pria itu akan menikah dengan wanita yang telah di siapkan sebagai calon istrinya dan harus mengakhiri hubungan mereka sesuai perjanjian di awal mereka memulai hubungan itu.
Lalu bagaimana nasib wanita penghangat ranjang itu??
Akankah pria itu menyadari perasaan si wanita sebelum wanita itu pergi meninggalkannya??
Atau justru wanita itu akan pergi menghilang selamanya membawa sebagian dari pria itu yang telah tumbuh di rahimnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti balita
Sore harinya, Elena pulang lebih dulu ke apartemen Adrian. Dengan membawa seluruh rasa kesal pada Adrian karena saat ini pria itu entah ada di mana. Dia pergi sejak siang tadi bersama Aura dan tunangannya. Bahkan Adrian melewatkan meetingnya dan menyerahkan semua itu kepada Elena.
Elena membuka koper besarnya. Memasukkan semua barangnya yang akan dia bawa pergi dari apartemen itu. Elena melempar baju-bajunya dengan kasar ke dalam kopernya. Menyapu bersih barangnya hingga tak ingin menyisakan satupun di kamar itu.
Ingin rasanya dia menyerah saat ini. Dia sudah tidak sanggup lagi bertahan di sisi Adrian. Meski awalnya Elena sangat yakin jika dirinya mampu bertahan selama mungkin dengan posisinya saat ini. Tapi kenyataan yang ada tak semudah yang ada dalam bayangannya.
Dirinya yang terus mencoba bertahan meski sering di hina oleh Adrian, ternyata sampai di batas kesabarannya. Sebenarnya Elena bisa saja menahan semua itu, namun sikap Adrian yang sering berubah-ubah membuat Elena kebingungan menafsirkan semuanya.
Adrian yang seolah lupa dengan Kamila saat besarnya sudah membuat Elena besar kepala. Tapi begitu melihat sendiri bagaimana sikap Adrian kepadanya saat Kamila berada di dekatnya membuat Elena kembali sadar akan posisinya saat ini
"Tidak, belum saatnya aku menyerah. Masih ada satu hal lagi yang harus aku lakukan sebelum aku benar-benar menyelesaikan hubunganku dengan Adrian" Ucap Elena sebelum meninggalkan kamar yang selalu menjadi tempat terbatasnya bersama Adrian
Malam ini Elena benar-benar pergi dari apartemen itu sesuai dengan keinginan Adrian. Mungkin maksud Adrian itu baik karena tak mau Elena berurusan dengan Kamila dan keluarganya jika mereka tau Elena tinggal di sana. Tapi rasanya begitu sakit saat di usir seperti itu oleh pria yang sangat dicintainya.
Tanpa menghubungi Adrian sama sekali, Elena kembali ke apartemennya saat ini juga. Toh Adrian tidak akan peduli menurut Elena.
BRAKK...
Elena menutup pintu mobilnya dengan kasar. Mulai sekarang dan mungkin beberapa hari yang akan datang, Elena harus membiasakan diri untum berangkat sendiri ke kantor setelah sekian lama dia selalu bersama Adrian kemanapun dia pergi.
"Miris sekali" Elena menertawai dirinya sendiri.
*
*
*
Tengah malam Adrian baru kemabli ke apartemennya. Setelah seharian dia harus direpotkan dengan dengan dua wanita yang mengajaknya berkeliling pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Belum lagi makan malam yang di adakan keluarga Adrian untuk menyambut kedatangan Kamila. Sungguh semua itu membuat Adrian merasa lelah.
Suasana hening menyambut kedatangan Adrian di apartemennya sendiri. Bisanya tak akan sehening itu jika ada Elena di sana. Namun Adrian sadar kalau dia sendiri yang meminta Elena pergi dari apartemennya.
Adrian merogoh ponsel dari saku jasnya. Raut kecewa langsung tergambar di sana karena tak menemukan satupun panggilan atau pesan dari Elena.Ternyata Adrian menyadari adanya perbedaan antara ada dan tidak adanya Elena di sana.
"Huffttt" Adrian membuang nafasnya dengan kasar.
Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu memilih melesat ke kamar mandi. Mencoba menghilangkan rasa lelahnya dengan menyegarkan tubuhnya.
Drett.. Dreett..Dreettt ....
Entah sudah berapa kali ponsel itu bergetar namum tak juga membangunkan pemiliknya.
Adrian tertidur begitu lelap hingga saat matahari sudah mulai tinggi seperti ini tak bisa membangunkannya sama sekali. Jelas saja, Elena saja begitu kesusahan membangunkan seorang Adrian. Apalagi hanya dengan bunyi sebuah handphone.
Adrian mulai mengerutkan keningnya, mencari sesuatu yang menurutnya sangat mengganggu tidurnya.
"Halo Pak Adrian?? Dimana anda saat ini?? Kenapa belum datang juga?? Tiga puluh menit lagi kita akan ada meeting dengan perusahaan Jason. Apa anda lupa??"
Suara Hary di seberang sana langsung membuat mata Adrian terbuka lebar.
"Jam berapa sekarang??"
"Jam sembilan Pak"
"Apa???!!!"
Adrian meloncat dari ranjangnya menuju kamar mandi. Secepat kilat membasuh wajah serta seluruh tubuhnya itu.
"S*al!!" Bibirnya terus saja mengumpat karena tak ada yang membangunkannya sama sekali.
"Kenapa Elena tidak datang seperti biasanya??"
Adrian menatap lemari besar yang ada di hadapannya. Puluhan baju tergantung rapi di sana namun Adrian sama sekali belum menjatuhkan pilihannya akan jatuh pada baju yang mana.
Dia sudah sangat terbiasa di layani oleh Elena. Hingga memilih baju semudah itu saja menurutnya begitu asing saat ini.
Adrian akhirnya menyambar satu setel kemeja berwarna biru langit juga jas dan celana bahan berwarna navy. Namun ia kembali harus di pusingkan dengan satu benda yang dia sendiri tak tau letaknya ada di mana. Adrian bahkan hampir membongkar seluruh isi lemarinya karena tak mendapatkan kain berbentuk segitiga untuk mengurung belalainya.
"Semua ini gara-gara Elena!! Kalau saja dia tidak memperlakukan ku seperti balita, pasti taku tidak akan sesusah ini hanya untuk mencari pakaianku sendiri" Adrian terus saja bergumam tak jelas sambil memakai pakaiannya karena setelah membuat kamarnya bak kapal pecah, akhirnya dia menemukan benda yang ia cari itu.
Dengan kecepatan tinggi Adrian mengendarai mobilnya menuju tempat ribuan karyawannya bernaung. Adrian memang tidak pernah menggunakan jasa sopir pribadi karena dia memang lebih suka mengemudi sendiri, kecuali jika bersama Hary.
"Maaf saya sedikit terlambat" Ucap Adrian begitu masuk ke dalam ruang meeting yang sudah terisi penuh dengan peserta rapat.
"Tidak papa Tuan Adrian. Lebih baik kita segera mulai saja meetingnya" Sahut Aron yang selalu datang menjadi wakil dari perusahaan Jason.
"Baiklah" Adrian mengambil tempat duduk di kursi palung depan di sebelah Elena.
Adrian sobat melihat ke arah Elena sebentar meski wanita itu terlihat tak peduli dengan kedatangannya.
Setelah dua jam berlalu, meeting berjalan dengan lancar dengan di pimpin oleh Hary sebagi juru bicara Adrian kali ini. Aron pun tak berbelit sama sekali, untuk rencana yang Adrian berikan kepada perusahaannya, dia menerimanya dengan mudah tanpa harus melakui perdebatan seperti sebelumnya.
"Meeting kita akhiri sampai di sini, jika ada sesuatu yang masih belum jelas bisa hubungi sekretaris atau asisten saya. Terimakasih" Ucap Adria sebagi penutup meeting itu.
"El" Panggil Adrian saat Elena membereskan tumpukan kertas di depannya.
"Ya Pak??" Sahut Elena tanpa harus repot-repot melihat ke arah pria itu.
"Kenapa kau tidak membangunkan ku??" Bisik Adrian karena Aron dan yang lainnya masih ada di ruangan itu.
"Maaf Pak, saya juga bangun kesiangan" Bohong Elena. Dia memang sengaja tidak membangunkan Adrian ke apartemennya. Pria itu sendiri yang mengusirnya, jadi selama Kamila masih ada di sini, Elena tidak akan mengurus Adrian seperti biasanya lagi.
"Kalau begitu, setelah ini kita makan siang bersama. Ada yang ingin ku katakan kepadamu"
"Maa.."
"Adrian!!"
Perhatian semua orang yang ada dalam ruang meeting itu kini teralihkan kepada seorang wanita yang baru saja memanggil Bos mereka dengan lantang.
"Aku sudah bawakan makan siang untuk mu. Kita makan berdua ya??" Kamila mendekat ke adah Adrian dan menunjukkan tas bekalnya kepada Adrian.
"Tap..."
"Maaf Pak sepertinya saya tidak bisa karena Tuan Aron sudah lebih dulu mengajak saya makan siang. Benarkan Tuan Aron??" Elena sengaja menarik lengan Aron agar mendekat ke arahnya.
"Hah, maksud mu ap.. aww" Elena menginjak kaki Aron yang tak bisa di ajak kerjasama.
"I-iya Tuan Adrian. Saya ingin mengajak Elena makan siang di luar. Sebenarnya saya ingin mengajak anda juga. Tapi ternyata wanita cantik ini begitu perhatian kepada anda, jadi biarkan dia saja yang menemani anda makan siang. Tidak perlu khawatir soal Elena, karena saya pasti akan mengembalikan dia tanpa lecet sedikitpun" Ucap Aron melebih-lebihkan.
"Tapi El"
"Maaf Pak, saya permisi"
Adrian mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat, seakan tak rela Elena memilih pergi dengan pria lain selain dirinya .
...sungguh cerita author bnyk yg bikin nangis
dia hanya emosi krn elena tidak bisa jujur
dia hanya pura ² lugu saja biar kelihatan baik