Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*11
"Vano."
"Iya, nona muda."
"Aku ingin bicara nanti."
"Kalian semua bisa pergi sekarang. Biarkan aku dan Vano tinggal di ruangan ini."
"Baik, nona muda."
Para anak buah itu beranjak dengan paruh. Mereka meninggalkan Melia setelah perintah Melia berikan. Sementara Vano, seperti yang Melia katakan, pria itu tinggal di ruangan tersebut.
"Vano."
"Tahu kenapa aku minta kamu tinggal?"
Vano yang sebelumnya menatap Melia, langsung menggelengkan kepala.
"Tidak, nona muda. Saya tidak tahu."
"Ini semua karena hatiku berkata, kamu tidak mau mendengarkan apa yang aku ucapkan sebelumnya."
"Vano. Aku tahu kamu selalu ingin berhadapan dengan Ricky. Tapi, jangan pernah berpikir untuk benar-benar melakukannya. Aku tidak ingin kamu terluka."
Mata Vano terlihat bercahaya. Perhatian Melia lah yang menjadi penyebabnya. Pria itu selalu menganggumi Melia sejak lama. Hanya saja, rasa kagum dan suka selalu terhalang oleh status yang sedang dia sandang.
"Nona muda tenang saja. Saya tidak akan mengecewakan anda."
"Vano. Aku tahu kamu tidak akan pernah mau mengecewakan aku. Jadi, tolong dengarkan apa yang aku katakan. Jangan pernah berniat melawan Ricky. Kamu mengerti, bukan?"
Vano mengangguk pelan. Meskipun begitu, hatinya masih tetap tidak bisa dia kawal. Keinginan yang kuat masih terus memenuhi hati. Jadinya, walau sudah diperingati dengan seksama, Vano masih saja punya niat untuk berhadapan dengan Ricky jika terjadinya pertemuan nanti malam.
....
Malam harinya, rencana pertemuan itu benar-benar dilakukan. Dan, seperti yang telah pihak Ricky duga, geng kupu-kupu hitam muncul di saat pertemuan puncak.
Namun, karena itu adalah jebakan, tentu saja mereka sudah sangat waspada. Bahkan, Ricky yang sudah siap dengan pertempuran melawan kelompok perusak itupun langsung ikut andil dalam perlawanan.
Suasana tempat pertemuan langsung ricuh. Ricky yang sangat mahir dalam seni bela diri dengan mudah memukul beberapa anak buah Melia. Bahkan, saat Vano tidak lagi bisa menghindar, dia berusaha untuk tetap mewalan. Tentu saja, Vano berulang kali menerima pukulan dengan tangan kosong dari tuan muda Amerta yang sudah sangat terlatih sejak makasih kecil.
"Mundur!"
Suara lantang Melia terdengar. Anak buah yang sedang terluka sebisa mungkin bergerak untuk melarikan diri. Tentu saja, yang masih berada di belakang Melia membantu yang terluka dengan cepat.
Saat itu, ketika Vano ingin melarikan diri, tangan Ricky lincah menahannya. Vano terdesak. Dia yang memang tidak sanggup lagi untuk melawan Ricky, kini tertahan di tahan Ricky yang dengan kekar menahan lehernya.
"Tunjukkan dirimu kupu-kupu hitam. Jika tidak, anak buah mu akan aku patahkan lehernya sekarang juga."
"Nona muda. Jangan hiraukan saya. Cepat tinggalkan tempat ini sekarang juga. Mereka sudah memasang jebakan untuk menangkap nona." Vano bicara dengan susah payah.
Sesungguhnya, Melia tahu akan jebakan yang ada di tempat tersebut. Benda kecil yang merupakan alat penyadap sudah dia kerahkan. Dan, situasi tempat itu sudah pun dia pelajari.
Perintah untuk menyelamatkan Vano sudah dia bicarakan pada Esti. Tangan kanan itu sangat mengerti. Mereka akan melakukan pertukaran dengan sangat cepat nantinya.
"Keluar atau aku lenyapkan anak buah mu ini."
"Jangan menguji kesabaranku, Nona. Karena aku sama sekali tidak punya kesabaran dalam hati."
"Aku hitung sampai tiga. Satu. Dua."
Flas, sebuah belati melayang dengan cepat. Namun, belati itu sama sekali tidak melukai Ricky. Pria itu dengan mudah menangkap gagang dari belati tersebut.
"Cukup bermain-mainnya. Kau sudah membuat aku sangat jengkel," ucap Ricky dengan wajah yang penuh amarah.
Namun, baru juga dia mau mengangkat wajahnya. Suara teriakan dari Fendi malah langsung terdengar.
"Tuan muda."
Seketika, cahaya yang menerangi tempat tersebut mati secara mendadak. Namun, hanya sesaat saja. Tapi, itu cukup untuk membuat Ricky tertegun.
Bagaimana tidak? Setelah lampu menyala kembali, Vano yang ada di tangannya malah bertukar dengan Fendi yang sedang terluka.
"Fendi."
Gerakan itu terlalu cepat. Sampai Ricky saja hampir tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Jika bukan dia yang menyaksikannya sendiri, mungkin dia akan bilang itu semua hanyalah omong kosong semata. Tapi, karena dirinya sendiri yang mengalami, kebingunganlah yang memenuhi hati.
"Bagaimana mungkin?"
Di sudut ruangan, Melia menatap dengan tatapan benci. "Tentu saja mungkin. Karena kau menyakiti orang ku. Maka sebagai gantinya, orang mu lah yang aku lukai. Tapi tenang saja, aku tidak sekejam dirimu. Dia tidak akan mati, karena aku tidak berniat membunuhnya. Dia hanya terluka ringan saja."
Ucapan Melia membuat amarah Ricky semakin memuncak. Dia genggam erat tangannya. Dia letakkan kepala Fendi yang sedang tak sadarkan diri ke bawah.
"Dasar gila! Kau sungguh sedang mencari mati."
Gerakan cepat Ricky lakukan. Dia tarik tangan Melia yang sedang ingin menghindar dari dirinya. Baru juga ingin mencekik leher perempuan tersebut, tatapan mata tajam mengingatkan Ricky pada sosok seseorang. Gerakan itu tiba-tiba berubah. Ricky mengilas tangan Melia dengan cepat. Menariknya mendekat, meski dengan perlawanan dari Melia, Ricky masih berhasil menguci tubuh Melia di dekatnya.
Aroma tubuh yang tidak asing langsung menyeruak. Wangi bunga cempaka itu tercium oleh hidung Ricky meski dengan samar-samar. Wangi yang membuatnya semakin teringat pada seseorang yang ada di masa lalu.
Ricky langsung kehilangan konsentrasi atas dirinya. Hal itu membuat Melia bisa bergerak dengan mudah. Satu pukulan dengan tangan kosong mendarat sempurna ke ulu hati Ricky. Pria itu terdorong ke belakang beberapa langkah.
"Aghk."
Ricky memegang bagian tubuh yang baru saja menerima pukulan. Darah segar keluar dari sudut bibirnya sekarang.
"Kamu."
"Jangan bermain-main dengan ku. Karena aku tidak akan melayani permainan dengan orang yang tidak layak."
"Kamu tidak layak untuk melawan ku," ucap Melia lagi sebelum dia meninggalkan Ricky.
Pria itu tertegun tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Namun, benaknya semakin yakin kalau orang itu adalah orang yang sudah menghilang sebelumnya. Singkatnya, dia adalah orang dari masa lalu yang punya dendam pada dirinya.
"Dia masih hidup," ucap Ricky sambil menahan rasa sakit.
Sudut bibir Ricky langsung terangkat.
"Pantas saja dia begitu berani menargetkan milikku. Ternyata itu dia," ucapnya sambil terus melihat ke arah kegelapan. Tempat di mana punggung wanita itu terakhir menghilang.
Ricky terlihat sangat kesakitan. Tapi hatinya bahagia. Kemunculan musuh dari masa lalu yang seharusnya membuat dia khawatir, tapi malah sebaliknya. Dia sangat senang sekarang.
Setelah mengukir senyum dan terhanyut dalam perasaan selama beberapa saat, Ricky barulah merih ponsel untuk menghubungi seseorang. Dia menghubungi anak buahnya yang lain agar bisa mberikan bantuan pada dirinya dan juga bawahan lain yang sedang terluka parah.
....
"Tuan muda."
Ternyata benar apa yang Melia katakan. Fendi tidak terluka parah meski pria itu pingsan. Melia hanya membuat Fendi tidak sadarkan diri dengan luka luar yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Namun, pada dasarnya, pria itu tidak memiliki luka dalam sedikitpun. Berbeda dengan yang Ricky alami. Luka dalamnya terlalu parah sampai dia harus di rawat di rumah sakit.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀