Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. "Saya laper Pak,"
"Udah? Itu aja yang disampaikan Disty? Ga ada yang lain?" tanya Dean kesal setelah Bu Amalia meneriakinya habis-habisan di kamar.
"Mama selama ini nggak pernah peduli sama siapa kamu pacaran, itu urusan kamu. Kamu udah dewasa. Tapi kalau hasil dari kebebasan kamu di luar sana malah merusak nama baik keluarga, itu namanya kamu sama dengan membunuh mama!"
"Mama yakin selama ini nggak peduli dengan siapa Dean pacaran?" sinis Dean kepada Bu Amalia.
"Mama nggak mau tau! Kalau sampai perempuan itu membuat video mesum kalian itu ke tangan media. Mama lebih baik mati! Apa nggak bisa kamu hidup tenang sampai masa jabatan papa kamu selesai?"
"Tapi Dean ngerasa nggak pernah berbuat hal seperti yang mama maksud itu sama Disty Ma! Mama percaya anak mama atau dia?" tanya Dean mulai emosi.
"Tapi berpacaran dengan perempuan seperti dia itu adalah pilihan kamu Dean! Papamu sudah mengingatkan soal itu sejak awal. Nikahi dia segera. Buat dia merasa telah mencapai tujuannya! Mama nggak mau tau gimana cara kamu." Wajah Bu Amalia memerah karena saling teriak dengan anaknya.
"Setidaknya biarkan Dean menyelesaikan masalah ini sendiri lebih dulu Ma," bujuk Dean.
"Dia ngasi waktu Dean, mama nggak ada alasan lagi. Kata-kata mama sudah habis menghadapi perempuan licik seperti dia. Mama nggak nyangka laki-laki pintar seperti kamu mudah tertipu. Pasti alasan kamu lagi-lagi karena kasihan," sungut Bu Amalia sambil memijat-mijat lehernya yang terasa menegang.
"Kamu harus bisa bedakan, mana perasaan cinta atau hanya sekedar kasihan," sambung Bu Amalia lagi.
"Dean udah jelasin berkali-kali, percaya sama Dean Ma. Biarkan Dean selesaikan masalah ini sendiri. Dean masih butuh waktu." Dean mengeraskan rahang mengingat kejadian tadi pagi saat dia menurunkan Disty di tepi jalan.
Perempuan itu benar-benar menjalankan semua rencananya. Ingin menjadi menantu sah dari keluarga Hartono.
"Tolong Mama Dean. Sejak menikah dengan papamu dan mendampinginya meniti karir, kami nggak pernah memiliki skandal apapun. Nama baik papamu di luar sana jadi jaminan atas sikap yang akan kamu ambil nanti. Mendengar kamu akan menikahi wanita itu saja mungkin sudah cukup untuk membunuh papamu. Apalagi kalau sampai video-videomu itu tersebar. Mama lebih baik mati," gumam Bu Amalia menerawang. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Biar Dean yang ngasi tau papa, jangan Mama. Jangan sebutkan soal video itu. Dean masih mencari tau kepastiannya. Berapa lama waktu yang diminta Disty?" tanya Dean terdengar pasrah.
"Enam bulan. Paling lama enam bulan," ucap Bu Amalia menatap Dean yang berdiri bersandar di meja rias miliknya.
Jika hanya ingin menikah, mungkin Dean bisa mengabulkannya untuk Disty. Tapi untuk menjadikannya seorang menantu resmi yang memiliki kuasa atas keluarganya, Dean sebagai seorang ahli hukum tak akan membiarkannya.
******
Sudah dua minggu lebih Dean tak bertemu dengan Winarsih. Saat sarapan pagi, seperti biasa mereka sekeluarga hanya ke meja makan saat semuanya telah tersedia dan tak ada pembantu yang hilir mudik.
Pak Hartono sedang melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan dengan mengajak istrinya.
Bu Amalia mengatakan bahwa seusai kunjungan kerja, mereka akan meninjau perusahaan tambang milik mereka.
Berkali-kali seperti sedang berpesan kepada anak kecil, Bu Amalia mengingatkan Dean untuk tidak bertingkah macam-macam yang bisa memprovokasi Disty.
Dean mengiyakan semua perkataan mamanya demi menenangkan hati wanita yang telah melahirkannya itu.
Dean sebenarnya tak berniat menghindari Winarsih. Dia hanya tak ingin tergoda mendekati pembantunya itu karena mengingat hubungan Winarsih dengan pacarnya.
Lagipula, Dean tak mau lagi menyakiti Winarsih. Karena mungkin sebentar lagi, dia akan menjadi tuan rumah dari sebuah resepsi pernikahan besar yang dituntut Disty padanya.
Meski begitu, beberapa kali saat pulang dari kantornya mendekati hampir tengah malam, Dean selalu menyempatkan dirinya berjalan kaki memutar dari mulai tempat mobilnya terparkir hingga melewati kamar Winarsih dan masuk melalui teras depan.
Dia berharap, bisa berpapasan dengan Winarsih lagi, meski wanita itu baru saja pulang berkencan dengan kekasihnya.
Dan malam itu, setelah dua minggu lebih harus terus berkelit dari Disty yang meminta bertemu, akhirnya Dean menemui wanita itu di sebuah restoran tak jauh dari kantornya.
Disty menunjukkan sebuah video saat Dean mabuk berat dan sedang dipapah ke kamar hotel oleh petugas keamanan klub malam.
Mungkin Disty bermaksud kembali mengingatkan Dean akan tempo waktu 6 bulan yang dimintanya.
Dean tak banyak berbicara. Setelah mendengar semua impian Disty akan sebuah pesta pernikahan, Dean melajukan mobilnya kembali ke rumah sendirian.
Dia benar-benar lelah sekali. Waktu menunjukkan hampir tengah malam ketika dia meninggalkan mobilnya dan berjalan melewati kamar Winarsih.
Tak seperti biasa, kamar Winarsih yang biasanya sudah gelap di jam segitu, kali ini lampunya terlihat menyala.
Agak ragu, Dean mendekati kamar itu tapi tak mendengar suara apapun dari dalam.
Beranggapan jika hari itu Winarsih ketiduran tanpa sempat mematikan lampu, Dean menuju pintu dapur utama untuk segera ke kamarnya.
Fisik dan jiwanya, sama lelahnya.
Saat membuka pintu dapur utama, pandangannya tertumbuk pada satu sosok yang mengenakan baju daster batik coklat gelap, rambut tergerai melewati bahu dan sebuah sandal kulit bertali merah yang sedang menunduk di lemari bawah.
Winarsih.
Pandangan mata Dean melembut menatap sosok tubuh yang pernah disakitinya itu.
Jantung Dean mulai berdetak tak biasa. Dia merasa konyol karena merasa gugup di depan pembantunya sendiri.
Kemudian pandangan Dean beralih ke atas meja dapur tinggi dari batu pualam yang di atasnya sudah terletak satu bungkus mi instan, dua siung bawang, dan beberapa cabe rawit merah gemuk.
Pembantunya ini sepertinya sedang lapar dan berencana memasak mi kuah seperti yang pernah disajikannya untuk Dean.
Dengan langkah perlahan, Dean mendekati Winarsih. Berdiri tepat di belakang tubuh wanita yang ingin dilihatnya dalam dua minggu ini.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Dean pelan agar tak mengagetkan wanita itu.
Winarsih sepertinya sedikit terkejut, tapi kemudian kepalanya menoleh dan mendongak ke atas menatapnya.
Dean yang selalu melihat Winarsih memakai atasan lengan panjang, malam ini melihat lengan pembantunya tak tertutup hingga hampir ke batas bahu.
Rambut yang biasanya selalu diikat, kini tergerai begitu saja. Matanya sedikit sayu dan wajahnya terlihat pucat.
Winarsih berdiri sambil menggenggam sebuah panci yang pernah dilihat Dean sebelumnya.
"Nyari ini Pak," jawab Winarsih sambil menunjukkan panci yang berada di tangannya.
"Kamu sakit?" tanya Dean heran karena melihat wanita itu tampak lesu.
"Cuma sedikit nggak enak badan," jawab Winarsih polos.
Dean spontan meraba dahi pembantunya. Meski merasa sudah terlalu lancang memperlakukan tubuh pembantunya itu tapi Dean penasaran.
"Nggak panas, kamu nggak minum obat?" tanya Dean lagi.
"Nggak usah Pak, saya nggak biasa minum obat. Saya cuma...." Perkataan Winarsih terhenti.
"Cuma apa?"
"Saya cuma laper Pak." Winarsih mengatupkan mulutnya memandang kemasan mi instan di atas meja.
"Kali ini, biar saya yang masak. Kamu duduk aja di sana," perintah Dean kemudian menarik lengan Winarsih lalu mendudukkannya di sebuah bangku tinggi yang terletak di seberang kompor.
Wanita itu kini telah duduk di bangku tinggi masih dengan memegang saute pan.
"Kamu cukup duduk yang rapi di sana, temenin saya masak. Oya, ini saya ambil" ujar Dean mengambil saute pan dari tangan Winarsih.
Sedetik kemudian, Dean yang masih berpakaian lengkap dari kantor tampak membuka kancing dan menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.
Dari sudut matanya, Dean bisa melihat jika Winarsih sedang menatapnya lekat-lekat.
Dia berpikir, Winarsih harus duduk sedikit jauh darinya agar cukup bisa dipandangnya saja.
Karena selembar daster batik yang dikenakan pembantunya itu sudah membuatnya gelisah. Otak Dean yang lelah sudah memaksanya membayangkan seperti apa isi di balik daster itu.
To Be Continued.....
Mohon dukungan atas karyaku dengan like, comment atau vote