He Ma Li, seorang wanita muda yang penuh semangat, baru saja diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan besar. Berbekal mimpi besar dan tekad kuat, Ma Li berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya yang penuh tekanan. Namun, ada satu sosok yang selalu menguji ketenangannya—CEO Zhang Xiang Li, seorang pria keras kepala dan penuh aturan. Dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dan tegas, Xiang Li menjalankan perusahaannya dengan tangan besi, tidak memberi ruang untuk kesalahan.
Awalnya, Ma Li menganggap Xiang Li hanya sebagai bos yang sulit didekati. Namun, semakin lama bekerja di dekatnya, Ma Li mulai melihat sisi lain dari pria tersebut. Di balik sikap dingin dan tatapan tajamnya, Xiang Li memiliki cerita hidup yang sulit, yang perlahan membuat Ma Li semakin tertarik.
Tanpa disadari, perasaan cinta mulai tumbuh di hati Ma Li. Namun, cinta ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bagi Xiang Li, cinta dan pekerjaan tidak pernah bisa bercampur, dan dia bersikeras menahan perasaannya agar tetap profesional. Mampukah Ma Li menembus dinding yang dibangun oleh Xiang Li? Apakah cinta Ma Li cukup kuat untuk membuat CEO keras kepala ini membuka hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lim Kyung rin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 3
Hari itu langit Guangzhou terlihat cerah. Setelah beberapa hari penuh dengan rapat dan pertemuan bisnis yang padat, akhirnya pekerjaan mereka berdua selesai. Ma Li menghela napas lega, merasa puas karena semuanya berjalan lancar. Namun, perasaan lega itu segera tergantikan dengan sedikit kesedihan. Guangzhou telah memberi mereka banyak kenangan, dan rasanya ia belum siap meninggalkan kota itu.
Di tengah perjalanan menuju bandara, suasana mobil cukup hening. Xiang Li, CEO yang selalu tegas dan serius, fokus menyetir tanpa banyak bicara. Ma Li sesekali mencuri pandang, memandang wajah CEO-nya yang terlihat sedikit lelah namun tetap tenang.
Saat mereka melewati salah satu jembatan yang menghadap ke sungai Zhujiang, Xiang Li tiba-tiba memperlambat laju mobil. Tanpa menoleh, ia berkata, "Kita punya waktu sedikit. Mau lihat pemandangan sebentar?"
Ma Li tersentak, tak menyangka CEO-nya akan menawarkan hal seperti itu. "Benarkah, Laoban?" tanyanya, mencoba memastikan.
Xiang Li mengangguk ringan, lalu memarkir mobil di tepi jalan. Mereka berdua turun dan berjalan menuju tepian jembatan. Sungai Zhujiang berkilauan diterpa matahari sore, memberikan pemandangan yang menenangkan.
"Terkadang kita terlalu sibuk bekerja, sampai lupa untuk menikmati pemandangan sekitar," ujar Xiang Li sambil menatap sungai.
Ma Li mengangguk pelan, merasa terkesan. "Saya setuju, Laoban. Guangzhou punya pesonanya sendiri."
Xiang Li menoleh, menatap Ma Li dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya. "Terima kasih sudah bekerja keras dan mendampingi saya di sini," ucapnya singkat namun tulus.
Ma Li tersenyum. "Terima kasih juga sudah memberi saya kesempatan ini, Laoban."
Setelah beberapa menit menikmati pemandangan, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju bandara. Namun, di dalam hati Ma Li, ada sedikit harapan bahwa suatu saat mereka bisa kembali ke Guangzhou, bukan hanya untuk urusan pekerjaan, tapi mungkin untuk menikmati kota ini sebagai teman atau... lebih dari itu.
Saat mereka tiba di bandara, Ma Li melihat Xiang Li berjalan di depannya dengan langkah yang mantap. Ada perasaan kagum yang tak bisa ia sembunyikan setiap kali melihat sosok CEO yang tegas dan berwibawa itu. Tanpa ia sadari, kehadiran Xiang Li mulai membuatnya merasa nyaman, walaupun mereka jarang terlibat pembicaraan pribadi.
Di ruang tunggu, mereka duduk berdampingan, menanti panggilan untuk boarding. Ma Li merasa ada suasana canggung di antara mereka, namun ia tidak tahu harus memulai pembicaraan apa. Sesekali ia melirik Xiang Li yang terlihat sibuk membaca email di ponselnya.
Tiba-tiba, Xiang Li berhenti mengetik dan meletakkan ponselnya. "Kau sudah lama bekerja di Z One Entertainment, bukan?" tanyanya tanpa menoleh.
"Iya, Laoban. Hampir tiga tahun," jawab Ma Li, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.
Xiang Li mengangguk, kemudian bertanya lagi, "Kenapa kamu memilih bekerja di sini? Dengan kemampuanmu, pasti kamu bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi di perusahaan lain."
Ma Li terdiam sejenak, merenungkan jawabannya. "Sebenarnya, saya pernah berpikir untuk mencari peluang di tempat lain," ia mulai, menatap ke arah lantai. "Tapi di Z One, saya merasa banyak belajar, terutama dari Anda, Laoban. Meski kadang keras, saya tahu Anda selalu ingin yang terbaik dari kami. Saya menghargai itu."
Xiang Li tersenyum tipis, mendengarkan dengan seksama. "Kau memang pekerja keras, Ma Li. Saya menghargai dedikasimu," katanya dengan nada yang lembut, berbeda dari biasanya. "Kadang saya lupa, di balik semua kerja keras kita, ada orang-orang seperti kamu yang membuat perusahaan ini berjalan dengan baik."
Ma Li merasa hatinya hangat mendengar pujian itu. Ia tak pernah menyangka Xiang Li akan mengucapkan kata-kata seperti itu padanya.
Panggilan boarding pun terdengar, menandakan bahwa mereka harus bersiap untuk masuk ke dalam pesawat. Selama penerbangan, Ma Li kembali tenggelam dalam pikirannya, teringat akan setiap momen yang ia lalui bersama Xiang Li selama di Guangzhou. Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap CEO-nya mulai tumbuh, meski ia berusaha untuk menahannya.
Saat mereka tiba di Shanghai, Xiang Li menoleh padanya sebelum berpisah di bandara. "Kamu sudah bekerja keras. Besok kau bisa ambil cuti. Nikmati hari liburmu, Ma Li," katanya dengan senyum yang tipis namun tulus.
Ma Li terkejut. "Benarkah, Laoban? Terima kasih banyak!" Ia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Xiang Li mengangguk, lalu berjalan pergi dengan langkah mantap. Ma Li berdiri di tempatnya, menatap punggung Xiang Li yang semakin menjauh. Tanpa ia sadari, senyum kecil terukir di wajahnya. Perjalanan ke Guangzhou mungkin sudah selesai, tapi perasaan yang baru tumbuh dalam hatinya akan menjadi awal dari cerita yang belum ia ketahui akhirnya.
Setelah Xiang Li menghilang di kerumunan bandara, Ma Li merasa ada sesuatu yang tertinggal. Bukan hanya kenangan tentang Guangzhou, tapi juga perasaan yang terus mengganggu pikirannya sejak perjalanan itu.
Hari berikutnya, Ma Li memutuskan untuk memanfaatkan cuti yang diberikan Xiang Li. Ia berjalan-jalan di sekitar kota Shanghai, menikmati suasana kota yang selalu sibuk, tapi terasa sedikit sepi tanpanya harus kembali ke kantor. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota, salah satu tempat favoritnya untuk berpikir.
Sambil menyeruput kopi, pikirannya terus kembali ke Xiang Li. Ia teringat momen-momen singkat yang mereka habiskan bersama di Guangzhou—saat melihat pemandangan sungai, percakapan di ruang tunggu bandara, hingga senyum singkat yang jarang sekali Xiang Li tunjukkan. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya saat itu, dan Ma Li menyadari bahwa perasaannya semakin jelas, bahkan meski ia tahu batasannya sebagai bawahan.
Di tengah lamunannya, Ma Li dikejutkan oleh suara notifikasi di ponselnya. Ia membuka pesan dan mendapati sebuah pesan dari Xiang Li: “Bagaimana harimu? Semoga menikmati liburan, Ma Li.”
Pesan singkat itu cukup untuk membuat hatinya berdebar. Xiang Li jarang sekali menghubunginya di luar urusan pekerjaan. Setelah beberapa detik, Ma Li membalas, “Terima kasih, Laoban. Saya menikmati waktu untuk beristirahat. Semoga Anda juga bisa bersantai di tengah kesibukan.”
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, bukan balasan pesan, melainkan panggilan dari Xiang Li. Dengan sedikit ragu, Ma Li menjawab teleponnya.
"Ma Li, sedang di mana?" tanya Xiang Li dengan suara yang terdengar tenang namun hangat.
"Sedang di kafe, Laoban," jawab Ma Li, suaranya sedikit bergetar karena tak menyangka mendapat telepon dari CEO-nya langsung.
"Aku ada di sekitar sini untuk sebuah pertemuan. Apakah aku boleh mampir?" Xiang Li bertanya dengan nada yang berbeda, seperti mencoba memberikan kesempatan untuk berbicara lebih santai.
Ma Li terdiam sejenak, tak percaya bahwa Xiang Li ingin bertemu dengannya di luar pekerjaan. "Tentu saja, Laoban," jawabnya akhirnya, masih bingung dengan perasaan yang mulai campur aduk.
Beberapa menit kemudian, Xiang Li masuk ke kafe dan menemukan Ma Li duduk di pojok. Ia mengenakan pakaian kasual, berbeda dengan tampilan CEO yang biasanya formal. Melihat Xiang Li dengan tampilan yang lebih santai membuatnya terlihat lebih hangat dan approachable.
Mereka duduk bersama, berbincang tentang hal-hal ringan yang biasanya tak pernah mereka bahas di kantor. Tentang kesukaan Ma Li pada kopi, hobi Xiang Li dalam membaca, hingga pengalaman masa kecil mereka. Ma Li tak menyangka bahwa di balik sosok tegas dan galak, Xiang Li memiliki sisi lain yang penuh kehangatan.
Saat obrolan mereka semakin dalam, Xiang Li tiba-tiba menatapnya dengan serius. "Ma Li, selama perjalanan ke Guangzhou, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Tidak hanya soal pekerjaan, tapi tentang kamu."
Ma Li menahan napas, tak berani berharap terlalu jauh. Namun, Xiang Li melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Aku tidak tahu apakah ini pantas, tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh, jika kamu merasa nyaman."
Wajah Ma Li memerah, hatinya berdebar tak menentu. "Laoban... saya... saya juga merasa begitu," jawabnya pelan, nyaris berbisik.
Xiang Li tersenyum, untuk pertama kalinya menunjukkan ekspresi yang begitu tulus. "Kalau begitu, mulai hari ini, anggap saja kita teman, Ma Li. Kita bisa melihat ke mana arah ini akan membawa kita, tanpa terburu-buru."
Ma Li hanya bisa tersenyum, merasa bahagia dengan kesempatan yang tak disangka-sangka ini. Hubungan mereka mungkin masih panjang dan penuh tantangan, namun sore itu di kafe kecil, mereka memulai sesuatu yang baru—sebuah langkah kecil menuju perasaan yang tak terucap selama ini.