Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Pengorbanan dan Harapan
Ariella berdiri tegak, pedang di tangan, matanya menatap tajam ke arah Kaito yang sudah mendekat. Keringat menetes di pelipisnya, darah mengalir dari beberapa luka di tubuhnya, namun dia tidak menunjukkan tanda-tanda lelah. Kaito, meski terluka parah, tetap menatapnya dengan penuh kebencian yang tak terbendung. Seperti dua kutub yang bertemu, mereka adalah api dan es yang tidak bisa saling berdamai.
Ariella tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika dia kalah, itu berarti bukan hanya akhir bagi dirinya, tetapi juga bagi timnya. The Obsidian Circle akan melanjutkan penguasaannya, dan nasib dunia yang sudah di ambang kehancuran ini akan semakin tergelincir ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
"Saatnya tiba, Ariella," kata Kaito dengan suara serak, namun penuh tekad. "Kau akan mati di tanganku. Ini adalah takdir."
Ariella tidak menjawab, tetapi senyum tipis muncul di bibirnya. "Takdirku bukan untuk mati di sini," ujarnya, matanya menyala dengan api yang tak bisa dipadamkan. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini."
Kaito mendekat lebih cepat, pedangnya berkilauan di udara saat dia meluncurkan serangan pertama. Ariella dengan cekatan menghindari serangan itu, bergerak cepat ke samping. Dengan gerakan tajam, dia membalas serangan, pedangnya menyambar udara dan hampir mengenai tubuh Kaito. Namun, Kaito mengangkat pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat, menangkis serangan itu dan dengan cepat memutar tubuhnya untuk menyerang lagi.
Ariella terpaksa mundur beberapa langkah, menghindari serangan yang semakin intens. Kaito tidak memberi kesempatan untuk bernapas, setiap serangannya datang bertubi-tubi, seperti badai yang tidak terhentikan. Ariella merasa tubuhnya semakin lelah, nafasnya semakin berat, dan meskipun dia berusaha keras, musuh yang satu ini bukanlah lawan yang mudah.
Namun, dalam setiap serangan yang datang, Ariella merasakan kekuatan dalam dirinya yang tidak bisa dia jelaskan. Rasa sakit di tubuhnya, kelelahan yang merasuki setiap ototnya, semua itu terasa semakin tidak berarti. Di dalam dirinya ada satu hal yang menguatkan setiap gerakan yang dia lakukan: tekad untuk melindungi orang yang dia cintai, untuk melawan kegelapan yang telah menguasai dunia ini.
"Berhenti!" teriak Alex, yang sedang berusaha menghentikan beberapa pembunuh lainnya yang masih mencoba menyerang mereka dari samping. "Ariella, kita harus pergi!"
Namun, Ariella tidak mendengarkan. Di matanya hanya ada Kaito, sosok yang ingin mengakhiri semuanya. Dengan satu gerakan cepat, Kaito menyerang lagi, dan kali ini, pedangnya hampir menyentuh tubuh Ariella. Dia hanya punya sedikit waktu untuk bereaksi.
Dengan insting tajam, Ariella memutar tubuhnya, menghindari serangan itu dan memanfaatkan momentum untuk menghantam pedangnya ke arah dada Kaito. Namun, Kaito berbalik dengan lincah, menghindar dan memukul pergelangan tangan Ariella, membuat pedangnya terlepas dari genggaman.
"Akhirnya, kau tidak punya senjata," kata Kaito dengan senyum mengejek. "Tidak ada yang bisa melindungimu lagi."
Namun, Ariella tidak gentar. Dengan tangan kosong, dia melompat ke depan, meninju wajah Kaito dengan kekuatan yang mengejutkan. Kaito terhuyung mundur, terkejut oleh serangan yang tidak terduga. Ariella, dengan cepat, memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil senjata lain yang terjatuh di lantai, sebuah belati tajam.
Pertarungan Tanpa Henti
Tanpa menunggu lebih lama, Ariella kembali menyerang, meluncurkan serangan dengan kecepatan luar biasa. Kali ini, Kaito tidak bisa menghindar sepenuhnya. Sebuah serangan berhasil mengenai sisi tubuhnya, meninggalkan luka yang cukup dalam. Tetapi Kaito, dengan wajah yang penuh amarah, masih berdiri kokoh, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
"Ini belum selesai, Ariella," kata Kaito, napasnya terengah-engah. "Kau akan jatuh ke tanganku, tidak peduli apa yang kau lakukan."
Ariella tidak menjawab. Semua yang dia tahu sekarang adalah satu hal: dia harus mengalahkan Kaito. Tidak ada jalan lain. Meskipun dia merasa semakin lemah, meskipun keringat dingin terus mengalir, dia tidak akan mundur. Dia tahu bahwa dunia ini bergantung padanya.
Dengan sebuah teriakan keras, Kaito kembali melancarkan serangan terakhir yang sangat brutal. Pedangnya berkilauan seperti petir yang menyambar. Ariella, dengan tenaga yang tersisa, mengangkat belatinya dan menangkis serangan itu, meskipun tubuhnya hampir tidak bisa lagi bergerak.
Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar, dan sebuah granat meledak di belakang Kaito. Ledakan itu cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Kaito, memberikan Ariella kesempatan emas untuk menyerang.
Dengan kekuatan yang tersisa, Ariella melompat dan menusuk belatinya tepat di jantung Kaito. Kaito terkejut, matanya melebar saat tubuhnya terhuyung mundur. Dia jatuh ke tanah dengan darah mengalir deras dari lukanya, dan akhirnya, tubuhnya tidak bergerak lagi.
---
Ariella terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya hampir tak kuat menahan rasa sakit. Kemenangan itu terasa manis, tetapi juga pahit. Meskipun Kaito akhirnya jatuh, mereka tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Musuh mereka masih ada, masih kuat, dan masih mengancam.
"Dia... dia sudah mati?" tanya Liana, berjalan perlahan mendekati Ariella, wajahnya penuh kekhawatiran.
Ariella mengangguk lemah, matanya menatap tubuh Kaito yang tak bergerak. "Ya. Tapi kita tidak bisa berhenti. Mereka masih ada."
Alex datang mendekat dan menolong Ariella berdiri, meskipun dengan susah payah. "Kita harus pergi sekarang juga. Kita sudah terlalu lama di sini."
Ariella mengangguk, memandang sekeliling gudang yang sekarang dipenuhi mayat-mayat musuh. Dia tahu bahwa meskipun mereka telah mengalahkan satu musuh besar, jalan mereka masih panjang. The Obsidian Circle tidak akan berhenti hanya karena kematian Kaito. Musuh yang lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya pasti akan segera muncul.
"Ayo," kata Ariella, menatap timnya dengan penuh keyakinan. "Kita tidak boleh menyerah. Dunia ini bergantung pada kita."
Dengan langkah berat, namun penuh tekad, tim Ariella meninggalkan gudang itu, meninggalkan kekacauan yang mereka tinggalkan di belakang. Mereka tahu, jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Tetapi satu hal yang pasti: mereka akan terus berjuang, tidak peduli seberapa besar pengorbanan yang harus mereka bayar. Karena, untuk dunia ini, pengorbanan itu adalah harga yang harus dibayar untuk harapan yang masih ada.