Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA YANG KEDUA
Marsha: [Mas, saya otw ke mini market sebelah ya. Mas udah selesai kan?]
Marsha mengirimkan pesan kepada Alan, butuh lima menit ia mengetik menghapus begitu terus sampai akhirnya kalimat itu yang terkirim.
"Hari ini gue mau main kerumah lo."
Marsha terlonjak kaget tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakangnya, ponselnya nyaris saja terjatuh.
"Lo melamun ya?" Sarah bergerak menyamai langkahnya dengan Marsha.
"Enggak,"
"Lo ngelamun nih, gue nggak teriak atau sengaja buat kaget, kok lo kaya jantungan gitu sih?" Sarah tampak curiga dan sedikit khawatir tentang sahabatnya ini.
Sarah menyadari semenjak masuk sekolah Marsha tidak sesupel biasanya. Irit bicara, tidak banyak tingkah dan sering mengalah.
"Are you okay, bestie?" tanya Sarah sungguh khawatir.
"Gue cuma kaget karena lagi fokus balas pesan nyokap aja, Sar. Gue baik-baik aja, kenapa sih?" Marsha sengaja mencubit pinggang Sarah.
"Aw! Sakit!" Sarah menggeliat dengan matanya yang melotot. Marsha hanya terkekeh meninggalkan Sarah berjalan lebih dulu.
"Emang nyokap lo mau nitip apa sama lo Sha?" tanya Sarah kepo,
Yaa biasa jika jam pulang seperti ini Nadia lumayan sering menitip sesuatu sambil Marsha jalan pulang, jadi Sarah pikir sekarang itu masih terjadi.
Marsha menghela napas pelan, sungguh ia merasa sangat bersalah telah membohongi sahabat baiknya ini, menutupi apa yang sudah terjadi padanya. Marsha tidak tahu bagaimana jadinya jika suatu saat Sarah mengetahui semua yang ia simpan selama ini. Ia tidak ingin membayangkan hal itu terjadi.
"Nyokap minta ditemani pergi arisan," jawab Marsha jelas berbohong.
Marsha ingin rasanya menangis entah sudah berapa banyak ia mengarang kebohongan pada Sarah.
"Kalau ada lo asik dong gue ada teman," Marsha tersenyum menggoda, ia tahu persis Sarah akan menolaknya. Sarah tidak suka kumpul Ibu-ibu.
"Nggak deh, makasih." tolaknya, "Kalau gitu besok aj deh gue ke rumah lo ya Sha,"
Marsha pura-pura kaget, "Yakin?"
"Itu Pak Izar," tunjuk Sarah pada supirnya yang sudah memasuki pekarangan sekolah, "Maybe gue nginap dirumah lo ya besok," Sarah memberi tahu, Marsha hanya mengangkat kedua jempolnya menandakan ia setuju, padahal jauh dalam pikirannya sudah mulak bermunculan cara bagaimana membatalkan niat Sarah.
"Bye Marsha, gue harap lo nggak pecat Pak Basuki." serunya sambil berlari kecil meninggalkan Marsha di area drop off.
Marsha kembali berjalan begitu memastikan mobil yang membawa Sarah sudah pergi menjauh.
"Neng sekarang sering pulang dengan taksi ya?" sapa Agus bertanya saat Marsha berjalan keluar dari gerbang sekolah.
"Mari Pak," hanya itu yang Marsha jawab sembari tetap tersenyum ramah saat keluar gerbang sekolah. Seperti biasa sebisa mungkin ia menghindari teman-temannya atau siapa pun yang mengenalinya.
Marsha terus berjalan menuju mini market sebelah sekolah, ia kembali membuka ponselnya mengecek pesan balasan dari Alan yang ternyata langsung ia balas dari tadi.
Alan: [10-15 menit lagi boleh? saya masih rapat dadakan dengan kepala sekolah]
Alan: [Saya usahakan lebih cepat]
Marsha mencebik membaca pesan dari Alan, tidak ada yang terlalu spesial disana, tapi membaca pesan keduanya membuat dirinya seolah tidak ingin dibiarkan menunggu lama. 'Terlalu PD lo Sha!' batin Marsha seraya melangkah masuk kedalam mini market.
Ia berjalan mengitari rak minuman, mengambil air mineral untuk tetap menjaga dirinya tidak kekurangan cairan, lalu pilihan kedua ia tampak bingung yang akhirnya Marsha hanya membeli air mineral saja. Marsha berjalan ke kasir dan membayarnya.
Saat akan keluar dari mini market Marsha bersamaan dengan seorang wanita berpenampilan modis dengan kaca mata hitamnya yang hendak masuk membuat langkah Marsha terhenti dan mundur memberikan ruang untuk wanita itu masuk dengan leluasa. Barulah Marsha keluar dan mencari meja kosong di samping mini market yang memang disediakan disana.
Marsha membuka minuman dan meneguknya hingga setengah botol berkurang, cuaca terik membuatnya dehidrasi. Kini ia mulai sibuk dengan ponselnya dan tidak lupa untuk membalas pesan dari Alan terlebih dahulu.
Marsha: [Oke Om, saya udah di mini market ya di tempat biasa]
Marsha: [Send picture]
Marsha mengirimkan gambar hiruk-pikuknya jalanan di depan mini market pada Alan.
Alan: [Kamu panggil saya apa??]
Marsha berdecak kesal, ia men-scrolling chat-nya.
Marsha: [Ya ampun MAS lupa MAS, sorry MAS]
Alan: [OKE]
Marsha menghela napas, perkaranya panggilan jadi ribet. Padahal Om juga sexy, Om dengan anak sekolah, hot! Marsha tersenyum geli membayangkan dirinya adalah baby sugarnya Alan,
"Huek!" Marsha pun tidak tahan dengan bayangannya dipikirannya, seakan mau muntah benaran. Ia mencebik, padahal dia yang membayangkannya tapi dia sendiri yang jijik.
Daripada pikirannya Alan terus, iseng Marsha mengalihkannya dengan membuka galeri foto di ponselnya, melihat-lihat foto pernikahannya yang lebih banyak dikirimkan Hana, Marsha tersenyum mengingat bagaimana Tantenya itu selalu menyemangatinya, menggoda dan tentu berharap terbaik untuknya. Marsha jadi tersenyum haru mengingatnya. Ternyata masih Alan juga, ckckck.
"Boleh saya duduk disini?"
Seketika senyuman tipis pada Marsha menghilang, lalu ia mendongak pada suara wanita didepannya. Wanita berkaca mata hitam yang tadi sempat ia persilahkan lebih dulu masuk ke mini market. Marsha melihat sekitarnya banyak kursi dan meja kosong, bahkan sebenarnya hanya ia sendiri disana.
Murid-murid di sekolah memang lebih senang nongkrong di kafe seberang depan sekolahnya dibandingkan mini market yang terbuka dan panas, karena alasan itu juga Marsha memilih menunggu Alan disini sekarang. Sepi.
"Silahkan," akhirnya Marsha membiarkan wanita berkaca mata hitam itu duduk didepannya, Marsha hendak kembali menatap ponselnya namun sepertinya wanita itu ingin mengajaknya mengobrol.
"Sekolah disebelah?" tanyanya lagi, tidak tahu hanya memastikan atau hanya berbasa-basi. Marsha mengangguk seraya tersenyum tipis.
Wanita itu melepaskan kaca matanya, ia menatap Marsha dengan tatapan menyelidik membuat Marsha tidak nyaman.
"Marsha Aulia Zlatan, that's you?" wanita itu menaiki dua alisnya menatap Marsha tajam, Marsha hanya diam semakin mengernyit tidak mengerti siapa dan apa tujuan wanita ini.
"Maaf, Mbak siapa ya?" Marsha bertanya dengan sopan,
Wanita itu berdecak sombong, "Nggak perlu tahu lah," ia kembali menelisik wajah Marsha, "Umm...cuma mau tahu aja istri kedua suami saya seperti apa," lirihnya lalu menyunggingkan senyuman mengejek.
Marsha bergeming, sorot matanya tampak bingung. "Maksudnya?"
Ia sebenarnya tidak terlalu mengerti tapi mengingat dirinya adalah seorang istri sekarang, dia sedang tidak sedang membicarakan dirinya dan Alan kan? Perasaan Marsha tiba-tiba menjadi tidak enak.
"Ternyata belum jelas ya?" ia tersenyum angkuh, lalu mengeluarkan ponselnya dari tas mahal yang sedari tadi sudah ia letakkan di atas meja.
"Nih," ia menunjukkan sebuah gambar dari ponselnya cukup membuat Marsha tercengang.
Berusaha tenang Marsha melihat wanita itu lalu beralih melihat gambar di ponsel wanita itu pula disana jelas terpampang foto Alan sedang bersanding dengan wanita ini. Hati Marsha terasa panas, sakitnya terasa sampai menusuk ulu hatinya. Haruskah ia kembali merasakan sakitnya lagi, dipermainkan.
"See," wanita itu menarik ponselnya, ia kembali menyimpan ponselnya dalam tas. "Kalau perlu saya bisa mengirimkan beberapa foto sebagai bukti, saya nggak punya nomor kamu tapi saya tahu email kamu." ia tersenyum sinis.
Seperti biasa Marsha berusaha untuk tetap tenang walau sebenarnya sangat menyakitkan mengetahui kenyataan yang terjadi. "Nggak perlu," jawabnya dingin, tidak ada lagi nada keramahan disana.
"Nggak masalah saya akan tetap mengirimkannya, siapa tahu kamu butuh bukti untuk dibicarakan dengan suami kita."
ucapannya pada kata terakhir yang ditekankan wanita itu sangat menusuk perasaan Marsha, 'Suami kita?' Marsha mengulangnya dalam hati. Seburuk inikah takdir hidup yang harus ia terima, sudah dipaksa menikah dan ternyata ia adalah yang kedua.
Wanita itu menatap Marsha semakin tajam, ia heran respon yang diberikan Marsha tidak sesuai keinginannya. Ia berharap Marsha akan mengamuk, minimal menangisi kenyataan bahwa dia telah ditipu oleh Alan, bukan diam begini bahkan ia kini berani membalas menatap netranya dengan tenang.
"Saya rasa kamu perlu tahu itu semua, dan kita harus membicarakan untuk selanjutnya. Saya sudah membiarkan Al menikahi kamu, tentu saya mau di perlakukan adil olehnya." wanita itu kembali tersenyum sinis, ia memakai kacamatanya lalu berdiri meninggalkan Marsha yang masih terdiam dengan pikirannya yang berkecamuk.
'Al?' batinnya mengulang, bahkan dia memanggil Alan dengan panggilan akrabnya, Marsha tiba-tiba merasa seperti orang yang tidak kenal suaminya sendiri.
**