Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran & Penyihir
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue rasa gue adalah orang yang pekerja keras. Memang sudah seharusnya begitu buat bantu-bantu biaya nyokap gue dan buat beli barang-barang yang dia enggak bisa kasih, bukan karena dia enggak mau, tapi memang gaji dia sebagai perawat cuma cukup buat bayar sewa, bayar listrik, mobil, dan sebagainya.
Kita berdua satu tim.
Tapi hari ini, jujur saja, gue malas banget buat kerja. Gue sampai cari-cari alasan biar enggak datang, tapi kenyataannya gue butuh duit dan sekolah sudah mulai masuk Senin nanti. Jadi ini sisa-sisa hari terakhir gue buat kerja double shift.
Pas sekolah dimulai, gue cuma bisa kerja beberapa jam dan akhir pekan doang, itu pun enggak boleh melebihi dari total jam yang diizinkan buat anak di bawah umur kayak gue.
Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali gue lihat Anan. Jujur saja, gue enggak menyangka bakal kangen dia, padahal baru beberapa kali doang kita mengobrol.
Kok bisa, ya, gue merasa kehilangan?
Gue juga kangen nge-stalking dia, hobi aneh gue yang bikin jantung deg-degan dan sekarang semuanya hilang.
Gue ambil napas panjang sambil beresin barang-barang gue ke dalam tas. Dibilang hari ini hari buruk sih kurang tepat, bahkan ini lebih parah dari itu. Karena benar-benar lagi enggak fokus dan menguap melulu, sampai-sampai si bos tegur gue tiga kali. Kita bahkan sampai harus kasih french fries gratis ke pelanggan karena gue salah catat pesanan.
Gue lepas topi dan masukan ke loker. Gue sempat ke pikiran buat ganti baju, tapi malas banget rasanya ke toilet.
“Lagi badmood, ya?” Suara Wibi bikin gue kaget dan bahu gue kebentur pintu loker.
“Wah, sumpah! Lo! Hiihh!!”
Wibi senyum dengan mukanya yang malu. “Sori.”
Gue balas senyumnya, “Santai, enggak apa-apa.”
Wibi lepas topinya, rambut pirangnya langsung jatuh, jadi gue bisa lihat wajahnya dengan jelas.
“Jadi, gue penasaran, nih. Kok, lo bisa kasih Nugget ke customer yang pesan Mc-Flurry?”
“Oh, lo lihat, ya?”
“Semua orang juga ngelihat, lo kayak lagi ngelayang di planet lain.” Dia buka loker dan mengeluarkan barang-barangnya.
“Gila, malu banget.”
“Tenang, gue juga pernah ngalamin.”
Gue lihat dia dengan tatapan sedih. “Niria?”
“Iya.” Dia diam melihat ke dalam lokernya, kelihatan lagi memikirkan sesuatu. “Gue sama dia emang beda Kelas, buat dia gue cuma cowok kere yang kerja jadi pelayan, nggak lebih.”
“Gue ikut sedih dengarnya.”
“Santai aja, gue udah tahu dari awal enggak mungkin bisa cocok, tapi gue enggak nyangka bakal secepat ini dia justru jadi hal paling penting buat gue.”
Oh, percaya deh, gue tahu banget rasanya.
“Gue enggak tahu mau ngomong apa, Wibi.”
“Gue mau dengar cerita lo.”
“Cerita gue?”
“Kenapa lo kelihatan enggak fokus hari ini?”
Gue tutup loker dan gendong tas. “Gue... baru aja ngejauh dari seseorang, dia...” Gue teringat lagi kata-kata dingin Anan. “Dia enggak seperti yang gue harapin.”
“ Sakit, sih.”
“Banget.” Gue jalan mendekat. “Gue cabut dulu ya.” Gue lewati dia sambil jalan ke arah pintu. “
“Bye, Wibi”
“Bye, Zielle Mc. Nugget.”
“Sialan, lo! Gue bakal ingat-ingat itu." Gue kasih jari tengah ke dia, dan dia pura-pura kaget.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Perjalanan pulang rasanya menyedihkan. Suara mobil-mobil yang lewat di jalan raya, lampu jalanan yang warnanya oranye cuma kasih cahaya seadanya. Seakan suasana di sekitar gue lagi menjiplak perasaan gue malam ini. Sudah hampir tengah malam, tapi gue enggak khawatir sama sekali, karena daerah sini itu aman dan rumah gue juga enggak terlalu jauh.
Nyokap gue selalu bilang kalau malas itu enggak ada manfaatnya, dan gue enggak pernah menyangka bakal ada momen di hidup gue yang bikin nasihat itu masuk akal, dan gue sadar.
Karena malas, gue malah ambil jalan pintas, biar sampai ke rumah lebih cepat, gue memutuskan buat lewat kolong jembatan.
Di sana gelap dan sepi. Setahu gue, aman atau enggaknya daerah itu belum bisa dipastikan, soalnya kebanyakan orang pakai tempat itu buat nyimeng atau jualan barang haram.
Langkah gue berhenti saat gue lihat ada tiga cowok tinggi di bawah jembatan. Jarak kita cukup dekat, gelapnya tempat ini bikin mereka samar, dan gue enggak sadar sampai gue hampir berhadapan sama mereka.
“Mau sesuatu, cantik?” Salah satu dari mereka buka mulut, suaranya berat dan dia batuk-batuk.
Jantung gue mau meledak, tangan gue mulai berkeringat. “Enggak, gue enggak... Nggak.”
“Kesasar, ya?”
“Gue ke-sa-lah jalan,” gugup gue, dan salah satu dari mereka ketawa.
“Kalau mau lewat sini, lo harus kasih kita sesuatu.”
Gue geleng kepala. “Enggak, gue balik aja lewat jalan lain.” Gue mundur selangkah dan mereka semua masih diam.
Apa gue bakal dibiarkan pergi?
“Tolong, biarin gue pergi.” Gue hampir memutar badan buat cabut, tapi tiba-tiba HP gue bunyi.
Sial!
Panik dan gemetaran, gue cepat-cepat keluarkan HP dari saku dan nge-silent, terus gue masukan lagi.
Tapi telat.
“Wah, HP itu kelihatannya keren. Gimana menurut lo, Jo?”
“Iya, gue rasa itu hadiah ulang tahun yang pas buat anak gue.”
Gue coba lari, tapi salah satu dari mereka langsung tarik tangan gue dan menyeret ke tempat gelap di bawah jembatan. Gue teriak sekencang-kencangnya, tapi dia tutup mulut gue rapat-rapat dan tarik rambut gue biar gue diam. “Shh! Tenang aja, manis. Kita enggak bakal nyakitin lo, kasih aja HPnya.”
Air mata mengucur dari mata gue. Bau badan dia campuran alkohol sama sampah.
“HPnya, sekarang,” perintah salah satu dari mereka yang ada di depan gue. Tapi badan gue enggak bisa gerak. Ketakutan bikin gue beku.
Gue kepingin angkat tangan buat kasih HP, tapi enggak bisa.
Cowok ketiga muncul dari kegelapan, rokoknya menyelip di gigi dan ada bekas luka di mukanya. “Ada di kantongnya, pegangin dia.”
Jangan, jangan sentuh gue!
Gue teriak, tapi cuma jadi suara tercekik yang tertahan tangan dia. Si bekas luka itu samperin gue dan masukkan tangannya ke kantong celana gue sambil menjilat bibirnya.
Rasanya mau muntah.
Tolong, siapa pun, bantu gue.
Dia keluarkan HP gue dan kasih lihat ke teman-temannya. “Bagus, masih kelihatan baru, pas buat hadiah anak lo.”
Dia lempar HP itu ke cowok satunya, mata dia yang mesum enggak lepas dari muka gue. “Lo cantik banget.” Jari dia menyeka air mata di pipi gue. “Jangan nangis.”
“Kita biarin dia pergi, nggak? Udah dapet HPnya kok,” tanya cowok yang menahan gue.
Orang yang sekarang lagi pegang HP gue nambahin. “Iya, Jo, udah cukup.”
Jo memperhatikan gue, pandangannya turun ke badan gue.
Jangan, tolong, jangan.
Si penahan gue melepaskan pegangannya, tapi Jo malah tarik gue balik dan seret gue ke pelukannya dari belakang, tutup mulut gue lagi.
Jantung gue berdegup kenceng sampai ke tenggorokan, kayak mau copot. Gue susah napas, badan gue enggak bisa gerak.
Tolong!
“Jo, udah cukup, dia masih anak kecil.”
“Iya, Jo, umurnya mungkin seumuran anak gue.”
“Diam, goblok!” Teriakannya bikin kuping gue bergetar. “Pergi dari sini.”
“Tapi...”
“Pergi gue bilang!”
Dua orang itu saling tatap sebentar, sementara gue memohon dengan tatapan gue, tapi mereka akhirnya cabut.
Enggak.
Tuhan, tolong!
Jo menyeret gue ke dalam terowongan, gue mulai menendang-nendang dan teriak. Dia jambak rambut gue dan arahkan badan gue menghadap ke dia. “Gue enggak mau nyakitin lo. Gue bakal lepas tangan gue dari mulut lo, tapi kalau lo teriak, habis lo, cantik.”
Begitu dia melepas tangan dari mulut gue, gue teriak. “Tolong! Tolong,...”
Dia tonjok gue.
Gue bahkan enggak lihat tangan dia naik, yang gue rasakan cuma hantaman keras di pipi sebelah kanan.
Seumur hidup gue enggak pernah dipukul, enggak pernah merasakan sakit yang kayak begini. Badan gue oleng dan jatuh ke tanah, semuanya berputar, telinga kanan gue berdenyut, dan rasanya darah mulai memenuhi mulut gue.
“Ada orang di sana?” Suara dari atas jembatan terdengar seperti suara malaikat.
“Ada apa di sana?” Jo panik dan langsung kabur, sementara gue merangkak sampai bisa duduk.
Pipi kanan gue berdenyut. “Tolong! Di sini, di bawah!” Suara gue lemah.
“Astaga!” Itu suara seorang cowok.
Dalam hitungan detik, dia muncul di depan mata gue. “Ya, ampun. Lo baik-baik aja?”
Gue enggak bisa jawab, ada rasa sesak di tenggorokan. Gue cuma ingin pulang, ingin aman.
Dia jongkok di depan gue. “ Seriusan, lo enggak apa-apa?”
Gue cuma bisa angguk pelan
“Gue harus telepon polisi, enggak? Lo bisa jalan?” Dengan bantuannya, gue bangun dan kita meninggalkan kolong neraka itu.
Nyokap...
Rumah...
Anan...
Itu doang yang ada di otak gue sekarang. Dia kasih HP-nya ke gue, dan dengan tangan yang gemetar, gue pencet satu-satunya nomor yang gue hafal, nomor nyokap gue.
Tapi dia enggak angkat, dan hati gue rasanya jatuh ke perut. Air mata mulai mengaburkan pandangan gue.
“Lo mau gue telepon polisi?”
Enggak, gue enggak mau polisi, gue enggak mau di kasih pertanyaan. Gue cuma mau pulang, tempat di mana gue aman, tempat di mana enggak ada yang bisa menyakiti gue. Tapi gue enggak punya nyali buat jalan sendirian di jalanan itu lagi, enggak malam ini.
Dan tiba-tiba gue ingat, itu satu-satunya nomor yang gue hafal. Yang tadinya cuma nomor nyokap doang yang gue hafal, sekarang gue juga hafal nomor Anan, gara-gara seringnya dia nge-chat dan kebiasaan gue yang suka stalking dia.
Saat ini, gue enggak peduli apa pun yang sudah kita omong in, gue cuma butuh seseorang buat antar gue pulang, dan cowok yang tolong gue tadi bilang dia buru-buru karena mau mengejar Bus Terakhir.
Nomor ini harapan terakhir gue, kalau Anan enggak angkat, gue terpaksa harus telepon polisi dan menunggu sendirian di sini.
Di nada ketiga, suara dia akhirnya kedengaran. “Halo?”
Napas gue sesak, kata-kata susah keluar dari mulut gue. “Halo, Anan.”
“Siapa, nih?”
“Ini... Zielle”. Suara gue pecah, air mata mulai mengalir di pipi. “Gue...”
“Zielle? Lo baik-baik aja? Lo nangis?”
“Enggak, eh, iya... Gue...”
“Ya, ampun, Zielle, bilang ke gue ada apa.”
Gue enggak bisa ngomong, cuma bisa menangis. Entah kenapa, dengar suara dia bikin semua hati gue jebol.
Cowok yang menolong gue ambil HP-nya dari tangan gue. “Halo, gue yang punya HP ini. Dia barusan dijambret di bawah jembatan.” Ada jeda beberapa detik. “Kita di taman dekat jalan raya Thamrin, depan gedung konstruksi... oke? Sip.” Dia matikan telepon.
Gue masih berantakan, menangis enggak karuan. Cowok itu mengetok bahu gue pelan. “Dia udah otw, bakal sampai beberapa menit lagi. Tenang, tarik napas.”
Waktu berlalu begitu cepat, dan gue enggak menyangka melihat Anan lari kayak orang gila ke arah kita.
Rumah gue memang enggak jauh, tapi dia pasti lari sekuat tenaga biar sampai secepat ini. Dia cuma pakai celana piama abu-abu sama kaos warna senada, enggak pakai sandal, rambutnya acak-acakan.
Mata indahnya ketemu sama mata gue, ekspresi khawatir di wajahnya bikin ego gue runtuh. Gue berdiri buat nyamperin dia. Anan enggak bilang apa-apa, dia langsung peluk gue erat.
Badannya bau sabun, dan di momen ini, itu bau yang paling menenangkan, bau rasa aman.
Gue selamat.
Dia melepas pelukan, tangannya menyentuh wajah gue. “Lo baik-baik aja?”
Gue mengangguk lemah, jarinya memeriksa bibir gue yang pecah. “Apa yang barusan terjadi?”
Gue enggak mau ngomong, gue cuma mau pulang.
Anan enggak paksa gue dan malah melirik ke cowok yang ada di sebelah kita. “Biar gue yang urus, lo bisa cabut. Makasih banyak, ya.”
“Santai aja.”
Akhirnya, tinggal kita berdua.
Anan melepas gue, terus dia memutar badan dan menunduk, menawarkan punggungnya sementara gue menatap dia dengan alis menukik. “Lo ngapain?”
Dia senyum tipis sambil menengok ke belakang. “Gue anterin lo pulang.”
Pelan-pelan, gue naik ke punggungnya, dan dia bawa gue kayak gue enggak punya berat sama sekali. Kepala gue bersandar di salah satu bahunya. Muka gue masih berdenyut-denyut sakit, dan air mata mulai mengumpul di mata gue saat memikirkan yang baru saja terjadi, tapi anehnya, gue merasa aman.
Di pelukan cowok idiot yang pernah bikin hati gue remuk, gue malah merasa aman.
Hening di antara kita enggak bikin canggung. Langit masih cukup cerah, jalanan masih ada beberapa mobil lewat, dan lampu-lampu jalan warna oranye tetap nyala kayak enggak pernah terjadi apa-apa.
Kita sampai di rumah gue, Anan turunkan gue, dan gue buka pintu. Nyokap gue enggak ada, seperti biasa, jadi Anan masuk bareng gue. Gue naik ke kamar, sementara Anan cari es batu di dapur.
Anoi, anjing gue, menyambut dengan antusias. Gue cuma elus kepalanya sedikit sebelum menyuruh dia duduk manis di pojokkan kamar. Gue lepas tas dan duduk di kasur.
Anan muncul bawa kantong plastik isi es batu dan duduk di samping gue. “Ini bakal ngilangin sakit lo.”
Dia menempelkan kantong es itu ke muka gue, dan gue meringis menahan sakit. “Maaf.”
Anan menatap gue dengan alis berkerut. “Kenapa?”
“Gara-gara nelpon lo, gue tahu...”
“Jangan,” potongnya. “Jangan pernah mikir kayak gitu, jangan ragu buat manggil gue kalau lo lagi ada masalah. Ngerti?”
“ Ngerti.”
“Sekarang tidur, lo harus istirahat.”
Gue nurut dan tiduran, sambil pegang kantong es di pipi. Dia membungkus gue pakai selimut, dan gue cuma bisa menatap dia.
Gue lupa betapa cakepnya dia.
Gue kangen sama lo...
Gue pikirkan, tapi enggak gue ucapkan. Anan kelihatan siap buat balik, dan panik tiba-tiba muncul. Rasa takut sendirian di rumah menyerang gue.
Gue duduk. “Anan...”
Mata birunya membatin, menunggu buat ngomong, tapi gue enggak tahu bagaimana cara minta dia buat tetap di sini.
Bagaimana bisa gue minta dia buat tetap di sini kalau seminggu yang lalu gue malah suruh dia pergi dan enggak usah balik lagi?
Gue enggak mau sendirian, gue enggak bisa sendirian malam ini.
Dia seperti berhasil baca pikiran gue.
“Lo mau gue di sini?”
“Iya, enggak apa-apa kalau lo enggak mau, gue bakal baik-baik aja, gue...” Gue enggak sempat lanjutkan kalimat gue, karena dia tiba-tiba menyelonong ke sisi kasur dan meluk gue dari belakang.
Sebelum gue sempat ngomong apa-apa, dia melipat lengannya di pinggang gue, tarik gue pelan-pelan menuju pelukan lembut dari belakang.
“Lo aman, Zielle,” bisiknya. “ Tidur, gue enggak akan ninggalin lo.”
Gue taruh kantong es di meja samping tempat tidur, terus tutup mata. “Lo janji?”
“Iya, gue enggak bakal pergi.”
Rasa kantuk mulai datangi gue, berada di antara sadar dan enggak sadar. “Gue kangen sama lo, Pangeran.”
Gue merasakan ciuman di belakang kepala gue, dan suara dia yang lembut. “Gue juga, Penyihir... gue juga.”