Berawal dari permintaan sahabatnya untuk berpura-pura menjadi dirinya dan menemui pria yang akan di jodohkan kepada sahabatnya, Liviana Aurora terpaksa harus menikah dengan pria yang akan di jodohkan dengan sahabatnya itu. bukan karena pria itu tak tahu jika ia ternyata bukan calon istrinya yang asli, justru karena ia mengetahuinya sampai pria itu mengancam akan memenjarakan dirinya dengan tuduhan penipuan.
Jika di pikir-pikir Livia begitu biasa ia di sapa, bisa menepis tudingan tersebut namun rasa traumanya dengan jeruji besi mampu membuat otak cerdas Livia tak berfungsi dengan baik, hingga terpaksa ia menerima pria yang jelas-jelas tidak mencintainya dan begitu pun sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa tulus dari ayah mertua.
Sepertinya kalimat terakhir Livia mampu mengobrak-abrik perasaan Abimana. Buktinya pria itu terlihat mengulum senyum
"Kemarilah..."
Abimana menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya.
Livia tidak langsung menurut, ada rasa was-was di hatinya. Apakah pria itu masih marah padanya atau mungkin sampai ingin mencekiknya setelah tiba di sampingnya.
Sorot mata Abimana akhirnya mampu membawa langkah Livia mendekat.
Duduk di samping Abimana dengan jantung dag-dig-dug tak karuan. nyatanya ketakutan Livia tidak terbukti, Abimana justru merebahkan kepala di pangkuannya. Abimana memejamkan mata hingga tanpa sadar pria itu terlelap di pangkuan Livia.
Livia menatap intens wajah tampan yang saat ini terlihat begitu damai.
Mau dilihat dari manapun anda tetap saja tampan, tuan. Seandainya anda menikahiku karena cinta, mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini." Livia.
Livia menggelengkan kepala, seakan ingin menepis pikirannya yang sudah melayang jauh entah kemana.
Kamu mikirin apa sih Livia....masih sore, jangan mimpi...!!!Livia.
Mungkin karena siang tadi ia tak jadi mengistirahatkan tubuhnya, tanpa sadar Livia pun ikut tertidur dalam posisi duduk bersandar pada sandaran sofa.
Beberapa saat kemudian Abimana terjaga dan mendapati tangan lentik istrinya menyentuh pipinya, ia tersenyum menyadari itu. Meraih tangan Livia, lalu "Cup."
Sepertinya kecu-pan Abimana pada punggung tangannya mengganggu tidur Livia, terbukti wanita itu nampak menggeliat sebelum sesaat kemudian mulai membuka matanya.
"Maaf tuan, sepertinya saya ketiduran." Livia merapikan posisi duduknya, sementara Abimana sudah kembali pada posisi sebelum merebahkan kepala di pangkuan Livia.
"Saya belum pernah melihat istri sehebat dirimu."
"Maksud anda???."
"Kau memanggil Rasya dengan sebutan Abang sementara memanggil suamimu sendiri dengan sebutan tuan. Apa kau pikir itu tidak hebat, Livia???." kedua tangan Livia saling bertautan mendengar kalimat sarkas yang terucap dari mulut Abimana.
"La-lalu saya harus memanggil anda dengan sebutan apa??? Abang juga???." menahan tubuhnya yang sudah bergetar akibat sorot mata Abimana.
"Cih..." dengan gurat wajah datarnya Abimana beranjak dari tempatnya duduk. "Kau pikir saya ini Rasya." sudah hampir melangkah, namun langkah Abimana terhenti kala merasakan tangan istrinya sudah melingkar di perutnya.
"Mas, masih marah????."
Demi menyelamatkan diri tak apalah sekali-kali melakukan tindakan menggelikan seperti ini Livia, daripada harus menerima amukan dari dia....
Livia merasa geli sendiri dengan tindakannya, memeluk tubuh Abimana seperti itu. Tapi biarlah, ketimbang drama terus berlanjut, begitu pikir Livia.
Tanpa di sadari Livia, Abimana melebarkan senyum menatap kedua tangan yang melingkari perutnya. Sesaat kemudian, Abimana kembali memasang wajah datarnya.
"Awas...saya mau mandi!!!." menepis tangan Livia yang masih melingkar di perutnya. Setibanya di kamar mandi, abimana menyentuh dada kirinya yang kini berdegup kencang. "Ada apa denganmu Abi?? dia hanya memelukmu, tapi jantungmu sudah seperti mau melompat keluar." mengulas senyum sambil bergumam lirih di depan cermin.
Tiga puluh menit kemudian, Abimana sudah selesai dengan ritualnya di kamar mandi. Pria itu keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah dan itu terlihat begitu mempesona di mata Livia. saking terpesonanya dengan tu-buh sempurna suaminya, Livia sampai tidak menyadari jika Abimana sudah melangkah melewatinya.
"Sampai kapan kamu berdiri di situ???."
"Haaaahhhh????."
Kesadaran Livia kembali, ia sontak menoleh ke arah Abimana, sebelum sesaat kemudian beranjak mendekati Abimana untuk menyerahkan piyama milik pria itu.
Bukannya menerima pakaian pemberian Livia, Abimana justru menarik tu-buh istrinya itu dan mengung-kungnya di tempat tidur.
"Anda mau apa, tuan???." saking terkejutnya, Livia tanpa sadar kembali memanggil Abimana dengan sebutan tuan. "Maksud saya, kamu mau ngapain, mas???." menyadari perubahan raut wajah Abimana sontak saja Livia meralat panggilannya.
Bukan menjawab, abimana justru menci-um bibir ranum Livia, dan hal itu dilakukan Abimana dengan begitu lembut penuh cinta hingga Livia pun tak lagi kuasa menolak sen-tuhan suaminya itu, hingga malam ini pasangan suami istri tersebut kembali merasakan nik-matnya surga dunia.
Sepertinya kau memang sudah benar-benar tidak waras Livia...kau takut hamil, tapi kenyataannya kau justru ikut menikmati setiap sentu-hannya...Livia.
Livia merutuki tindakannya beberapa saat yang lalu, di mana mulut bodohnya tidak bisa dikondisikan hingga mengeluarkan suara-suara desa-han dibawah kungkungan Abimana.
Baru jam delapan malam namun mereka sudah melewati kegiatan panas, bahkan waktu makan malam pun terlewatkan.
"Kenakan pakaianmu!! Kita akan turun untuk makan malam setelah itu mengunjungi ayah di kamarnya!!!." papar Abimana seraya turun dari tempat tidur.
Livia mengangguk saja sebab tubuhnya sudah terasa lemas. belum sempat makan malam, sudah menjadi santapan Abimana.
Sesuai ucapan abimana, setelah mengenakan pakaian lengkap keduanya turun untuk makan malam, dan selesai makan malam kedua lanjut berkunjung ke kamar ayah. Ya, setiap malam Abimana pasti menyempatkan waktu untuk mengobrol ringan bersama ayahnya.
Livia yang ikut serta bersama Abimana memilih menjadi pendengar saja, hanya sesekali wanita itu bersuara jika ayah mertuanya menanyakan sesuatu padanya. dari sikap serta interaksi suaminya bersama ayah mertuanya, Livia bisa melihat betapa besarnya rasa sayang Abimana terhadap ayahnya, begitu pula sebaliknya.
"Ayah berharap tuhan segera menganugerahkan keturunan di dalam rumah tangga kalian."
Doa tulus yang terucap dari mulut ayah mertuanya mampu menyentuh relung hati Livia.
"Semoga saja, ayah." balas Abimana.
Mengingat waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Abimana lantas meminta ayahnya untuk segera beristirahat dan mereka pun kembali ke kamar.
Sepertinya obrolan Abimana dan ayah mertua tentang kehadiran seorang anak masih bersarang di pikiran Livia. Hingga kembali ke kamar pun, wanita itu masih saja memikirkannya.
"Mas..."
"Hem."
"Apa kamu serius ingin punya anak??? Em... maksudnya, apa kamu serius menginginkan seorang anak di dalam pernikahan kita???." menundukkan pandangan, khawatir pertanyaannya justru merubah mood Abimana.
"Kalau iya, memangnya kenapa??? Bukankah semua pasangan yang menikah mengharapkan kehadiran seorang anak." jawaban yang terdengar ambigu ditelinga Livia.
"Kalau aku sampai benar-benar hamil, kamu tidak berniat memisahkan aku dengan anakku kan, mas????." wajah Livia berubah sendu. Pernikahan yang terjadi atas dasar cinta saja masih tak jarang berakhir dengan perceraian, apalagi pernikahan mereka yang hanya berawal dari sebuah ancaman. Besar kemungkinan abimana akan menceraikan dirinya, begitu pikir Livia.
"Kenapa bertanya seperti itu???."
"Karena aku tidak ingin sampai itu terjadi, mas. kalau sampai mas melakukan hal itu padaku, aku akan melakukan apapun demi anakku termasuk melawan kamu sekalipun." entah keberanian dari mana yang merasuki jiwa Livia sehingga berani berkata demikian dihadapan Abimana, apalagi intonasinya pun terdengar berapi-api
Abimana yang sedang duduk bersandar pada sandaran ranjang nampak menarik sudut bibirnya.
"Memangnya kamu yakin bisa melawan saya."
Livia menggeleng pelan.
Abimana jadi gemas sendiri dengan tingkah istrinya itu. "Kemarilah...!!!." Abimana menepuk sisi tempat tidur yang kosong.
Livia mengangguk patuh, naik ke atas tempat tidur. Entah kemana perginya keberaniannya tadi.
"Tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti itu!!." Abimana menarik tubuh Livia ke dalam dekapannya.
Tentu saja Abimana menganggap kekhawatiran Livia tidaklah penting sebab apa yang dikhawatirkan istrinya tersebut tidak akan pernah terjadi.