Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 31 — Persiapan —
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kamar, menyentuh wajahku yang masih terasa berat akibat kurang tidur. Aku duduk di sisi kasur, meluruskan punggung sambil melirik Eirene yang masih terbungkus selimut. Namun, ia tampak mulai terbangun, meregangkan tubuhnya dengan gerakan yang lambat.
“Pagi,” katanya dengan suara yang masih terdengar malas.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin membahas apa yang terjadi malam tadi.
Tak lama kemudian, aroma makanan menguar ke dalam kamar. Perutku langsung merespon dengan suara pelan, mengingatkan bahwa aku belum makan sejak kemarin malam.
“Sepertinya mereka sudah menyiapkan sarapan,” kataku, mencoba mengalihkan perhatian Eirene.
Ia mengangguk pelan, dan kami pun bersiap untuk turun ke lantai bawah.
Di meja makan penginapan, hidangan yang beragam telah tersaji. Roti panggang hangat, sup kaldu dengan aroma menggoda, daging asap, dan buah-buahan segar tersusun rapi. Pemilik penginapan yang duduk di meja resepsionis tersenyum ramah ketika kami tiba.
“Ini untuk kalian,” katanya. “Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu semalam.”
Aku hanya mengangguk sopan, sementara Eirene memandangi makanan itu dengan tatapan kosong. Tapi, bukan karena ia tidak suka. Matanya justru bergerak ke seluruh ruangan, mengamati keadaan sekitar.
Bangunan itu masih berantakan. Meja-meja di pojok ruangan miring, beberapa kursi patah, dan pecahan kaca terlihat berserakan di sudut. Sebuah sapu dan ember diletakkan di salah satu meja, seolah-olah pemilik penginapan baru saja memulai upaya pembersihan.
“Kenapa di sini berantakan sekali?” Eirene akhirnya bertanya, alisnya terangkat.
Resepsionis yang berdiri di dekat meja kami menjawab dengan nada tenang, “Tadi malam ada seorang lelaki mabuk yang membuat keributan. Untung saja salah satu tamu kami, lelaki itu,” ia menunjuk ke arahku, “berhasil mengusir mereka sebelum semuanya bertambah buruk.”
Eirene menatapku, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Kau?”
Aku hanya mengangkat bahu, tidak berniat menjelaskan terlalu banyak. “Kebetulan saja. Aku tidak bisa tidur, jadi aku turun dan melihat mereka membuat masalah.”
Eirene mendesah pelan. “Kau memang suka membuatku penasaran.”
Ia akhirnya duduk dan mengambil sepotong roti dari piring. Aku menyusulnya, duduk di kursi seberang dan mulai mengisi piringku dengan daging asap dan buah.
“Kau harus makan lebih banyak,” kata Eirene sambil menggeser piring sup ke arahku.
“Aku tahu,” jawabku singkat.
Kami makan dalam diam selama beberapa saat, hanya diiringi suara sendok dan garpu yang bertemu dengan piring. Namun, aku bisa merasakan Eirene masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi semalam.
“Aku harus bertanya,” kata Eirene akhirnya, sambil memotong rotinya. “Lelaki mabuk itu, apa dia yang kemarin mencoba membuat masalah denganku?”
Aku mengangguk, tidak ingin menyembunyikan apa pun. “Dia membawa beberapa orang, mungkin teman-temannya. Mereka mencarimu.”
Eirene berhenti mengunyah sejenak, lalu melanjutkannya dengan ekspresi tenang. “Apa mereka akan kembali?”
“Tidak,” jawabku, yakin. “Aku sudah memastikan mereka tidak akan mencoba apa-apa lagi.”
Ia tidak bertanya lebih lanjut, seolah-olah percaya sepenuhnya pada ucapanku.
“Baiklah,” katanya, suaranya kembali ceria. “Kalau begitu, mari kita habiskan makanan ini. Kita masih punya banyak yang harus dilakukan hari ini.”
Aku mengangguk, membiarkan pembicaraan berakhir di sana. Bagiku, menjaga ketenangan Eirene lebih penting daripada membahas detail yang tidak perlu.
Setelah sarapan, aku dan Eirene sepakat untuk memanfaatkan sisa waktu hari ini untuk mempersiapkan perjalanan menuju Mark Rosenfelder. Aku tidak tahu seberapa jauh tempat itu dari Katherine Rundell, tetapi melihat pengalaman sebelumnya, kami harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di jalan.
"Baiklah, apa yang kita butuhkan?" tanyaku, mencoba memulai pembicaraan saat kami keluar dari penginapan.
Eirene, yang terlihat lebih bersemangat dari biasanya, melirikku sambil tersenyum. "Persediaan makanan, obat-obatan, mungkin senjata cadangan. Oh, jangan lupa pakaian hangat. Kita tidak tahu bagaimana cuaca di sana."
Aku mengangguk setuju. Kami berjalan menuju pusat kota Katherine Rundell, di mana pasar terbesar berada. Suasana kota terasa hidup. Orang-orang berlalu-lalang, para pedagang berteriak menawarkan barang dagangan mereka, dan aroma rempah-rempah bercampur dengan bau roti panggang dari toko roti di dekat sana.
Langkah pertama kami adalah membeli makanan kering dan tahan lama. Kami mampir ke sebuah toko kecil dengan rak-rak kayu yang dipenuhi kantung-kantung gandum, buah-buahan kering, dan daging asap.
"Berapa banyak yang kita butuhkan?" tanyaku.
Eirene berpikir sejenak sebelum menjawab, "Setidaknya cukup untuk satu minggu perjalanan. Kita bisa berburu di jalan, tapi lebih baik berjaga-jaga."
Kami akhirnya membeli beberapa bungkus daging asap, roti kering, keju, dan buah-buahan kering. Aku juga memilih beberapa kantung kecil kacang untuk menambah energi selama perjalanan.
Berikutnya, kami mencari toko herbal untuk membeli obat-obatan dan perlengkapan medis. Pemilik toko, seorang wanita tua dengan rambut putih yang diikat rapi, dengan sabar menjelaskan fungsi setiap ramuan dan salep yang dipajang.
"Kami butuh sesuatu untuk menyembuhkan luka dan memulihkan stamina," kata Eirene.
Wanita itu mengangguk dan memberikan kami beberapa botol kecil berisi cairan hijau tua. "Ini ramuan penyembuh. Hanya satu tetes cukup untuk luka kecil. Tapi untuk luka besar, gunakan salep ini." Ia menyerahkan sebuah wadah kecil yang terbuat dari logam.
Kami juga membeli beberapa perban, jarum, dan benang untuk menjahit luka, jika diperlukan.
Kami kemudian menuju ke toko pandai besi. Meski aku yakin dengan kekuatan dari sistem, dan kemampuan Eirene dalam sihir, aku sadar bahwa memiliki senjata cadangan tidak ada salahnya.
Pandai besi itu, seorang lelaki besar dengan lengan berotot dan wajah penuh jelaga, menunjukkan berbagai senjata. Aku memilih sebuah belati kecil yang ringan namun tajam, sedangkan Eirene lebih tertarik pada busur lipat kecil dengan beberapa anak panah.
"Busur ini lebih cocok untuk jarak menengah," jelas pandai besi itu. "Mudah dibawa dan cukup kuat untuk membidik musuh kecil."
Selesai membeli senjata cadangan, kami menyadari bahwa cuaca di Katherine Rundell cukup hangat, tapi perjalanan menuju Mark Rosenfelder bisa saja membawa kami ke tempat yang lebih dingin. Oleh karena itu, kami memutuskan mampir ke sebuah toko pakaian untuk membeli mantel dan selimut tebal.
"Ini terlalu besar untukmu," kataku, mengomentari mantel yang dicoba Eirene.
Ia mendengus pelan. "Lebih baik besar daripada kekecilan."
Setelah mencoba beberapa mantel, kami akhirnya menemukan yang cocok. Aku juga memilih satu set pakaian baru karena jubahku sudah mulai usang.
Selain itu, kami membeli sebuah peta kasar yang menunjukkan jalan menuju Mark Rosenfelder. Penjual peta, seorang lelaki tua dengan janggut panjang, memperingatkan kami tentang kemungkinan adanya monster di perjalanan.
"Jangan melewati lembah utara," katanya serius. "Itu adalah wilayah para bandit. Jika kalian ingin selamat, ikuti rute timur meskipun lebih jauh."
Kami hanya mengangguk, lalu pergi setelahnya.
Saat matahari mulai condong ke barat, kami akhirnya selesai berbelanja. Kami membawa semua barang ke penginapan dan menyusunnya rapi di kamar.
"Semua sudah siap," kata Eirene, terduduk di lantai sambil memeriksa kembali kantung-kantung yang kami beli.
Aku mengangguk, merasa puas dengan persiapan kami. "Besok, kita berangkat pagi-pagi sekali."
Eirene tersenyum lebar. "Mark Rosenfelder, kami datang."
Aku hanya tersenyum tipis, tapi di dalam hati aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Apa pun yang menunggu kami di depan, aku hanya berharap bisa melindungi Eirene dan menyelesaikan tujuan kami.
untuk sistemnya sebenarnya gaada yang spesial, tapi gua suka liat cara MC manfaatin skill yang ada dari sistem itu, dia kaya berusaha nyoba semua skillnya pas bertarung, ga kaya kebanyakan di cerita lain yang skillnya itu cuma jadi pajangan alias ga dipake samsek dengan alasan ini itu.
di bagian pacing, ceritanya emang berjalan agak lambat, tapi gua masih bisa nikmatin karena itu jadi nilai plus sesuai apa yang gua sebut di awal tapi, yaitu realistis.