Kanara Rusadi, wanita beranak satu yang menikah dengan laki-laki keji karena dijual oleh ibu tirinya. Kanara kabur dari rumah akibat mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia bersama putranya harus hidup serba berkekurangan.
Demi sang putra dan berbekal ijasah SMA, Kanara bertekad masuk di sebuah perusahaan besar milik laki-laki yang pernah dia tabrak mobil super duper mahalnya.
Pertemuan awal mereka meninggalkan kekesalan Brandon. Namun seiring berjalannya waktu, Brandon mengetahui bahwa Kanara sedang bersembunyi dari suaminya dan saat ini berada di dalam bahaya yang mengancam nyawanya.
Brandon yang diam-diam mulai ada rasa pada Kanara, berusaha menyelamatkan wanita itu dari ancaman sang suami yang berkuasa di dunia gelap. Tanpa ia sadari Kanara adalah wanita yang pernah pernah terjerat dengannya sepuluh tahun lalu dan bocah bernama Bian itu adalah putra kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Kau urus kantor hari ini. Gantikan aku meeting dengan beberapa klien dan laporkan padaku hasilnya. Apa? Aku ada urusan keluarga. Bukan, bukan adikku. Jangan bertanya lagi. Ingat, jangan lupa lapor padaku kalau ada hal penting."
Setelah berbicara dengan Noah di telpon, Brandon langsung memutuskan sambungan. Ketika pria itu berbalik, Kanara sudah berdiri di depannya. Brandon seketika mengingat ciuman diam-diam yang dia lakukan semalam, namun hanya dalam beberapa detik pria itu berhasil bersikap seperti biasa lagi.
"Good morning." katanya sembari tersenyum. Kanara baru habis dari kamar mandi membasuh mukanya.
"Kau tidak ke kantor?" Kanara bertanya. Wanita itu sendiri sedang berjuang dengan detak jantungnya yang selalu berdebar saat menatap pria itu. Apalagi semalam laki-laki ini mencuri ciumannya diam-diam. Kanara sudah terbangun ketika Brandon menciumnya tanpa ijin, tetapi dia tidak berani membuka matanya dan hanya berpura-pura masih ketiduran.
"Tidak hari ini. Aku masih ingin di sini." sahut Brandon.
Perkataannya membuat Kanara kembali merasa tidak enak.
"Dokter bilang keadaan Bian sudah stabil, dia sudah bisa pulang besok. Kau tidak perlu menemani kami la ..."
"Good morning bocil, kamu sudah bangun rupanya." Brandon memotong perkataan Kanara dan melewati wanita itu mendekati kasur.
Bian sudah bangun.
Kanara ikut menoleh ke ranjang, Bian memang sudah terbangun. Bocah itu menggosok-gosok matanya dengan tangan kecilnya, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk dari wajahnya.
"Om Brandon?" ucap Bian dengan suara serak khas anak yang baru bangun tidur. Ia cukup senang melihat pria itu duduk di dekatnya. Semenjak di jemput Brandon kemarin dan di ajak makan bersama, Bian merasa dekat dengan laki-laki itu. Saat makan mereka banyak berinteraksi dan Bian merasa ada teman bermain.
Brandon tertawa kecil. "Akhirnya kamu bangun juga. Sudah siap sarapan?" tanyanya sambil merapikan selimut yang masih melingkari tubuh mungil Bian.
Bian mengangguk dengan semangat. "Tapi Bian mau minum susu," pinta bocah itu polos, lalu menatap ke mamanya. Ia selalu minum susu di pagi hari. Terutama waktu masih tinggal di rumah papanya.
Kanara yang berdiri di belakang Brandon pun membuka suara.
"Kamu minum air hangat dulu sayang, nanti mama buatin kamu susu setelah ini ya." Kanara berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan untuk mengambilkan air hangat buat Bian. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti memutar ulang kata-kata Brandon tadi.
Aku masih ingin di sini.
Mengapa pria itu memilih tetap berada di rumah sakit padahal pekerjaannya pasti menumpuk. Kanara mencoba menepis pikirannya sendiri, tetapi rasanya sulit.
Sementara itu, Brandon tetap berada di sisi Bian. Ia berbicara dengan anak itu, menanyakan hal-hal sederhana seperti apa mimpi Bian semalam, apakah kepalanya yang terluka masih sakit, atau apa yang ingin ia makan hari ini.
Ketika Kanara kembali dengan segelas air hangat, Brandon berdiri untuk memberinya ruang.
"Ini, sayang," ujar Kanara lembut, menyodorkan gelas itu kepada Bian. Anak kecil itu menerimanya dengan senang hati dan mulai minum perlahan.
Brandon menatap adegan itu dalam diam. Rasanya hangat sekali tiap kali melihat Kanara dan Bian bersama. Kehadiran mereka membawa sesuatu yang baru dalam hidupnya, sesuatu yang lebih berarti dari pada apa pun yang pernah ia miliki sebelumnya.
Kanara menoleh ke arahnya dan menyadari tatapan Brandon yang tampak dalam. Keduanya saling menatap dalam diam, lalu berakhir dengan senyuman lembut Brandon dan kedatangan tim dokter.
Brandon, Kanara dan Bian menatap ke arah yang sama. Kanara tidak mengenal dokter yang berjalan paling depan, seolah mendominasi semua orang yang masuk bersamanya. Ia hanya kenal dokter yang mengoperasi Bian, yang berdiri di sebelah kiri dokter tampan yang mendominasi itu.
Wajah dokter itu tenang, tetapi Kanara bisa menangkap tatapan mata dokter tersebut tertuju pada Brandon cukup lama sebelum mulai mendekati ranjang Bian.
Brandon yang menyadari tatapan itu, hanya memberikan anggukan kecil sebagai bentuk sapaan. Namun, ekspresinya tetap netral, seolah tidak ingin menunjukkan apa pun. Kanara mengerutkan kening, mencoba menebak hubungan di antara mereka.
Arka beralih ke Bian, memeriksa tanda-tanda vital anak itu dengan teliti.
"Bagaimana kondisinya tadi malam?" tanyanya dengan suara rendah dan berwibawa, mengarahkan pertanyaan itu kepada Kanara. Ia sudah mendengar tentang kecelakaan anak kecil itu dari dokter yang mengoperasi Bian.
"Stabil, tidak ada keluhan apapun." jawab Kanara.
Dokter itu mengangguk, lalu ia bicara ke dokter di sampingnya.
"Kau melakukan operasinya dengan baik," si dokter yang mendapat pujian itu tampak senang sekali dan membungkuk hormat kepada si dokter tampan. Kemungkinan besar posisinya memang jauh lebih tinggi dari dokter walinya Bian.
"Terimakasih dok, saya akan berusaha lebih keras lagi kedepannya."
Setelah itu tim para dokter tersebut keluar. Dokter yang mendominasi tadi menatap ke Brandon lagi, lalu berpindah ke Kanara dan Bian sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu.
Mata Kanara masih tertuju ke pintu kamar. Sekilas ia melihat ada seseorang yang berdiri di luar sana mengenakan masker hitam. Matanya menatap terus ke dalam kamar. Tapi orang itu langsung pergi begitu menyadari Kanara melihatnya.
"Ada apa?" Brandon mengikuti arah pandang Kanara namun tidak melihat siapa-siapa.
"Ng, tidak ada." sahut Kanara menggelengkan kepala. Mungkin hanya perasaannya juga.
Brandon ingin bicara lagi tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi, dari adiknya.
"Aku angkat telpon sebentar." ucap pria itu. Kanara menganggukkan kepala. Ia bergantian duduk dengan Brandon di kursi sisi ranjang Bian.
Kanara tersenyum ke putra semata wayangnya itu dan mengusap-usap lembut tangannya.
"Mama, Bian suka banget sama om Brandon, om Brandon baik banget ternyata. Nggak kayak papa. Bian di janjiin mau di beliin banyak mainan sama om Brandon, katanya kalau Bian udah sembuh, om Brandon bakalan bawa Bian ke mall, biar Bian yang pilih sendiri mainannya. Papa nggak pernah ajakin Bian main dan beli mainan berdua." ucap Bian panjang lebar.
Kanara hanya tersenyum, namun hatinya tidak pernah berhenti berpikir. Damian adalah sosok yang kejam dan tak tersentuh. Lelaki itu juga tahu Bian bukan putra kandungnya. Masih membiarkan putranya hidup saja Kanara sudah bersyukur.
Dalam hati Kanara sedih. Dia sedih karena belum dapat memberitahu Bian yang sebenarnya tentang ayah kandungnya. Anak itu merasa senang dan cocok dengan Brandon itu sangat sangatlah wajar. Tapi,
"Nara," Brandon kembali dan memanggil namanya. Mama dan anak itu sama-sama menatapnya.
"Aku harus keluar sebentar, ada urusan mendadak. Tidak apa-apa aku tinggal sebentar kan?" kata Brandon.
Kanara langsung mengangguk mengiyakan. Pandangan Brandon berpindah ke Bian.
"Om pergi dulu ya sayang, nanti om balik lagi." gumamnya mengecupi pipi Bian.
"Om gak lupa mau bawa Bian main ke mall kan?"
Brandon tertawa.
"Iya sayang, tenang saja. Makanya kamu harus cepat sembuh ya." Bian pun mengangguk kuat. Brandon menatap Kanara lagi.
"Aku pergi dulu. Hubungi aku kalau ada apa-apa. Semalam aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu." Kanara tampak kaget, namun tetap menganggukkan kepala.
Ia menatap kepergian Brandon sampai pria itu menghilang dari pandangan mata mereka.