Salwa Nanda Haris, anak sulung dari pasangan Haris dan Raisya. Salwa menolak perjodohannya dengan Tristan, pria yang berstatus duda anak satu.
Awalnya Salwa sangat menolak lamaran tersebut. Ia beralasan tak ingin dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya. Padahal saat itu ia belum sama sekali tahu yang namanya Tristan.
Namun pernikahan mereka terpaksa dilakukan secara mendadak lantaran permintaan terakhir dari Papa Tristan yang merupakan sahabat karib dari Haris.
Sebagai seorang anak yang baik, akhirnya Salwa menyetujui pernikahan tersebut.
Hal itu tidak pernah terpikir dalam benak Salwa. Namun ia tidak menyangka, pernikahannya dengan Tristan tidak seburuk yang dia bayangkan. Akhirnya keduanya hidup bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda-tanda
Keesokan harinya.
Pagi-pagi setelah shalat Shubuh Salwa makan roti bakar.
"Sayang, sepagi ini kamu sudah makan roti?"
"Iya, tadi lihat sekali kacang sepertinya sangat menggoda selera, jadi aku bikin saja roti bakar selai kacang, Mas. Kamu mau, Mas?"
"Tidak, tidak! Ini terlalu pagi, aku bisa sakit perut."
Tristan pergi ke ruang Olahraga, ia nge-gym di sana. Salwa pun hendak membuatkan minuman coklat untuk suaminya. Namun saat menambahkan susu coklat, ia malah mual mencium baunya.
"Huek...huek..."
Salwa lari ke kamar mandi dekat dapur. Ia memijat sendiri tengkuknya, namun ternyata tidak ada yang dimuntahkan. Saat akan melanjutkan pekerjaannya lagi, Salwa justru ingin muntah lagi mencium aroma minuman tersebut. Bi Eni baru muncul di dapur, ia melihat Salwa yang sepertinya tidak sedang baik-baik saja.
"Nyonya muda, apa anda baik-baik saja?"
"Bi Eni, tolong lanjutkan bikin minuman untuk Mas Tristan. Sekalian tolong anterin ke ruang Olahraga ya?"
"Baik, Nyonya muda."
Salwa pergi ke kamarnya. Ia mengoleskan minyak angin di bagian leher dan tengkuknya juga hidungnya.
"Tidak biasanya aku begini?" Lirih Salwa
Pay*dara Salwa rasanya mengembang dan ujungnya nyut-nyutan.
"Apa aku mau datang bulan ya? Eh tunggu sebentar, sekarang tanggal berapa?" Monolog Salwa. Ia pin melihat tanggal dari Handphone-nya.
"Hah, lewat dua hari!"
Salwa pun menghubungi Bundanya. Ia menceritakan apa yang terjadi kepada dirinya. Bunda Raisya mendengarkan dengan baik curhatan putrinya.
"Sepertinya itu ciri-ciri hamidun, Wa."
"Ha-hamil maksud Bunda?"
"Iya, Wa. Coba nanti kamu beli testpack!"
"Iya, Bunda. Tapi aku takut, Bun!"
"Takut kenapa? Hamil dan melahirkan itu kodrat kita sebagai seorang wanita, bersyukurlah jika kamu diberikan amanah begitu cepat oleh Alkah. Tidak seperti Bunda dulu, harus menunggu lebih dari satu tahun untuk punya kamu dan Salman."
"Bukan itu yang aku takutkan, Bun! Tapi aku takut tidak bisa maksimal merawat Ira. Aku takut nantinya anak itu akan merasa tersaingi."
"Jangan mikir terlalu jauh, belum juga ketahuan hamil nggak-nya! Semua akan baik-baik saja. Ira anak yang baik dan mudah mengerti. Sangat mudah untuk memberi pengertian kepadanya."
"Hem, do'akan aku ya, Bun?"
"Iya, Bunda do'akan kamu positif hamil dan mendapatkan anak kembar. Ya sudah Bunda mau nyiapin sarapan dulu, nanti kabari lagi!"
"Iya Bun, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Saat ini Bi Eni sedang mengantarkan minuman ke ruang Olahraga.
"Mana istriku, Bi'? Kenapa Bibi yang antarkan?"
"Nyonya muda minta tolong tadi, Den. Sepertinya Nyonya muda tidak enak badan."
"Masa sih? Tadi baik-baik saja kok. Ya sudah, makasih, Bi'!"
"Iya sama-sama, Den."
Tristan pun meminumnya dan melanjutkan Olahraganya. Jam 7 pagi, ia selesai melakukan Olahraga dan kembali ke kamarnya. Hari minggu biasanya mereka akan sarapan lebih siang. Sampai di dalam kamar, ternyata Salwa baru selesai shalat Dhuha.
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?"
"Iya, Mas."
"Em masa' sih? Tapi kok bau minyak angin, apa kamu masuk angin?"
"Mu-mungkin iya."
Tristan meraba kening Salwa.
"Nggak panas kok, ini pasti gara-gara keluar tadi malam."
"Ya sudah, Mas! Ini cuma masuk angin biasa kok, nanti juga sembuh."
"Jadi mau sarapan di kamar atau bagaimana?"
"Eh jangan! Aku akan sarapan bareng yang lain di bawah, Mas."
"Ya sudah, aku mandi dulu!"
Sambil menunggu Tristan mandi, Salwa mengenakan jilbab dan cadarnya lagi. Namun saat Tristan keluar dari kamar mandi dan mendekati istrinya, tiba-tiba Salwa mau kembali.
"Huek... huek..." Salwa segera lari ke kamar mandi.
Mendapati istrinya yang sedang mual, Tristan justru mengikuti ke kamar mandi. Namun mau Salwa semakin menjadi.
"Stop Mas, jangan dekat-dekat!"
"Lho, kenapa? Aku ingin memijit tengkukmu!"
"Tidak-tidak, justru aku nggak kuat mencium baumu!"
Sontak Tristan mencium tubuhnya.
"Perasaan harum, kan baru selesai mandi!"
"Kamu pakai aroma terapi yang varian apa sih, Mas?"
"Varian kopi, baru kemarin beli."
"Huek... Huek... cepetan air dibak mandinya dibuang, Mas! Baunya aku nggak suka."
"Tapi ini wangi lho!" Ucap Tristan sambil membuka penutup saluran air bak mandi.
Salwa keluar dari kamar mandi. Ia sedikit lemas karena sudah memuntahkan sedikit isi perutnya.
"Sayang, kamu masih bisa sarapan ke bawah nggak?"
"Iya bisa, Mas. Nanti tolong jangan bilang kalau aku mual-mual, Mas. Aku tidak mau mereka khawatir."
"Iya, iya."
Mereka pun turun untuk sarapan pagi bersama. Untungngya tidak ada insiden mual-mual lagi saat Salwa makan. Justru kali ini Salwa makan lebih banyak dari biasanya.
"Bunda, Ira boleh makan pakai sambal?"
"Jangan dulu, Sayang! Nggak baik untuk perutmu."
"Hem.. baiklah! Padahal Ira ngiler lihat Bunda makan pedas-pedas kayaknya enak banget, hehe..."
"Salwa ayo tambah lagi, Abi senang lihat kamu makan banyak kayak gini."
"Abi, Salwa kan jadi malu." Ujar Salwa.
"Masa malu bilang-bilang, Sayang."
"Haha..." Mereka tertawa bersama.
Selesai sarapan, Salwa mengajak Tristan keluar. Mereka juga mengajak Khumairah. Kali ini Salwa ingin mengajak Khumairah membeli baju busana muslim anak. Karena rencananya Salwa akan menitipkan Khumairah di TPQ dekat rumah Tristan. Agar Khumairah lebih rajin lagi belajar mengaji.
"Mas, kita ke butik ya?"
"Butik yang di mana, Sayang?"
"Yang di Mall saja, sekalian kita ajak Ira main."
"Siap Nyonya Bos." Ujar Tristan menirukan gaya Iyan.
"Abi kayak Mom Iyan, hehe..."
Mereka pun melakukan perjalanan ke Mall. Sampai di sana, mereka langsung menuju butik milik Salwa. Namun Tristan pamit untuk membeli minuman untuk mereka.
"Eh ada Mbak Salwa." Ujar Dira pegawai lama yang sudah kenal dengan Salwa meski mereka jarang sekali bertemu.
"Iya, Mbak Dira. Bagaimana kabarnya?"
"Baik, Mbak. Saya ke sini cuma mau beli busana muslim ukuran untuk anakku ini."
"Hah, Mbak Salwa sudah menikah?"
"Iya, Mbak! Tolong carikan ukuran yang pas untuk anakku. Brand E atau T juga boleh. Sama yang brand D juga."
"Baik, Mbak."
Dira memperhatikan Khumairah.
"Jangan diliatin gitu, Mbak Dira! Dia itu anak sambung." Bisik Salwa.
Dira pun mengangguk paham. Ia segera meminta Mita untuk mencari beberapa gamis yang cocok untuk Khumairah. Setelah mencoba beberapa baju, Tristan datang.
"Selamat datang, Tuan! Mari silahkan masuk, cari baju apa?" Ujar Dira.
Tristan masuk dan membuka kacamata.
"Mencari istriku."
Sontak Dira terkejut, dia tidak tahu kalau laki-laki tersebut adalah suami Salwa.
"Sayang, ini minum dulu!" Tristan menyodorkan minuman chesee milk.
"Terima kasih, Mas."
"Ira nggak dibeliin, Bi?"
"Ini untuk Ira."
"Terima kasih, Bi.
"Iya sama-sama, gimana udah ada yang cocok bajunya?"
"Ini sudah dapat dua."
Dira dan Mita memperhatikan mereka. Akhirnya ada enam baju yang pas dan cocok untuk Khumairah.
"Mbak Dira ditotal ya?"
"Lho, nggak usah, Mbak! Ini kan, milik Mbak Salwa."
"Nggak pa-pa, biar ketemu pemasukannya." Ujar Tristan sambil mengeluarkan kartu debit.
"Sudah, Mbak Dira. Lakukan perintah suamiku. Dia juga Bos-mu, hehe..."
"Baik, Mbak."
Setelah ditotal dan dibayar, mereka pun keluar dari butik dan menuju tempat bermain.
Bersambung....
...----------------...
Next ya kak...
Bahasanya Sangat Sempura..
Ceritanya Suka Bgt...👍🏻😍😘
Bagus Baca Ceritanya Si Salwa...😘🤗