"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Mangkal di Gang Tlembuk
Kita beralih ke para tokoh tlembuk..
Di sebuah gang kecil dekat kosan, Lily, Dinda, Tika, dan gerombolan tlembuk lainnya sedang asyik mejeng. Mereka mengenakan sepatu hak tinggi yang menggoda, rok mini yang memamerkan kaki indah mereka, dan kaos ketat yang menonjolkan lekuk tubuh. Rambut panjang mereka terurai indah, melambai-lambai di angin sore yang segar. Suasana gang yang biasanya sepi kini dipenuhi dengan aura menggoda dari para tlembuk.
“Eh, lihat deh! Ada cowok cakep lewat!” seru Tika, menunjuk ke arah seorang pemuda bernama Afik yang melintas. Semua mata para tlembuk langsung tertuju padanya.
“Mana?” tanya Lily sambil bersandar ke dinding, menyesuaikan posisinya agar lebih terlihat.
“Di depan itu, yang pakai kaos hitam,” jawab Dinda sambil menggigit bibir, mencoba menahan tawa.
“Wah, dia kayaknya menarik banget!” Tika mengagumi. “Ayo, kita ajak ngobrol.”
“Ya, ayo! Jangan cuma diam saja,” Dinda menggoda sambil melirik Lily. “Kamu yang mulai ya, Lily!”
Lily tersenyum genit, lalu mengangkat tangannya untuk menyapa Afik. “Eh, Mas! Kamu kemana? Mau ikut kita main?”
Afik berhenti sejenak, tampak bingung antara melanjutkan langkah atau mendekat. Dengan keberanian, ia menghampiri mereka. “Eh, halo! Lagi ngapain di sini?”
“Lagi nunggu teman, mau jalan-jalan. Kenalan yuk, aku Lily,” jawab Lily sambil tersenyum manis.
“Dinda,” sahut Dinda sambil menyodorkan tangan. “Kamu sendiri siapa?”
“Aku Afik,” jawabnya sambil mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Eh, kalian berempat ini... Tlembuk semua ya?”
“Yoi, kami siap melayani, Mas Afik!” Tika menimpali sambil tertawa. “Kalau kamu mau, kita bisa main bareng.”
“Main apa nih?” tanya Afik, penasaran.
“Main dikamar lah, tentunya!” Lily menyarankan dengan nada menggoda. “Kalau kamu mau, kita bisa cari hotel yang nyaman.”
“Wah, kedengarannya seru!” Afik menjawab, senyumnya semakin lebar. “Tapi, berapa tarifnya?”
Lily melirik Dinda dan Tika sambil tertawa. “Untuk satu malam, biasanya kita patok harganya 700 ribu, Mas!”
Afik terlihat tertarik, “Kalau gitu, siapa yang bisa aku ajak?”
Lily menyeringai, “Kalau mau, aku siap menemanimu!”
“Serius? Oke, Lily! Kita bisa langsung ke hotel,” Afik menjawab penuh semangat.
“Yuk, kita cari hotel yang dekat sini saja. Nanti kita bisa lebih nyaman,” ajak Lily sambil menggenggam tangan Afik.
Dengan langkah percaya diri, mereka berdua beranjak menuju hotel terdekat. Di sepanjang jalan, Lily tak henti-hentinya menggoda Afik, membuatnya semakin bersemangat untuk menikmati malam yang penuh kejutan.
Setelah berjalan beberapa langkah, Lily dan Afik sampai di sebuah hotel kecil yang terletak di ujung gang. Hotel ini tampak biasa saja, tetapi suasana intimnya menjanjikan kenyamanan untuk mereka.
“Masuk saja, jangan ragu,” kata Lily sambil melirik Afik dengan tatapan menggoda. “Kita bisa menikmati waktu kita dengan tenang di dalam.”
Afik mengangguk, tak sabar untuk melanjutkan malam ini. Mereka memasuki hotel, dan Lily segera menghampiri meja resepsionis untuk memesan kamar. Sementara itu, Afik tak bisa menahan senyumnya saat melihat Lily yang percaya diri.
“Paket VIP untuk kami berdua, ya,” kata Lily kepada resepsionis dengan nada genit.
Setelah membayar, mereka mendapat kunci kamar dan segera menuju lift. Di dalam lift, suasana menjadi semakin tegang. Lily berdiri di dekat Afik, dan mereka saling bertatapan. Lily merasakan getaran yang menyenangkan saat matanya bertemu dengan mata Afik.
Sesampainya di kamar, Lily membuka pintu dan membiarkan Afik masuk lebih dulu. “Selamat datang di tempat kita berpetualang!” ujarnya sambil mengunci pintu.
Afik berbalik dan melihat ke arah Lily yang tersenyum manis. “Wow, tempatnya cukup nyaman, ya,” katanya sambil menatap sekeliling.
“Yang penting, kita bisa menikmati waktu bersama,” balas Lily sambil melangkah mendekati Afik. “Apa kamu sudah siap untuk bersenang-senang?”
“Siap banget!” jawab Afik, suaranya penuh semangat.
Lily melangkah mendekat, mengangkat wajahnya dan bersandar pada dada Afik. “Kamu tahu, aku sudah lama menunggu momen ini. Kamu tipe cowok yang ku suka,” katanya sambil tersenyum genit.
Afik tersenyum lebar. “Gitu ya? Aku juga suka kamu, Lily. Kamu cantik dan menggoda.”
“Terima kasih, Mas. Kamu juga nggak kalah menarik,” jawab Lily sambil merangkul lengan Afik. “Sekarang, mari kita mulai dengan hal yang seru!”
Lily mendekat dan mengulurkan tangannya ke wajah Afik, lalu menyentuh bibirnya dengan lembut. Rasa hangat mulai mengalir di antara mereka. Mereka berdua semakin dekat, dan Lily tak ragu untuk menciumnya.
“Hmm, enak!” ujar Afik setelah mereka berpisah. “Kamu tahu, aku suka gaya kamu.”
“Ya, itu karena aku tahu cara membuat suasana semakin panas,” balas Lily sambil melirik nakal. “Ayo, kita buat malam ini tak terlupakan.”
Setelah beberapa ciuman mesra, Lily menarik Afik ke tempat tidur. “Sekarang waktunya bersantai. Dan ingat, kita bisa melakukan banyak hal seru di sini.”
Afik mengangguk, matanya bersinar penuh semangat. “Aku siap, Lily. Mari kita nikmati malam ini.”
Mereka berdua terlarut dalam momen, tawa dan canda menggema di dalam kamar hotel kecil itu. Lily tahu malam ini akan menjadi pengalaman yang tak akan pernah terlupakan, baik untuk dirinya maupun untuk Afik.
Mereka berbagi cerita, tertawa, dan merasakan chemistry yang tak tertandingi. Seiring waktu berlalu, suasana semakin hangat, dan keduanya semakin tenggelam dalam keasyikan satu sama lain.
Sementara itu, di luar hotel, Dinda dan Tika masih menunggu di gang. Mereka merindukan momen seru yang bisa terjadi di malam hari, dan berharap Lily akan menceritakan segalanya setelah pertemuan ini.
“Semoga Lily baik-baik saja,” kata Dinda sambil mengedarkan pandangannya ke arah hotel. “Aku yakin dia pasti menikmati malam ini.”
“Ya, aku juga. Kita harus terus dukung satu sama lain,” jawab Tika. “Nanti kita juga harus mencari kesempatan yang sama.”
Di dalam kamar, Lily dan Afik semakin menikmati momen mereka. Suasana malam semakin menghangat, dan keduanya saling menikmati satu sama lain tanpa batas. Lily merasa bahagia bisa berbagi malam ini dengan Afik, sementara Afik merasa beruntung bisa mendapatkan perhatian dari gadis cantik seperti Lily.
Saat mereka terjebak dalam keasyikan, mereka tidak menyadari bahwa malam ini akan menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan dalam hidup mereka.
Suasana di dalam kamar semakin hangat. Lily dan Afik duduk berhadapan di atas ranjang, mata mereka saling bertatapan, menciptakan aura intim yang semakin menegangkan. Lily tersenyum nakal, menggoda Afik dengan tatapan yang penuh arti.
“Jadi, mau mulai dari mana?” tanya Lily, suaranya rendah dan menggoda. “Aku bisa tunjukkan banyak hal yang seru.”
Afik, yang kini duduk lebih dekat, merasakan denyut jantungnya semakin cepat. “Aku penasaran dengan apa yang kamu tawarkan, Lily. Pastinya seru,” jawabnya sambil mendekatkan wajahnya.
Lily, dengan kepercayaan diri yang tinggi, meremas lembut dada Afik sambil menggenggam tangannya. “Kalau kamu mau, kita bisa main tebak-tebakan. Tapi, jika kamu kalah, kamu harus memenuhi permintaanku,” ucapnya dengan senyuman manis.
“Tebak-tebakan? Seru juga! Oke, aku setuju. Tapi, kamu juga harus siap menerima tantangan,” balas Afik, merasa semangat.
“Baiklah, jadi aku mulai dulu. Apa yang selalu kamu inginkan saat melihat gadis cantik?” tanya Lily, sambil menggoda dengan gerakan tubuhnya yang menggairahkan.
Afik berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Mungkin... mengajaknya kencan di hotel?”
“Hmm, jawaban yang bagus! Tapi, sayangnya, itu bukan yang aku cari,” jawab Lily sambil tertawa. “Sekarang, giliranku. Apa yang paling kamu suka tentangku?”
Afik tak ragu menjawab, “Semuanya! Tapi, kalau harus pilih satu, aku suka senyummu yang bikin hati aku berdebar.”
“Manis sekali!” puji Lily, merasakan rasa hangat di dalam hatinya. “Oke, aku terima jawaban itu. Sekarang, aku tanya lagi. Kalau aku bilang kamu harus memberikan 700 ribu, apa yang akan kamu lakukan?”
Afik terkejut. “700 ribu? Itu banyak, lho! Kenapa harganya segitu?”
“Ya, itu adalah tarif untuk malam ini, termasuk semua kesenangan yang bisa kamu dapatkan,” kata Lily sambil tersenyum genit. “Tapi, jangan khawatir. Semua itu akan terbayar dengan pengalaman yang tak terlupakan.”
“Kalau begitu, aku setuju,” kata Afik sambil tertawa, merasa terpesona oleh keberanian Lily. “Asal kamu janji akan membuatku senang.”
“Pasti! Ayo kita nikmati malam ini sepenuhnya,” jawab Lily sambil menggenggam tangan Afik dan menariknya lebih dekat.
Lily pun semakin meremas dada Afik dengan lembut, merasakan getaran semangat di antara mereka. Suasana semakin menghangat, dan keduanya melanjutkan permainan tebak-tebakan yang semakin menggairahkan, sambil sesekali saling bertukar ciuman.
Semakin lama, kedekatan mereka semakin intim, dan tawa serta canda tak henti-hentinya menghiasi suasana malam itu.
Di luar, Dinda dan Tika masih menunggu, berusaha menghibur diri dengan bercerita tentang pengalaman mereka sendiri. “Kamu yakin Lily baik-baik saja?” tanya Dinda khawatir.
“Dia pasti baik-baik saja. Kita tahu dia kuat dan bisa menjaga dirinya,” jawab Tika. “Tapi, kita juga harus bersiap-siap jika ada peluang untuk malam ini.”
Di dalam kamar, Lily dan Afik semakin tenggelam dalam keasyikan mereka. Lily merasakan sensasi yang tak tertandingi setiap kali berada di dekat Afik. “Kamu tahu, ini adalah malam yang sangat spesial,” kata Lily, menatap mata Afik.
“Ya, aku merasa begitu juga. Aku sangat menikmati waktu bersamamu,” balas Afik, semakin yakin dengan perasaannya.
Malam itu semakin larut, dan keduanya semakin saling terbawa suasana. Mereka berdua menyadari bahwa meski hanya untuk malam ini, momen ini sangat berharga bagi mereka. Dalam suasana yang intim dan penuh gairah, keduanya merasakan chemistry yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Aku harap kita bisa mengulang momen ini lagi,” kata Afik, tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
“Siapa tahu, mungkin kita bisa melakukan kencan selanjutnya dengan lebih banyak kesenangan,” jawab Lily dengan senyuman menggoda, membuat Afik semakin bersemangat.
Mereka pun melanjutkan malam itu dengan penuh gairah, menciptakan kenangan yang tak akan terlupakan. Waktu berlalu dengan cepat, dan keduanya berjanji untuk menikmati setiap detik yang ada.
Di luar hotel, Dinda dan Tika menunggu dengan penuh harapan, berharap Lily akan kembali dengan cerita seru dari malam ini. Sementara itu, Lily dan Afik terus menikmati waktu mereka, merayakan setiap momen yang indah bersama.
Setelah beberapa saat bersenang-senang, suasana di dalam kamar semakin hangat. Lily dan Afik semakin dekat, merasakan getaran di antara mereka. Di luar, Dinda dan Tika, yang juga sama-sama tlembuk cantik, masih menunggu di luar sambil mengobrol dan saling menggoda.
“Ayo, Dinda, kita tunggu Lily,” ujar Tika sambil melirik ke arah pintu kamar. “Dia pasti akan kembali dengan cerita seru!”
“Ya, semoga saja dia tidak terlalu lama,” jawab Dinda dengan senyum nakal. “Siapa tahu dia menemukan kesenangan di sana.”
Di dalam kamar, saat Lily dan Afik semakin larut dalam kebersamaan mereka, Afik tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Jadi, Lily, selain bermain tebak-tebakan, ada lagi tidak yang bisa kita lakukan di sini?” tanyanya, sambil tersenyum lebar.
Lily, dengan senyum menggoda, berkata, “Hmm, ada banyak hal yang bisa kita lakukan, tapi itu tergantung kamu mau yang mana.”
“Ya, aku mau semuanya! Ayo kita nikmati malam ini,” balas Afik dengan semangat.
Dengan perlahan, Lily mendekatkan wajahnya ke wajah Afik, mereka saling bertatapan. “Oke, kita mulai dengan hal yang paling dasar, yaitu menikmati waktu kita bersama,” katanya sambil tersenyum.
Afik merangkul Lily dan mereka mulai saling bertukar ciuman. Suasana di dalam kamar semakin menggairahkan, dan keduanya semakin terhanyut dalam momen indah itu. Setiap ciuman membawa mereka ke dalam dunia yang berbeda, penuh dengan kehangatan dan gairah.
Sementara itu, di luar, Dinda dan Tika melanjutkan obrolan mereka. “Kamu yakin Lily baik-baik saja?” tanya Dinda, sedikit khawatir.
“Dia pasti baik-baik saja. Kita tahu dia hebat dalam menjaga dirinya,” jawab Tika, mencoba menenangkan Dinda. “Tapi kita juga harus bersiap-siap jika ada peluang untuk malam ini.”
Tiba-tiba, suara tawa dari dalam kamar membuat Dinda dan Tika melirik satu sama lain. “Sepertinya mereka sedang bersenang-senang di dalam,” Dinda berkomentar sambil tersenyum.
“Bisa jadi! Ayo kita menunggu dan lihat apa yang terjadi,” Tika menjawab, merasa bersemangat.
Kembali ke dalam kamar, Lily dan Afik terus menikmati keintiman mereka. “Kamu tahu, aku merasa nyaman bersamamu,” kata Lily sambil menggigit bibirnya, memperlihatkan sisi manisnya.
“Dan aku merasa beruntung bisa berada di sini bersamamu,” balas Afik dengan tulus. “Malam ini adalah malam yang tidak akan pernah kulupakan.”
Setelah beberapa waktu bercanda dan berciuman, Lily tiba-tiba teringat dengan tarif yang sudah mereka sepakati. “Oh iya, Afik, kita harus membahas tarif yang kita bicarakan tadi,” katanya dengan nada menggoda.
“Benar, kan. Berapa harga yang kamu sebutkan?” tanya Afik, terlihat penasaran.
Lily menjawab sambil tersenyum, “700 ribu, dan itu sudah termasuk semua kesenangan yang akan kita lakukan malam ini.”
Afik mengangguk, berpikir sejenak. “Oke, aku setuju. Tapi kamu harus janji akan membuatku senang, ya,” ujarnya sambil tertawa.
“Pasti! Mari kita nikmati setiap momen ini,” jawab Lily, merasa semakin percaya diri.
Malam itu semakin larut, dan keduanya merasakan chemistry yang kuat. Mereka melanjutkan permainan dan canda tawa, menciptakan kenangan yang tak terlupakan. Dengan setiap ciuman dan pelukan, mereka semakin tenggelam dalam kesenangan yang mereka ciptakan bersama.
Di luar, Dinda dan Tika masih menunggu dengan harapan, mengantisipasi saat ketika Lily akan kembali. Mereka berbagi cerita dan tawa, menunggu momen ketika sahabat mereka kembali dengan pengalaman baru.
Sementara itu, di dalam kamar, Afik dan Lily melanjutkan petualangan mereka. Saat Lily menyandarkan kepala di bahu Afik, dia merasakan kehangatan yang tak tergantikan. Mereka tahu bahwa malam ini akan menjadi salah satu malam yang paling berkesan dalam hidup mereka.
Ketika saatnya tiba, mereka berdua berkomitmen untuk menikmati setiap detik yang ada, menciptakan cerita yang akan dikenang selamanya.
Setelah menghabiskan waktu bersama, Afik merasa sangat puas dengan malam yang dihabiskannya bersama Lily. Keintiman yang mereka bagikan memberi kesan mendalam, membuatnya merindukan momen seperti itu lagi. Dengan senyuman di wajahnya, Afik mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang yang telah disepakati.
“Ini untuk kamu,” katanya sambil menyerahkan uang sebesar 700 ribu kepada Lily.
Lily menerima uang itu dengan senyum manis. “Terima kasih, Afik. Aku senang kamu menikmati malam ini,” balasnya, matanya berkilau dengan rasa senang.
Afik memandang Lily dengan penuh kekaguman. “Tidak hanya menikmati, aku benar-benar merasa puas. Kamu luar biasa malam ini,” ujarnya sambil mengagumi kecantikan dan pesona Lily.
Lily tertawa lembut, merasa bangga mendengar pujian itu. “Senang mendengarnya. Aku juga merasa terhubung denganmu malam ini,” jawabnya, menciptakan suasana yang semakin intim di antara mereka.
Setelah menghabiskan waktu berkualitas bersama, Lily dan Afik berbagi beberapa ciuman lembut sebelum akhirnya beranjak untuk bersiap-siap berpisah. Mereka berdua merasakan ketegangan dan harapan untuk bertemu lagi di masa depan.
“Jangan lupa, ya, kita harus ketemu lagi,” kata Afik, menatap Lily dengan penuh harapan.
“Tentu saja. Aku akan menunggu kabar darimu,” jawab Lily, senyumnya tidak pudar.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Afik pergi dengan perasaan bahagia, merasa beruntung bisa menghabiskan malam yang menyenangkan dengan Lily. Sementara itu, Lily juga merasakan kepuasan yang mendalam, mengingat momen-momen manis yang mereka bagi.
Malam itu, keduanya terlelap dengan senyum di wajah, berharap untuk menjalin kembali keintiman yang telah mereka ciptakan.
Setelah berpisah dengan Afik, Lily kembali ke tempat di mana Dinda dan Tika menunggu. Mereka berdua tampak antusias, ingin tahu tentang pengalaman Lily malam itu.
“Gimana, Lil? Seru gak?!” tanya Tika dengan mata berbinar.
“Seru banget! Afik itu ternyata asik, dia juga tahu cara memperlakukan perempuan dengan baik,” jawab Lily sambil tersenyum.
Dinda mengangguk setuju. “Tapi harga yang kamu minta juga tidak main-main, ya. 700 ribu itu bukan uang sedikit,” ujarnya sambil menggoda.
Lily hanya tertawa. “Namanya juga profesi, harus menghargai diri sendiri, kan?” Balasnya sambil menyentuh rambutnya yang terurai. “Lagipula, malam ini aku merasa sangat dihargai.”
Tika yang tidak sabar menunggu bertanya, “Eh, emang ada yang baru dari dia? Apa yang membuat kamu merasa begitu spesial?”
Lily sedikit terdiam, merenungkan kata-kata yang tepat. “Mungkin cara dia berbicara dan bersikap. Dia membuatku merasa nyaman dan tidak terburu-buru,” jelasnya.
Dinda berkomentar, “Wah, kayaknya kamu jatuh cinta deh, Lil!”
“Jatuh cinta? Belum sampai ke sana sih. Yang penting sekarang adalah menikmati setiap momen,” jawab Lily sambil tersenyum nakal.
Tika melanjutkan, “Tapi kalau dia ngajak kamu kencan lagi, kamu mau gak?”
“Hmm, kenapa tidak? Selama itu menyenangkan, aku tidak akan menolak,” sahut Lily dengan percaya diri.
Setelah beberapa saat berbincang, Dinda merasakan waktu telah larut. “Yuk, kita pulang. Malam sudah semakin larut, dan besok kita masih harus kerja,” ajaknya.
“Setuju! Aku udah capek juga,” kata Tika sambil menguap.
Lily mengangguk setuju dan bersama-sama mereka meninggalkan tempat mangkal mereka.
Di jalan pulang, Lily tak bisa berhenti memikirkan momen yang baru saja dia alami. Rasa puas dan senang bercampur dalam hatinya. Dia berharap bisa bertemu Afik lagi untuk melanjutkan kisah ini.
Di dalam Kosan
Sesampainya di kosan, Lily membuka pesan di ponselnya. Ada satu pesan baru dari Afik.
“Hey, malam ini seru banget! Kapan kita bisa ketemu lagi? :)”
Lily tersenyum lebar membacanya. Dia segera membalas, “Iya, seru! Kita harus atur waktu lagi. Ada waktu weekend ini?”
Setelah mengirim pesan, dia merasa bersemangat dan tidak sabar menunggu balasan. Di sampingnya, Dinda dan Tika sudah siap-siap beristirahat.
“Lil, kamu terlihat senang sekali. Ada apa?” tanya Dinda dengan curiga.
“Gak ada apa-apa, cuma merasa puas aja,” jawab Lily sambil menyeringai.
Tika menepuk bahu Lily. “Kamu sudah berbagi malam yang istimewa. Semoga lebih banyak pengalaman seru ke depannya!”
Malam itu, mereka bertiga tertawa dan berbagi cerita hingga tertidur, masing-masing dengan mimpi yang penuh harapan dan keinginan untuk menjalani hari-hari yang lebih baik lagi.
Dengan semangat baru, Lily merasa siap untuk menghadapi apapun yang akan datang di hari-hari berikutnya, baik itu dalam pekerjaan sebagai tlembuk maupun dalam pencarian cinta yang mungkin akan datang.
Di Rumah Afik
Sesampainya di rumah, Afik merasa lega, namun ketenangan itu sirna ketika Sijum, istrinya, menyambutnya dengan wajah cemas.
“Mas! Dari mana saja? Kenapa pulang larut banget? Aku disini khawatir! Mikir!!!” serunya dengan nada tinggi, tampak gelisah.
Afik berusaha tersenyum, meski dalam hati sudah merasakan potensi masalah. “Dek, maaf. Aku cuma ada urusan sama teman-teman di luar. Sudah bilang sebelumnya kan?”
Namun, saat Sijum mendekatinya, dia mencium aroma yang menyengat dari baju dan tubuh Afik. “Tunggu! Kenapa bajumu dan badanmu bau sekali tlembuk!!” tanyanya dengan nada curiga.
Afik panik. “Ah, ini... mungkin karena tadi makan di tempat yang ramai. Banyak makanan yang dibakar,” jawabnya sambil berusaha tenang, meskipun dia merasa seperti ikan yang terperangkap di jaring.
Sijum tetap tidak puas. “Makanan yang dibakar? Atau kamu yang ‘dibakar’ sama wanita lain?” Dia melipat tangannya, menunggu jawaban yang jelas.
“Dek, aku janji tidak ada yang aneh-aneh. Kamu tahu kan aku cinta kamu?” Afik berusaha meyakinkan, tetapi tatapan Sijum tidak berubah, seakan dia adalah detektif ulung yang menemukan bukti-bukti mencurigakan.
“Cinta? Kalau cinta, kenapa kamu pulang larut dan bau seperti itu? Jangan bohong sama aku!” Sijum bersikeras, jelas masih mencurigai suaminya.
Afik merasakan tekanan. Dia ingin menjelaskan tanpa mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. “Ayo, kita bicarakan ini dengan tenang. Tidak ada yang terjadi, percaya sama aku,” pintanya dengan nada lembut, mencoba meraih tangan Sijum.
Sijum menarik tangannya. “Aku butuh bukti, bukan kata-kata kosong! Kalau tidak, aku tidak bisa percaya kamu lagi!”
Afik tahu dia harus mengambil langkah hati-hati. “Bagaimana kalau kita duduk dan aku buktikan bahwa aku tidak pernah berpikir untuk menduakanmu?” Dia berusaha memulai pembicaraan yang lebih serius.
Namun, emosi Sijum semakin meningkat. “Buktikan? Bagaimana caranya? Dengan semua bau ini? Mas, kamu tahu betapa aku menunggu kamu di sini. Aku hanya ingin kamu jujur padaku!”
Tanpa bisa menahan diri lagi, Sijum membanting piring di depan Afik, pecahan-pecahan porselen itu berhamburan. “Kau pikir aku bodoh? Bau ini jelas dari wanita lain! Tidak ada yang bisa membuatku percaya padamu sekarang!” teriaknya.
Afik terkejut dan mundur sejenak. “Dek, tenang! Aku tidak melakukan apa-apa. Ini semua hanya kesalahpahaman!”
“Kesalahpahaman? Sudah berapa kali aku mendengar itu dari kamu? Setiap kali kamu pulang dengan bau ini, pasti ada sesuatu yang terjadi!” Sijum semakin emosi, suaranya meninggi. “Jangan sekali lagi aku mendengar alasan yang sama! Aku lelah dengan semua kebohongan ini!”
“Dek, aku mohon, jangan marah. Kita bisa menyelesaikannya. Kita tidak perlu berteriak,” Afik berusaha meredakan keadaan, tapi Sijum tidak mendengarkan.
“Berhenti! Aku sudah bilang, aku tidak mau lagi mendengar omonganmu! Kamu harus memilih—antara aku atau kehidupanmu yang penuh dengan wanita itu!” Sijum menantang, matanya penuh dengan kemarahan, dan saat itu, mata Sijum melotot besar sekali, warna merah terlihat dari otot-otot di sekeliling matanya, seakan dia sedang berusaha mengeluarkan semua emosi yang terpendam.
Afik merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tidak ingin pertengkaran ini berlanjut, tetapi situasinya semakin sulit. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Hanya kamu, tidak ada yang lain!”
“Cinta? Cinta apa yang kau tunjukkan? Jujurlah, Mas! Apa kamu mau aku pergi dari hidupmu?” Sijum berteriak, air matanya mulai mengalir, menambah ketegangan di dalam rumah.
Afik merasa terjebak dalam situasi yang semakin buruk. “Aku akan berusaha, Dek. Beri aku kesempatan,” ujarnya, mencoba menyelamatkan hubungan mereka meskipun dengan perasaan berat di dada.
Tetapi Sijum tidak ingin mendengarkan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Afik dalam kebingungan dan rasa sakit yang dalam. Dia tahu, malam ini, pertarungan baru saja dimulai.
Afik merasakan hatinya tertekan saat Sijum berbalik menjauh. Ia tahu bahwa ketegangan di antara mereka telah mencapai puncaknya. Dalam usaha terakhirnya untuk meredakan situasi, Afik mencoba mendekat dan memeluk Sijum dari belakang, berharap kasih sayangnya bisa menembus dinding emosi yang telah menghalangi mereka.
“Dek, ayo kita bicarakan dengan baik. Aku tidak mau kehilanganmu,” katanya dengan suara lembut, berharap pelukannya bisa memberikan sedikit ketenangan.
Namun, Sijum tidak terima. “Jangan sekali lagi!” teriaknya, dengan gerakan cepat dia menghempaskan pelukan Afik. “Kamu pikir pelukan ini bisa menyelesaikan semuanya? Kamu salah besar!”
Gerakan Sijum begitu mendadak, membuat Afik terkejut. Tanpa bisa menahan diri, dia terjatuh, melakukan salto jungkir balik sebelum akhirnya mendarat di lantai dengan posisi yang tidak beraturan. “Aduh!” serunya, merasakan sakit di punggungnya.
“Lihat! Kamu selalu berusaha menghindar! Kamu tidak mau mendengarkan aku!” Sijum melanjutkan, masih dalam keadaan marah, sementara Afik mencoba bangkit kembali, merasa konyol sekaligus kesakitan.
“Dek, itu bukan maksudku. Aku hanya ingin kita baik-baik saja,” Afik berusaha bangkit sambil mengusap punggungnya yang sakit. Dia tidak menyangka bahwa keadaan akan berubah seperti ini.
“Baik-baik saja? Sejak kapan kamu berpikir semua ini baik-baik saja?” Sijum menjawab dengan nada mengejek, matanya masih melotot penuh kemarahan. “Aku tidak mau jadi seperti wanita-wanita yang kamu temui! Aku ingin kamu jadi suami yang setia!”
Afik menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. “Aku berjanji, Dek. Aku akan berubah. Tolong beri aku kesempatan!”
Sijum tidak terpengaruh. “Kesempatan? Kamu sudah banyak diberi kesempatan! Dan lihat apa yang terjadi sekarang!” Dia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar seakan mencari jawaban dari kegelapan malam.
“Kenapa kamu tidak bisa percaya padaku?” Afik mencoba mendekat lagi, tetapi Sijum hanya menegakkan kepalanya, tidak mau menatapnya.
“Karena setiap kali kamu pulang, kamu selalu membawa aroma yang mengingatkan aku pada wanita lain! Itu yang membuatku tidak bisa percaya!” Sijum berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Afik merasa putus asa. “Dek, aku tidak mau menjelaskan semua ini dengan berantem. Kita bisa bicarakan dengan tenang. Mari duduk dan selesaikan semuanya!”
Tapi Sijum tidak mau mendengar. Dia masih membelakangi Afik, hatinya penuh kemarahan. “Berhenti, Mas! Aku sudah bilang! Jangan sekali lagi aku melihatmu dengan wajah tidak bersalah itu!”
Mendengar nada suara Sijum, Afik merasa hatinya tercabik-cabik. Dia merasakan beban yang berat di dalam dirinya, seperti semua kesalahan yang pernah dibuatnya kini kembali menghantuinya.
Saat pertengkaran hebat itu berlangsung, tiba-tiba suara deringan ponsel memecah suasana tegang. Afik meraih ponselnya yang bergetar di meja. Layar menunjukkan nama Lily, salah satu tlembuk yang baru saja dia temui malam barusan. Sebelum Afik sempat menjawab, Sijum yang sudah berada di titik didih emosi merebut ponselnya.
“Siapa ini?!” teriak Sijum dengan suara meninggi, matanya terbuka lebar, siap menghadapi siapapun yang ada di ujung telepon.
Afik terkejut. “Dek, tunggu! Itu hanya—”
Tapi Sijum sudah mengangkat telepon dan memperlihatkan wajahnya yang marah ke kamera. Di sisi lain, Lily terlihat ceria dan tidak menyadari situasi sedang tegang.
“Hey, Afik! Kenapa enggak angkat telepon? Lagi sibuk apa?” tanya Lily, senyum nakalnya langsung pudar saat melihat ekspresi Sijum yang marah.
Sijum, dengan nada penuh penekanan, langsung menyela, “Tunggu! Aroma ini… Jangan-jangan aroma tlembuk yang nempel di badan Afik itu adalah kamu, Lily!”
Lily terdiam sejenak, menyadari bahwa situasi mulai tidak menguntungkan. “Eh, ini bukan seperti yang kamu pikirkan,” jawabnya, suaranya sedikit ragu.
“Jangan bohong! Kenapa dia bisa pulang dengan bau seperti ini?!” Sijum menatap layar dengan tatapan melotot, berusaha menahan kemarahan yang meluap.
Lily terlihat bingung dan mulai merasakan ketegangan. “Aku hanya berbicara dengan Afik, kok. Dia temanku,” ucapnya dengan nada defensif.
“Teman? Jangan kasih alasan! Kamu pasti tahu dia baru saja pulang dari mana!” Sijum tidak mau kalah, suaranya semakin meninggi. “Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?”
Afik berusaha merebut kembali ponselnya. “Sijum, biarkan aku berbicara!” Dia menarik ponsel dari tangan Sijum dan beralih menatap layar. “Lily, aku akan telepon kamu nanti. Sekarang aku butuh waktu untuk menyelesaikan ini,” kata Afik dengan tegas.
“Tidak, tunggu! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu!” Sijum melanjutkan, menatap Lily dengan mata marah. “Kamu yang harus bertanggung jawab atas semua ini!”
“Cukup! Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi ini sudah terlalu jauh!” Lily menjawab, merasakan bahwa dia terjebak dalam konflik yang tidak seharusnya dia masuki.
Sijum menatap Lily dengan penuh kebencian. “Kamu harus tahu, tidak ada tempat bagi kamu di sini! Afik adalah suamiku, dan kamu tidak bisa merusak hubungan kami!”
Lily, merasakan ketegangan semakin memuncak, hanya bisa menghela napas. “Baiklah, kalau begitu,” ucapnya pelan, sambil mencoba menahan diri.
Sijum memutuskan sambungan video call dan menatap Afik dengan marah. “Ini semua salahmu! Kamu yang membawa masalah ini ke dalam rumah kita!”
Afik tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ambang kehancuran. “Sijum, maafkan aku,” katanya, berusaha untuk menenangkan situasi. “Aku akan menjelaskan semuanya.”
Namun, Sijum tidak mendengarkan. “Jangan pernah lagi berurusan dengan dia!” ujarnya, menegaskan bahwa dia tidak akan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.