Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Berdua Dengannya - Hudzai
Susah payah mengumpulkan keberanian untuk bersikap layaknya pria maskulin di hadapan keluarga besar, Papa Zean justru mematahkannya hanya dengan satu kata.
My Sweetie. Ya, tidak ada yang salah sebenarnya dengan panggilan itu. Terlebih lagi dari seorang papa, pertanda jelas betapa sayangnya. Akan tetapi, di momen semacam ini agaknya kurang tepat.
Hudzai sudah terlalu dewasa untuk dipanggil semacam itu, Haura saja sampai melongo dibuatnya. Entah bagaimana pandangan sang istri padanya, tapi yang pasti Hudzai berharap marwanya sebagai laki-laki tidak berkurang setelah ini, itu saja.
Kendati demikian, tekad Hudzai untuk membuktikan bahwa dirinya pantas disebut lelaki untuk Alisya tak luntur. Setelah merasa kehadiran sang papa hanya merusak suasana, pasca makan malam dia sengaja meminta waktu berdua bersama Sean untuk bicara.
Sebelumnya mungkin dia bicara sebagai keponakan, tapi untuk malam ini dia menghadapi Sean layaknya seorang mertua karena kedudukan pria itu adalah orang tua asuh istrinya.
"Langsung saja, apa yang ingin kau bicarakan, Hudzai?" tanya Om Sean langsung pada intinya.
Melihat keraguan Hudzai untuk bicara, pria itu mendesak keponakannya segera. Tak biasanya Hudzai sampai menunduk begitu, terasa sekali perbedaannya.
"Aku ..."
"Hem? Apa, katakan saja," ucapnya begitu lembut.
Berusaha membuat suasana tetap terasa hangat agar Hudzai leluasa dan tidak setakut itu kala hendak bicara.
"Maaf jika aku lancang, Om, tapi ... apa tidak bisa Om pertimbangkan lagi soal masa depan kami?"
"Masa depan? Masa depan yang mana?" tanya Om Sean masih belum bisa menarik kesimpulan atas pertanyaan Hudzai malam ini.
Mungkin karena Hudzai terlalu kaku, biasanya membahas hadiah ulang tahun, kini lebih serius, jelas saja terasa perbedaanya. Sungguh tidak bisa Hudzai bayangkan andai mertuanya adalah orang asing yang sukar dihadapi dan harus berkenalan dari nol, bisa jadi dia mati kutu dan perlu juru bicara dalam menyampaikan segala sesuatu.
Hudzai bahkan butuh waktu untuk mengatur napasnya sebelum kemudian lanjut bicara. Saking gugupnya, kening pria itu sampai basah hingga Sean mendekatkan tisu ke arahnya.
"Santai saja, Om bahkan mengenalmu sejak masih balita, Hudzai ... kenapa setakut itu?" selidik Sean sebenarnya merasa lucu.
Berbeda jauh dengan Abimanyu yang bahkan sudah memanggilnya Abi mertua sejak beberapa bulan lalu, Hudzai justru sekaku itu dengan statusnya. Padahal, yang benar-benar suami Alisya adalah dia, bukan Abimanyu.
Sungguh karakter keduanya tidak dapat disamakan. Melihat Hudzai yang begini, seketika Sean berpikir keras gen siapa yang dia warisi. Jika memang Zean, rasanya tidak begini, apalagi dirinya.
"Ah iya ... kaku sekali rasanya, aku bingung bilangnya, Om Sean."
"Ck, menghadapi Om saja kau sekaku ini ... bagaimana nanti jika benar-benar menghadapi orangtua Alisya."
"Hem? Memang masih ada?" tanya Hudzai penasaran.
Sean mengedikkan bahu, sedikit asal bicara, tapi memang ada harapan tentang hal itu. "Entahlah, Om harap masih ada ... tapi kalau tidak apa boleh buat, dan_ ah lupakan saja soal itu, lanjut ke topik pembicaraan apa yang tadi ingin kau katakan."
"Oh iya, jadi begini Om," ungkapnya sembari tak lupa menarik napas panjang. "Seperti yang Om ketahui, saat ini aku dan Alisya sudah resmi menikah."
"Iya, lalu?"
"Terkait yang pernah Om katakan, apa boleh jika aku punya pilihan sendiri?"
"Pilihan sendiri?"
"Iya, sebetulnya hal ini sudah aku tanyakan pada Alisya, dan dia bilang tergantung padaku juga."
"Soal apa itu?"
"Tempat tinggal," jawab Hudzai ragu.
Jujur sebenarnya dia tidak memiliki keberanian pada awalnya. Bukan tanpa alasan, tapi memang sebelum ini Sean sudah memutuskan bahwa dia dan Alisya harus tetap tinggal di atap yang sama untuk beberapa waktu ke depan.
Akan tetapi, setelah lama berpikir dan mendengar keputusan Alisya yang secara terang-terangan mengatakan tidak akan kembali pada Abimanyu nantinya, pendirian Hudzai mulai berubah.
"Tempat tinggal?" Sean mengerutkan dahi. Rasanya belum lama mereka membahas hal ini, dan Hudzai juga sudah setuju, sedikit terkejut jika tiba-tiba berubah pikiran dan punya pilihan sendiri.
Hudzai mengangguk, dia menatap penuh harap bahwa Om Sean akan memberikan izin padanya.
"Kenapa dengan tempat tinggal? Apa kau memiliki rencana untuk membawa Alisya pergi segera?"
"Iya, mungkin Om belum bisa percaya ... tapi sebagai imam, aku ingin menjalankan ibadah terpanjang ini hanya berdua tanpa campur tangan Om ataupun papa orangtua."
"Jadi mau mandiri ceritanya?" tanya Om Sean sedikit dipersingkat dan sontak Hudzai angguki segera.
"Iya, mandiri."
Cukup lama terdiam, Om Sean tidak menjawab lagi. Dia terus memandang ke arah Hudzai sembari mempertimbangkan permintaan pria itu.
Masuk akal sebenarnya jika Hudzai ingin mandiri. Karena sebelum menikah saja keponakannya yang satu ini tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Menurut pengakuan Zean, putra sulungnya sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kehidupannya di masa depan.
Rumah, finansial dan persiapan secara materi memang tidak perlu diragukan. Akan tetapi, yang menjadi alasan Sean khawatir ialah sikap Hudzai pada Alisya jika di luar pengawasannya, itu saja.
"Sebelum Om jawab pertanyaanmu, apa boleh Om tanya sesuatu, Hudzai?"
"Sure, tanya apa, Om?"
"Seperti yang kita ketahui, pernikahan ini mungkin bukan kemauanmu ... andai nanti jauh dari pengawasan kami, apa kau tetap akan bersikap seperti di ruang makan tadi pada Alisya?"
Alih-alih menjawab, Hudzai tersenyum tipis. Kekhawatiran omnya dapat dia mengerti, dan juga Hudzai punya jawaban yang bisa dipercaya untuk pertanyaan itu.
"Bahkan lebih dari itu aku mampu, Om."
"Benar?"
"Iya!!"
"Kau benar-benar menerimanya sebagai istri?"
"Ha-ha-ha, iya lah!! Pakai tanya," sahut Hudzai masih saja merasa lucu dengan kekhawatiran dari beberapa orang ini padanya.
"Om serius, papamu jago bohong bisa jadi kau juga."
"Kali ini serius, aku tidak berbohong, aku benar-benar menerimanya dan aku menikahinya tidak untuk bercanda, sumpah!!"
"Kalau begitu buktikan," ucap Om Sean sontak membuat Hudzai mengerutkan dahi.
"Buktikan? Buktikan apa?"
"Buktikan jika kau benar-benar menerimanya."
"Tadi apa kurang?"
"Kurang!!"
"Lalu? Om maunya gimana?"
"Buat istrimu hamil dalam waktu tiga bulan!!"
"Hah?"
.
.
- To Be Continued -