Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Goblin
Setelah sarapan pagi, hari dimulai dengan rutinitas seperti biasa. Wira memandikan Kinta dan Sumba, merawat ladang, dan menyiram kebun sayuran yang penuh dengan tanaman hijau subur. Namun, sesuatu terasa berbeda pagi itu.
Bayam yang baru saja dipetik beberapa jam sebelumnya untuk sarapan kini sudah bertunas lagi. “Apa ini tidak terlalu cepat?” gumam Wira sambil mengamati kebunnya dengan curiga. Semua tanaman tampak lebih sehat dari biasanya.
Tidak ingin mengabaikan keanehan ini, Wira memutuskan menyelidiki lebih lanjut. Saat menyusuri kebunnya, dia menemukan bekas galian kecil. “Kinta pasti pelakunya,” pikirnya. Anjing peliharaannya memang memiliki kebiasaan mengubur tulang dari sisa makanan.
Penasaran, Wira menggali gundukan tanah tersebut. Dia berharap menemukan sisa tulang atau hal lain yang menjadi petunjuk, tetapi yang muncul malah sesuatu yang membuatnya bergidik.
“Alamak!.” Wira tertegun melihat sebuah potongan lengan manusia yang mulai membusuk. Itu bukan tulang biasa, melainkan lengan yang tampak segar, seperti baru terpotong beberapa jam lalu. Ukurannya kecil, seperti milik anak-anak.
“Kinta, apa yang sebenarnya kau lakukan tadi malam?” tanya Wira dengan nada kesal bercampur bingung.
Kinta hanya menggonggong senang, matanya berbinar seolah meminta pujian atas perbuatan baiknya. Kepolosan anjing itu membuat Wira tidak tega untuk memarahinya. “Aduh, kalau sayuranku terkontaminasi, gimana coba?” pikirnya sambil mengusap kepala Kinta.
“Di mana kau menemukan ini?” tanya Wira menunjukkan lengan berkulit hijau itu ke hidung anjingnya. Kinta langsung melompat-lompat, mengisyaratkan agar Wira mengikutinya.
***
Wira buru-buru kembali ke pondok untuk mempersiapkan diri. Kali ini, dia tak ingin ceroboh seperti sebelumnya. Dia membawa lebih banyak anak panah, mengenakan jaket tebal tahan gigitan, dan melengkapi dirinya dengan sebilah golok yang tajam.
“Menggunakan senjata api hanya akan mengundang masalah. Kalau zombie benar-benar punya pendengaran yang peka seperti di film, suara tembakan bisa menarik gerombolan,” pikir Wira.
Untuk memastikan keamanan pondok selama dua pergi, Wira mengaktifkan berbagai jebakan di sekujur Basecamp.
Setelah yakin dengan persiapannya, dia menaiki Sumba, sementara Kinta berlari memimpin jalan. Perjalanan kali ini terasa berbeda. Hutan Semaraksa yang biasanya sunyi kini penuh dengan kehadiran zombie yang berkeliaran dekat basecamp.
"Baru beberapa langkah keluar dari rumah, kami langsung disambut." Gumam Wira yang mengetahui terdapat beberapa zombie tidak jauh dari basecamp.
Begitu melihat zombie, Wira segera menarik busur dan melepaskan anak panah dengan akurasi tinggi. Zombie pertama jatuh hanya dengan satu serangan. Begitu pula zombie berikutnya.
"Mengalahkan zombie ini... Terasa lebih mudah dari kemarin. Apa peningkatan kekuatan yang aku rasakan setelah demam semalam sebenarnya bukan sekedar imajinasi ku?." Pikiran Wira dipenuhi pertanyaan yang berputar-putar tanpa henti.
Tapi ia tahu, tidak ada yang akan memberinya jawaban. "Kalau begitu, tidak ada gunanya aku terus bertanya."
Dengan tekad kuat, Wira maju lebih dalam ke hutan, menyingkirkan belasan zombie yang menghalangi jalannya satu per satu. Darah dan instingnya seakan berdenyut lebih cepat. "Jika tidak ada yang memberiku jawaban, maka aku akan mencari jawabanku sendiri."
Setelah perjalanan yang diwarnai pertempuran singkat, Kinta akhirnya membawa Wira ke jasad yang tergeletak di tanah. Luka gigitan di lehernya dalam, dan lengan kanannya hilang.
“Tidak salah lagi, ini pasti pemilik lengan yang tadi aku temukan,” gumam Wira sambil mendekati jasad tersebut. Namun, begitu dia memeriksanya lebih dekat, keningnya berkerut.
Tubuh pendek, kulit hijau, dan wajah yang aneh... Ini bukan manusia. “Goblin?!” Wira terperanjat.
Keanehan ini membuat pikirannya terguncang. Sebelumnya zombie, dan sekarang goblin. Dia mulai merasa seolah-olah sedang hidup dalam skenario cerita isekai.
“Apa mungkin tanpa sadar aku sudah dipindahkan ke dunia lain?.” Wira bergumam sambil menggaruk kepala, mencoba memahami situasi yang semakin absurd.
***
Kinta menggeram, telinganya tegak, tubuhnya tegang seolah bersiap menyerang. Melihat reaksi itu, Wira segera sadar bahwa ada sesuatu yang mendekat.
Ia turun dari punggung Sumba, merendahkan tubuhnya untuk memastikan langkah yang didengar bukan milik zombie.
Dengan konsentrasi penuh, Wira mendengarkan suara langkah kaki yang semakin mendekat. 'Tiga orang,' pikirnya. 'Tapi... aneh, langkahnya ringan, seperti anak-anak.'
Namun, pikiran itu segera ditepis. 'Mustahil ada anak-anak di hutan ini. Hutan Semaraksa bukan tempat bertamasya.' Jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika siluet kecil mulai tampak dari balik semak-semak, kesimpulan Wira akhirnya bulat.
"Goblin," gumamnya pelan sambil menggenggam erat gagang goloknya.
Wira bersiap melakukan serangan mendadak. Namun, ia tiba-tiba merasa ragu. Goblin dikenal sebagai makhluk yang berbahaya, tetapi ada cerita bahwa beberapa dari mereka cukup cerdas untuk berkomunikasi.
'Mungkin aku bisa berbicara dengan mereka,' pikirnya, mencoba mempertimbangkan kemungkinan itu.
Dengan tenang, Wira, bersama Kinta dan Sumba, berdiri di tengah jalan kecil yang akan dilalui para goblin. Saat ketiga makhluk itu muncul, mereka langsung menghentikan langkah. Mata kecil mereka mengamati Wira penuh kewaspadaan.
Melihat goblin yang masih hidup untuk pertama kalinya, Wira merasa kagum. 'Mereka membawa senjata primitif. Tombak dari ranting, busur kecil dari rotan. Tidak salah lagi, mereka punya kecerdasan.' Harapannya untuk berkomunikasi dengan goblin tumbuh.
Namun, harapan itu langsung hancur saat salah satu goblin mengangkat busurnya. Sebuah anak panah melesat ke arah Wira dengan kecepatan mengerikan.
Wira hanya sempat memiringkan kepala sedikit, tapi tidak cukup cepat. Ujung panah itu menggores pipinya, meninggalkan luka dangkal yang perih. Jika ia terlambat menghindar sepersekian detik saja, panah itu sudah tertancap di keningnya.
Goblin-goblin itu langsung menjadi rusuh, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Wira. Kinta menggeram, kali ini lebih garang, taringnya terlihat jelas. Sumba meringkik, melompat-lompat, seolah menantang makhluk kecil di depannya.
Wira mengusap kepala Kinta untuk menenangkannya, lalu menepuk tubuh Sumba dengan lembut. "Tenang. Aku baik-baik saja." Suaranya tenang, tetapi matanya menatap gelap ke arah para goblin.
Dengan golok di tangan, Wira mulai melangkah perlahan. Tidak ada rasa takut, hanya sebuah keputusan yang telah bulat.
"Kalian mencoba membunuhku..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tetapi mengandung kekuatan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "...jadi aku tidak ada ruang untuk berdiskusi, sangat disayangkan."
Para goblin terkejut, nafas mereka tercekik seakan merasa sangat ketakutan, mereka tampaknya menyadari ancaman di depan mereka. Salah satu dari goblin yang lebih besar, mengambil posisi di depan, mempersiapkan pedang berkarat dan perisai kayu untuk menghadapi serangan.
***
Goblin pemanah kembali melontarkan anak panahnya, tapi kali ini Wira sudah siap. Dengan gerakan refleks yang cepat, dia mengayunkan goloknya, menepis anak panah itu hingga terlempar jauh ke samping.
Dahi Wira mengernyit saat melihat formasi goblin. 'Mereka lebih terorganisasi daripada zombie,' pikir Wira, matanya memperhatikan pergerakan ketiga goblin.
Goblin bersenjata pedang dan perisai melangkah maju, menerjang cepat, memimpin serangan. Di belakangnya, goblin tombak mengikuti dengan posisi menyerang. Goblin pemanah tetap berjaga di belakang, busurnya siap memberikan tembakan bantuan kapan saja.
Wira mengangguk kecil, mengakui kecerdasan taktik mereka. 'Membuka pertarungan dengan serangan jarak jauh, dilanjutkan serangan langsung dengan tanker, dan serangan terakhir dari jarak menengah. Ini sangat terorganisir, setidaknya berada di peringkat pemula.'
"Namun, ini tidak akan cukup untuk membunuhku."
Goblin perisai mendekat dengan gerakan cepat, pedangnya diayunkan dengan penuh tenaga. Wira memutar tubuhnya ke samping, menghindari serangan itu dengan mudah. Dengan satu gerakan lugas, dia mengayunkan goloknya ke arah perisai kayu goblin itu.
Jras!
Tebasan Wira tidak hanya menghancurkan perisai kayu, tetapi juga membelah tubuh goblin itu dari bahu ke perut. Darah hijau menyembur, dan makhluk itu roboh ke tanah tanpa suara.
Tidak ada waktu untuk bernafas. Goblin tombak langsung melancarkan serangan setelah rekannya tewas. Tombak itu menusuk ke arah dada Wira dengan kecepatan mengagumkan.
Wira melompat mundur, membiarkan tombak itu menusuk udara kosong. kemudian dengan satu hentakan Wira kembali maju, dia memutar tubuhnya dan menyerang balik. Goloknya berkelebat seperti kilat, memenggal kepala goblin tombak dengan presisi mematikan.
Kepala makhluk itu terjatuh ke tanah, diikuti oleh tubuhnya yang roboh beberapa detik kemudian.
Kini hanya tersisa satu goblin. Goblin pemanah, melihat dua rekannya tewas begitu cepat, mulai gemetar ketakutan. Mata kecilnya yang penuh kebencian kini dipenuhi rasa panik.
'Bukan hanya tahu mengorganisir serangan, mereka juga tahu kapan harus lari,' pikir Wira.
Goblin itu berbalik, mencoba melarikan diri ke dalam semak-semak. Tetapi Wira tidak akan membiarkan siapapun yang sebelumnya berniat membunuhnya pergi begitu saja.
Dia meraih busur di punggungnya, menarik anak panah dari tabungnya, dan membidik dengan tenang. Fokus matanya terkunci pada punggung goblin pemanah yang semakin menjauh.
Fiuuush!
Anak panah melesat dengan kecepatan mematikan.
Tepat di belakang kepala goblin, anak panah itu menancap dengan bunyi yang tajam. Makhluk kecil itu terjatuh ke depan, tubuhnya terhempas ke tanah dan tidak lagi dapat bergerak.
mohon berikan dukungannya