Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Akhirnya Tersenyum Lagi
Pagi itu, kafe-ku cukup ramai. Anak-anak jalanan yang sering mampir ikut memenuhi sudut ruangan sambil menikmati cokelat panas yang kubuat khusus untuk mereka. Aku sibuk bolak-balik dari dapur ke meja pelanggan, hingga akhirnya sebuah suara familiar terdengar dari balik pintu kaca.
“Senja! gue udah bilang berkali-kali, itu meja bukan buat berdiriin gelas, apalagi perasaan!” suara Hanan, salah satu pelanggan tetap yang juga teman sekampusku, membuat semua orang menoleh.
Aku melotot ke arah Hanan yang sudah duduk dengan santainya sambil menggoyang-goyangkan kaki. “Gue bakal tendang lo keluar kalau mulut lo nggak dijaga!” balasku.
Dia tertawa terbahak-bahak, sementara pelanggan lain ikut tersenyum mendengar celotehan kami.
“Eh, lo tau nggak?” kata Hanan lagi sambil mendekat ke konter. “Ada gosip di kampus kalau lo pacaran sama Galaksi.”
Aku menghentikan langkahku, lalu memandangnya tajam. “Hanan, serius, lo cari mati?”
Hanan pura-pura terkejut. “Wih, galak amat, Mbak Senja. Kalau nggak bener, kenapa marah?”
Aku mendekat, lalu menepuk bahunya dengan sendok besar yang kupakai untuk mengaduk kopi. “Udah, balik sana ke kampus. Bikin macet suasana aja lo di sini.”
Dia ngakak, lalu berdiri sambil membawa pesanannya. “Oke, oke. Tapi serius, kalau Galaksi jadi pacar lo, gue dukung. Dia satu-satunya cowok yang bisa tahan sama kelakuan lo yang mirip abang-abang ojek.”
...***...
Setelah Hanan pergi, suasana kembali normal. Tapi perkataannya tadi masih terngiang di kepalaku. Gosip? Pacaran? Aku dan Galaksi? Ah, rasanya terlalu jauh.
Namun, pikiranku buyar ketika seseorang muncul di pintu kafe. Galaksi. Dengan hoodie abu-abu dan celana jeans, dia terlihat sederhana tapi tetap membuatku kikuk.
“Eh, lo ngapain ke sini pagi-pagi?” tanyaku sambil mengalihkan pandangan.
“Gue cuma pengen bantu,” katanya sambil tersenyum. Dia langsung berjalan ke arah dapur, mengenakan celemek yang biasanya kupakai.
“Bantu? Galaksi Malik Hadyan mau jadi tukang cuci piring?” candaku.
Dia hanya tertawa kecil. “Lebih baik bantu cuci piring daripada lihat lo kewalahan.”
Aku mendengus, tapi sebenarnya merasa lega. Kehadirannya di kafe selalu membawa semangat, meskipun dia sering membuatku gugup dengan perhatian kecilnya.
Sore itu, ketika kafe mulai sepi, Galaksi dan aku duduk di salah satu meja. Dia membawa sepiring kue cokelat yang baru saja dibuatnya.
“Coba, kasih nilai,” katanya sambil menyodorkan garpu.
Aku mencicipinya dengan skeptis, lalu mengangguk pelan. “Not bad. Lo cocok jadi koki cadangan kalau gue sakit.”
Dia tertawa. “Gue serius, Senja. Kalau lo butuh bantuan kapan pun, bilang aja. Jangan pura-pura kuat sendirian.”
Aku terdiam sejenak, lalu menatapnya. “Lo serius banget ngomong gitu. Lo nggak capek ngurusin gue?”
Dia menggeleng. “Nggak. Justru gue belajar banyak dari lo. Lo bikin gue sadar kalau hidup itu nggak selalu harus sempurna buat bahagia.”
Aku tersenyum kecil. “Tapi tetap aja, gue ini banyak minusnya. Gue nggak ngerti kenapa lo betah.”
Galaksi menatapku lama, lalu tersenyum. “Karena gue yakin, di balik semua ‘minus’ itu, ada sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Lo.”
Jantungku berdebar. Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya memalingkan wajah sambil pura-pura sibuk dengan kue di depanku.
...***...
Malam itu, aku kembali ke apartemenku. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku duduk di sofa sambil memeriksa buku catatan kafe. Pendapatanku bulan ini cukup bagus, tapi aku tahu aku perlu bekerja lebih keras untuk menjaga konsistensinya.
Ketika aku sedang fokus menghitung angka, ponselku berbunyi. Pesan dari Galaksi.
“Besok ada waktu? Gue pengen ngajak lo ke suatu tempat.”
Aku membaca pesan itu beberapa kali, mencoba mencari arti tersembunyi di baliknya. Tapi akhirnya aku membalas dengan singkat.
“Oke. Jam berapa?”
...***...
Keesokan harinya, Galaksi menjemputku di depan apartemenku. Dia mengendarai motor, dan aku harus meminjam helm tambahan dari tetanggaku karena helmku rusak.
“Ayo, naik,” katanya sambil menyerahkan helm.
Aku naik dengan ragu. “Lo yakin nggak bakal bikin kita nyasar?”
Dia tertawa. “Percayalah sama navigator terbaik ini.”
Kami melewati jalanan kota yang padat, hingga akhirnya tiba di sebuah tempat yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya, taman bunga yang luas dengan danau kecil di tengahnya.
“Ini tempat apa?” tanyaku sambil turun dari motor.
“Tempat gue sering datang kalau lagi butuh ketenangan,” jawabnya.
Aku terdiam, lalu berjalan di sampingnya menyusuri taman. Suasananya begitu damai, jauh dari kebisingan kota.
“Tapi kenapa ngajak gue ke sini?” tanyaku.
Dia tersenyum. “Karena gue pengen lo juga punya tempat buat merenung. Lo terlalu sering menyimpan semuanya sendiri, Senja. Gue pengen lo tahu kalau nggak apa-apa buat berbagi.”
Aku menatapnya lama. Kata-katanya membuat hatiku hangat. Mungkin untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padaku tanpa pamrih.
Kami duduk di tepi danau, menikmati angin sepoi-sepoi. Aku merasa tenang, seolah semua beban hidupku menghilang untuk sementara.
“Galaksi,” panggilku pelan.
Dia menoleh. “Ya?”
“Terima kasih.”
Dia tersenyum. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Untuk selalu ada, meskipun gue sering nyebelin,” jawabku sambil menunduk.
Dia tertawa kecil. “Itu udah tugas gue, Senja. Lo nggak perlu terima kasih.”
Aku hanya tersenyum, lalu menatap danau di depan kami. Hari itu, aku merasa hidupku perlahan berubah menjadi lebih baik.
...****************...
...To Be Continued...
Jangan lupa like, komen, and vote
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi