Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 KEHANCURAN UMAT MANUSIA
Zen berdiri tegak di tengah kehancuran, tubuhnya gemetar oleh keletihan. Semuanya hancur. Medan perang yang tadinya penuh dengan suara pedang, teriakan prajurit, dan dentingan logam kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam. Seolah dunia ini telah terpuruk begitu dalam hingga tidak ada lagi yang tersisa selain darah dan hujan yang terus menetes, seakan mencuci segala dosa dan kehancuran yang terjadi.
Namun, Zen tidak ingin lagi memikirkan semua itu. Ia memutuskan untuk mengabaikan kehancuran di sekelilingnya. Semua yang ia tahu adalah bahwa peperangan itu telah selesai—bukan karena ada kemenangan, tetapi karena semua yang ada di medan perang telah hilang, entah kemana. Tidak ada lagi yang berdiri untuk melawan.
Satu-satunya tujuan Zen saat itu adalah kembali ke rumah, kembali ke kampung halamannya. Shena—desa yang penuh kenangan dan tempat di mana ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan setelah pertempuran yang tiada akhir ini.
Perjalanannya menuju Shena terasa begitu panjang dan sunyi. Hujan yang masih turun tak pernah berhenti, menyelimuti perjalanan Zen dengan kesedihan yang mendalam. Setiap langkah terasa berat, setiap napasnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Luka-lukanya yang membekas di tubuhnya menambah beban, namun ia terus berjalan tanpa banyak berpikir. Hanya satu yang ada di pikirannya: untuk melihat wajah keluarganya lagi, untuk merasakan kehangatan rumah yang dulu penuh dengan kebahagiaan.
Namun, sepanjang perjalanan, yang ia temui hanyalah kesendirian. Tidak ada prajurit, tidak ada penduduk yang sedang melintas. Semua orang yang dulu ikut serta dalam peperangan itu tampaknya telah menghilang, lenyap tanpa jejak. Hanya hewan-hewan liar dan tumbuhan yang tumbuh subur di sepanjang jalan yang terlihat, seolah-olah alam yang tersisa mencoba menyembuhkan dunia yang telah hancur.
Zen tidak tahu apakah itu tanda dari dunia yang telah runtuh, ataukah mungkin alam semesta ini hanya mencoba menghapuskan ingatan tentang apa yang telah terjadi. Semua yang ia tahu adalah bahwa ia adalah satu-satunya yang tersisa dari pertempuran itu.
Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang keluarganya—tentang ayahnya, ibunya, dan kekasihnya, Lyra—terus menghantui pikirannya. Ia ingat betul wajah mereka, senyum mereka yang penuh harapan saat ia meninggalkan rumah untuk bergabung dalam pertempuran demi menyelamatkan dunia. Mereka semua mempercayainya, berharap ia akan kembali sebagai pahlawan. Namun, sekarang, ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak.
"Lyra... apakah kamu masih menungguku?" pikir Zen, sesekali menatap ke langit yang gelap, berusaha mencari petunjuk dari alam.
Meski tubuhnya lemah dan terluka, Zen melanjutkan perjalanan dengan tekad yang semakin kuat. Meskipun tidak ada yang tahu apa yang akan ia temui saat sampai di Shena, ia bertekad untuk kembali ke tempat yang dulu pernah menjadi rumahnya.
Ia tidak berharap untuk menemukan dunia yang utuh, atau bahkan satu orang pun yang selamat. Namun, yang ia inginkan hanya satu—untuk melihat wajah orang yang ia cintai, dan tahu bahwa ia telah kembali ke tempat yang selalu ia sebut rumah.
Zen akhirnya sampai di desa yang ia Shena Namun, kedatangannya disambut dengan suasana yang jauh berbeda dari apa yang ia harapkan. Desa yang dulu penuh dengan kehidupan, tawa anak-anak, dan sibuknya pasar kini tampak begitu sunyi. Di sepanjang jalan, ia melihat wajah-wajah murung, orang-orang yang berjalan pelan, sebagian terbungkus kain dengan tanda-tanda penyakit yang memudar di tubuh mereka. Ada yang terjatuh, ada yang tidak bisa lagi berdiri, seakan dunia ini telah menarik kekuatan hidup mereka sedikit demi sedikit.
Zen merasakan ketegangan di dada. Semua yang terjadi di medan perang kini sepertinya meluas ke desa ini—penyakit yang tak terlihat, yang menyebar begitu cepat dan tak ada obatnya. Ini adalah penderitaan yang tidak bisa dihindari.
Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Di satu sisi, ia merasa lega—masih ada orang yang selamat, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan kesedihan melihat mereka yang perlahan kehilangan nyawa. Dunia ini seolah sedang sekarat, dan tak ada yang bisa mengubahnya.
Namun, Zen tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Ia tahu ia harus segera kembali ke rumahnya. Dengan langkah yang terburu-buru, ia berjalan menuju rumahnya. Setiap langkahnya terasa semakin berat, tubuhnya kelelahan, namun tekad untuk melihat wajah keluarganya membuatnya tak bisa berhenti.
Sesampainya di rumah, pintu yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat. Hati Zen berdebar keras. Ia mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Ia masuk dengan perlahan, berharap akan menemukan mereka di dalam. Namun, yang ia temui hanya kesunyian.
Tidak ada suara tawa, tidak ada wangi makanan yang biasanya tercium, hanya udara dingin yang memenuhi ruangan. Zen berjalan ke setiap sudut rumah, memanggil nama ayah, ibu, dan kekasihnya, Lyra, tetapi tidak ada jawaban. Ketika ia bertanya kepada beberapa tetangga, jawabannya membuat jantungnya hancur.
"Maaf, Zen. Keluargamu... mereka telah pergi beberapa hari yang lalu."
Zen terdiam. Rasanya dunia ini berputar terlalu cepat, dan tubuhnya tidak sanggup menahan kenyataan yang baru saja diterima. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia harapkan untuk kembali—hilang begitu saja dalam sekejap.
Ia merasa tubuhnya kaku, perasaan hampa meresap ke seluruh tubuhnya. Tidak ada yang bisa mengisi kehampaan itu. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan, tidak ada lagi harapan yang tersisa. Seolah semua yang ia lakukan selama ini sia-sia.
Namun, tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Di tengah kesedihan yang menyelubungi hatinya, sebuah suara memanggil namanya.
"Zen..."
Zen menoleh, matanya berkaca-kaca. Dalam kebingungannya, ia melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu, wajahnya basah oleh air mata, namun senyumnya begitu nyata. Mata mereka bertemu, dan sekejap itu, Zen merasa seolah dunia kembali berputar dengan semangat yang baru.
"Lyra!"
Zen berlari ke arahnya tanpa ragu. Ia memeluk gadis itu dengan erat, seakan tidak ingin melepaskannya lagi. Semua perasaan yang selama ini terkunci, segala kesedihan, keletihan, dan kehilangan, keluar dalam isakan yang keras. Ia menangis dengan keras, seolah seluruh beban yang ia bawa selama ini terlepas begitu saja.
Lyra memeluknya balik, menangis bersama, dan dengan lembut membisikkan, "Aku... aku menunggumu."
Mereka berdua saling memeluk, tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Hanya ada rasa yang tak terungkapkan—rasa yang begitu dalam, yang mengikat mereka berdua dalam pelukan itu. Dunia mungkin telah hancur di luar sana, tetapi di dalam pelukan mereka, ada satu hal yang masih hidup: harapan.
Sejak hari pertama ia kembali bertemu dengan Lyra, Zen merasa seolah dunia memberinya kesempatan kedua. Dalam pelukan kekasihnya, ia menemukan kembali alasan untuk hidup, meski dunia di sekeliling mereka perlahan runtuh. Mereka menghabiskan hari-hari bersama di tengah kesunyian desa Shena, mencoba menemukan kedamaian di antara kehancuran.
Namun, takdir tampaknya memiliki rencana lain. Sudah lebih dari sebulan sejak elemen misterius melanda dunia, dan efeknya terus menyebar tanpa ampun. Penyakit aneh yang melanda desa itu perlahan mengambil korbannya satu per satu, dan kini, Lyra menjadi salah satu yang terbaring lemah.
Zen merasakan hatinya seperti teriris setiap kali melihat Lyra terbaring di tempat tidur kecil di rumah mereka. Wajahnya yang dulu bersinar kini tampak pucat, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya yang dulu penuh energi kini begitu lemah hingga sulit untuk bergerak. Zen mencoba segala cara untuk merawatnya—mencari obat, memohon bantuan dari tetangga yang tersisa, bahkan berdoa kepada dewa-dewa yang pernah ia ragukan.
Namun, tidak ada yang berhasil.
Setiap hari, Zen duduk di samping Lyra, menggenggam tangannya dengan erat, seolah dengan sentuhannya ia bisa memberikan kekuatan kepada gadis itu untuk bertahan.
"Lyra, bertahanlah... aku mohon," bisik Zen dengan suara bergetar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Lyra, meskipun lemah, selalu berusaha tersenyum setiap kali melihat Zen. "Aku... aku baik-baik saja, Zen," katanya, meskipun suaranya hampir tidak terdengar. "Kau sudah kembali... itu cukup untukku."
Kata-kata itu membuat Zen semakin hancur. Ia merasa tidak berdaya, tidak mampu melindungi satu-satunya orang yang ia cintai.
Malam itu, Lyra semakin kritis. Napasnya semakin pendek, tubuhnya gemetar seolah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Zen tidak beranjak dari sisinya, menggenggam tangannya lebih erat, memohon kepada siapa pun yang mungkin mendengar doanya.
"Tolong... tolong selamatkan dia. Aku mohon... Aku rela memberikan apa pun, asalkan Lyra bisa hidup," ucap Zen dengan air mata mengalir deras.
Namun, malam itu, dunia tetap bisu. Tak ada jawaban, tak ada keajaiban yang terjadi.
Lyra perlahan membuka matanya yang mulai redup, menatap Zen dengan lembut. "Zen..." bisiknya.
Zen mendekatkan wajahnya, berusaha mendengar dengan jelas. "Aku di sini, Lyra. Aku di sini."
"Terima kasih... karena telah kembali..." ucap Lyra dengan senyuman kecil di wajahnya, sebelum akhirnya napasnya terhenti.
Zen terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Ia mengguncang tubuh Lyra dengan lembut, berharap ia hanya tertidur. Namun, tubuh itu semakin dingin, dan senyum terakhir Lyra tetap terukir di wajahnya, seolah memberi tahu bahwa ia pergi dengan damai.
Tangis Zen pecah. Ia memeluk tubuh Lyra yang tak bernyawa dengan erat, berteriak kepada langit yang gelap, kepada dunia yang tidak adil ini. Semua usahanya, semua doanya, semuanya terasa sia-sia.
Di malam itu, Zen kehilangan segalanya. Cinta yang ia pegang erat telah diambil darinya, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian di dunia ini. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, sebuah tekad mulai tumbuh di dalam hatinya.
Zen menggenggam tubuh Lyra yang kaku, merasakan dinginnya kulit kekasihnya di bawah hujan yang terus turun tanpa henti. Namun, seperti mimpi buruk yang tak berujung, tubuh Lyra perlahan mulai berubah. Kulitnya retak, pecah seperti tanah kering, dan dari setiap retakan itu muncul partikel kecil yang bercahaya samar, perlahan terlepas dari tubuhnya.
"Lyra... tidak... tidak!" Zen berteriak, memeluknya lebih erat, berusaha menghentikan yang tak bisa dihentikan. Namun, dalam hitungan detik, tubuh Lyra lenyap sepenuhnya, menjadi debu yang tertiup angin malam.
Hanya satu benda yang tersisa—cincin kecil yang dulu ia berikan pada Lyra sebagai simbol cinta mereka. Zen menggenggam cincin itu erat, menahannya di dadanya, dan air matanya mengalir tanpa henti.
"Lyra..." Zen berbisik dengan suara serak. "Aku bersumpah... aku akan menghancurkan elemen itu. Aku akan membalas semuanya... meskipun aku harus melawan dunia."
Rasa kesedihan yang mendalam perlahan berubah menjadi kemarahan. Amarah yang tidak bisa dibendung membakar hatinya. Dalam keheningan malam yang sunyi, Zen berdiri dengan tekad yang baru. Ia tahu dunia ini tidak akan memberinya belas kasihan, tetapi ia tidak peduli. Jika dunia ingin membawanya menuju kehancuran, ia akan melawan sampai akhir.
Ia berjalan menuju rumahnya untuk terakhir kali. Di sana, ia membuka sebuah peti kayu tua yang telah diwariskan keluarganya turun-temurun. Peti itu berisi warisan terakhir keluarganya—Jirah Emas Vessalius, zirah milik kakeknya, seorang pahlawan besar yang pernah melindungi negeri Kaveri dari kehancuran ratusan tahun yang lalu.
Zirah itu berkilauan meskipun usianya telah lama berlalu. Di sampingnya, sebuah pedang emas tertata rapi. Pedang itu dikenal sebagai Aurium Blade, senjata legendaris yang hanya diwariskan kepada pewaris darah Vessalius. Zen memandangi pedang itu dengan mata penuh determinasi.
Ia mengenakan zirah emas tersebut. Rasanya berat, tetapi ia merasa seolah kekuatan leluhurnya mengalir ke tubuhnya. Zen menggenggam pedang emas itu dengan tangan kokoh, dan untuk pertama kalinya setelah kehilangan segalanya, ia merasa sedikit lebih kuat.
Tanpa ragu, ia meninggalkan rumahnya, meninggalkan desa Kavaria yang kini tak lagi memiliki kehidupan yang berarti baginya. Ia tidak menoleh ke belakang, karena ia tahu yang tersisa di dunia ini hanyalah dirinya—Zen Vessalius, pahlawan terakhir umat manusia.
Langkah kakinya membawa dia kembali ke medan perang, tempat di mana semua ini bermula. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di sana, tetapi ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan berhenti sampai elemen misterius itu dihancurkan, sampai ia membalas setiap nyawa yang telah direnggutnya, dan sampai dunia memiliki kesempatan untuk kembali hidup.
Dengan hujan yang masih turun deras, Zen berjalan dalam diam. Tidak ada manusia lain, tidak ada suara kehidupan selain derap langkahnya sendiri di atas tanah basah. Setiap langkah membawa berat amarah dan tekad. Di dadanya, cincin milik Lyra tergantung di sebuah rantai kecil, menjadi pengingat akan apa yang telah ia korbankan.
Berhari-hari perjalanan penuh penderitaan, luka, dan kehampaan, akhirnya membawa Zen kembali ke medan perang yang dulu ia tinggalkan—tempat di mana segalanya dimulai. Namun, yang menyambutnya bukanlah medan perang yang ia kenal.
Benteng besar yang pernah berdiri megah kini dikelilingi oleh kabut hitam pekat, sebuah entitas gelap yang seolah hidup, berdenyut, dan bergerak perlahan. Di tengah kabut itu, terdapat cahaya ungu samar yang berpendar seperti denyut jantung, memberikan Zen rasa ngeri dan ketertarikan sekaligus.
Zen merasakan tubuhnya bergetar bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang terus membakar dalam dirinya. Ia tahu, itulah sumber dari elemen yang telah menghancurkan segalanya.
“Ini akhir dari semuanya,” gumamnya, menggenggam pedang emasnya lebih erat. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dan menerjang kabut gelap itu, namun seketika tubuhnya terhempas keras. Aura besar yang menyelimuti kabut itu begitu kuat, seperti dinding tak terlihat yang menolaknya dengan kekuatan luar biasa.
“Tidak mungkin…” Zen bangkit perlahan, napasnya terengah. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. “Aku tidak boleh berhenti. Ini untuk Lyra... untuk semuanya.”
Ia mencoba lagi. Dengan teriakan penuh semangat, ia menyerang kabut itu dengan kekuatan penuh, namun hasilnya tetap sama. Tubuhnya terpental lebih jauh kali ini, menghantam tanah dengan keras. Zen terbaring di sana, merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Kenapa… kenapa aku tidak bisa masuk?” desisnya dengan penuh kemarahan. Ia memukul tanah, frustrasi karena kekuatannya seolah tidak berarti.
Namun, di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba sebuah cahaya putih muncul. Cahaya itu kecil, hampir tidak terlihat di antara kegelapan kabut, namun perlahan mengalir seperti aliran air, mengitari aura besar itu dengan tenang. Zen memperhatikan cahaya itu dengan seksama, dan tanpa ragu ia mengikuti arahnya.
Langkahnya perlahan semakin mantap. Cahaya putih itu membuka jalan yang tidak bisa disentuh oleh kabut hitam. Zen merasa tubuhnya tidak lagi terhempas, seolah cahaya itu melindunginya.
“Apa ini?” pikir Zen, namun ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan lebih jauh. Cahaya itu menuntunnya lebih dekat ke pusat kabut, ke arah cahaya ungu yang berdenyut semakin terang.
Sesampainya di sana, ia berdiri di hadapan elemen itu—sebuah bola energi besar yang memancarkan aura destruktif dan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Dalam momen itu, Zen merasa seolah ia bisa melihat sekilas segala kehancuran yang telah terjadi—kematian, penderitaan, dan kehampaan.
Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya berlangsung dalam sekejap, namun cukup untuk membuatnya ragu. Sekilas, elemen itu menunjukkan masa depan—sebuah dunia yang hancur total, namun perlahan mulai memulihkan diri, dengan cara yang tidak dapat ia pahami.
“Jika aku menghancurkannya… apakah aku akan menghentikan segalanya, atau justru menghapus kesempatan terakhir dunia?” pikir Zen.
Namun, ia tidak punya waktu untuk memikirkan konsekuensinya lebih lama. Dengan segala kemarahan, rasa sakit, dan tekad yang telah ia kumpulkan selama ini, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Untuk Lyra… untuk semuanya…” bisiknya.
Dengan teriakan penuh kekuatan, ia membelah elemen itu dengan satu tebasan pedang emasnya.
Dan dalam sekejap, dunia menghilang.
Zen berdiri di tengah kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, tidak ada apa pun. Ia merasa seperti melayang di ruang tanpa batas, sendirian dalam kegelapan abadi.
“Apa yang telah aku lakukan…?” bisiknya.
Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, sebuah suara bergema di kegelapan.
“Zen Vessalius… pahlawan terakhir dunia… ini adalah awal dari perjalananmu yang sesungguhnya.”
Zen mencoba mencari sumber suara itu, namun ia tidak menemukan apa pun. Kegelapan mulai bergetar, dan perlahan, ia merasakan tubuhnya ditarik menuju sesuatu.
“Apakah ini… akhirku?” pikirnya, sebelum cahaya terang menyilaukan menutupi pandangannya.
Dan sekali lagi, segalanya menjadi gelap.
Bersambung!