Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamer Mertua
Bab 31
Makan siang di rumah Abraham berlangsung dalam suasana yang penuh ketegangan terselubung. Namun, saat mereka baru mulai menikmati makanan, ponsel Zayden bergetar di meja. Dia melirik layar, nama Mikhael muncul di sana.
“Permisi sebentar,” ucap Zayden seraya menjawab panggilan tersebut.
Mikhael berbicara dengan nada mendesak. “Tuan Zayden, ada masalah mendesak di kantor. Proyek merger dengan Mustofa Corp menghadapi kendala besar. Mereka meminta kehadiran Anda sekarang untuk menyelesaikan beberapa negosiasi.”
Zayden menghela napas, meletakkan serbetnya, dan berdiri. “Maaf, aku harus ke kantor. Ini soal proyek penting,” katanya kepada Abraham.
Abraham mengangguk. “Pergilah. Tapi sebelum itu, coba tanya istrimu, bersediakah dia ditinggal di sini.”
Zayden diam sesaat, dia bingung, kakeknya memerintahkan pada istri yang mana? Tapi Zayden berpikir kalau pada Laura tidak mungkin, dia sudah tidak asing di rumah ini.
Zayden kemudian mendekati Elara, membungkuk sedikit agar suaranya hanya terdengar oleh istrinya. “Tunggu aku di sini, jangan pulang dulu. Nanti malam kita bicara lebih banyak.”
Elara mengangguk, meski ia tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.
Setelah Zayden pergi, Abraham menatap kedua wanita di hadapannya. “Laura, Elara, sekarang Zayden sudah pergi. Jika ada hal yang ingin kalian bicarakan satu sama lain, manfaatkan kesempatan ini. Aku ingin kalian, para istri Zayden, bisa saling mengenal lebih baik.”
Laura tersenyum penuh percaya diri, mengambil kesempatan itu untuk menegaskan posisinya di keluarga Levano. “Tentu, Kakek. Elara, aku ingin membicarakan beberapa hal penting, terutama soal keluarga dan perusahaan.”
Elara menatap Laura dengan sedikit ragu, tapi ia berusaha bersikap sopan. “Baik, Mbak Laura.”
Laura mulai berbicara panjang lebar tentang struktur perusahaan Levano Corp, tentang bagaimana Zayden sangat dipercaya oleh Kakek Abraham untuk mengelola berbagai cabang bisnis mereka. Ia juga menyelipkan cerita tentang keluarga Levano, menekankan betapa ia sudah menjadi bagian penting dari keluarga besar itu.
“Kamu tahu, Elara, keluarga ini sangat erat. Mereka menyayangi siapa pun yang menjadi bagian dari mereka, asalkan bisa membuktikan diri,” ucap Laura sambil menatap Elara dengan tatapan tajam tersirat.
Elara mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa semakin kecil di hadapan Laura.
Tiba-tiba, ponsel Laura berdering. Ia mengambilnya dari tas dan melihat nama yang tertera di layar. Senyumnya merekah. “Oh, ini dari Mami Zayden!”
Abraham yang duduk di ujung meja mendengar itu dan tersenyum. “Sudah lama Maminya Zayden tidak ke sini. Bagaimana kabar dia."
Laura mengangguk sopan sebelum menjawab panggilan tersebut. “Mami? Oh, aku baik-baik saja. Ya, tentu, kapan saja. Papinya Zayden juga ingin bertemu? Baiklah, aku akan datang.”
Elara terpaku mendengar itu. Dalam hatinya, ia merasa penasaran sekaligus aneh. Pernikahannya dengan Zayden memang mewah untuk ukuran dirinya, tapi tidak ada kehadiran orang tua Zayden di pernikahan itu. Hal tersebut membuat pernikahan mereka terasa tidak lengkap. Seperti apa mereka sebenarnya? Mengapa mereka tidak hadir di hari itu? pikir Elara.
Setelah telepon berakhir, Laura kembali tersenyum, kali ini dengan kesan angkuh yang tidak ia tutupi. “Mami dan Papi Zayden ingin aku berkunjung. Mereka sudah lama tidak bertemu denganku.”
Selesai makan, Laura meminta izin untuk pergi lebih dulu. Ia berdiri, menghadap Abraham dengan senyum manis. “Kakek, terima kasih atas makan siangnya. Saya akan berkunjung ke rumah Mami dan Papi Zayden.”
Abraham mengangguk. “Baik, hati-hati di jalan. Sampaikan salamku pada mereka.”
Laura kemudian berpaling kepada Elara, memaksakan senyum ramah sambil mengulurkan tangan. “Elara, sampai bertemu lagi. Kita harus sering-sering berbincang, ya.”
Elara mengangguk, dan saat Laura merangkulnya untuk cipika-cipiki, ia berbisik dengan nada sinis;
“Lihat, aku istri yang diakui oleh orang tua Zayden. Tidak seperti kamu.”
Elara tercekat, tapi ia tetap memasang wajah tenang. Saat Laura berbalik dan melangkah pergi, Elara hanya bisa menggenggam tangannya sendiri, berusaha menenangkan emosi yang berkecamuk. Ia tahu, perjalanan sebagai istri kedua Zayden tidak akan pernah mudah.
Setelah kepergian Laura, Elara merasa suasana di meja makan menjadi semakin mencekam. Kini hanya ada dirinya dan Abraham, pria tua yang dikenal sebagai figur berwibawa dalam keluarga Levano, namun bagi Elara, ada sesuatu yang membuatnya merasa waspada.
Dalam pikirannya, Elara mulai mengutuk dirinya sendiri. Kenapa tadi aku tidak meminta ikut dengan Zayden? pikirnya sambil melirik ke arah Abraham yang kini terlihat lebih santai. Keadaan semakin membuatnya tidak nyaman, terlebih mengingat ini rumah Abraham, tempat di mana ia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan.
Ketakutannya menjadi nyata saat Abraham tiba-tiba menyentuh tangan Elara yang berada di atas meja. Sentuhannya terasa dingin, dan senyum samar di wajahnya membuat Elara semakin gelisah.
“Elara, kenapa terlihat ketakutan begitu?” tanya Abraham dengan nada lembut yang justru membuatnya semakin gugup. “Ini pertama kalinya kamu ke sini, ya? Anggap saja rumah sendiri. Sebentar, Kakek akan mengambil sesuatu.”
Abraham bangkit dari kursinya, meninggalkan Elara sendirian di ruang makan.
Saat melihat punggung Abraham yang perlahan menjauh, Elara mulai berpikir liar. Apa yang ingin dia ambil? Apakah itu sesuatu yang berbahaya? Obat bius? Atau sesuatu yang bisa melumpuhkanku?
Elara merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia mulai memikirkan cara untuk melarikan diri dari rumah itu. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu di mana pintu keluarnya. Jika aku mencoba melarikan diri, dia pasti akan tahu.
Matanya melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya. Namun, ruangan itu terlalu bersih dan tertata rapi. Tidak ada benda tajam atau sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melawan jika terjadi sesuatu.
Ia berusaha menenangkan pikirannya. Mungkin aku hanya terlalu paranoid. Mungkin dia hanya akan mengambil sesuatu yang sepele. Tapi kenapa aku merasa tidak aman?
Tak lama kemudian, Abraham kembali. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak kayu kecil berukir yang terlihat antik. Ia tersenyum ramah, namun bagi Elara, senyum itu justru terasa seperti ancaman.
“Ayo, Elara. Ini ada sesuatu yang spesial,” katanya sambil duduk kembali di kursinya. Ia membuka kotak kayu itu dengan perlahan, dan ternyata isinya adalah setumpuk foto-foto lama.
“Ini kenangan keluargaku. Aku ingin menunjukkan padamu siapa saja yang pernah menjadi bagian dari keluarga Levano. Kamu harus mengenal mereka,” ujar Abraham dengan nada penuh nostalgia.
Elara tertegun. Semua kekhawatirannya tadi seolah lenyap, digantikan oleh rasa malu pada dirinya sendiri karena telah berpikir buruk. Namun, ia tetap berjaga-jaga, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan dari pria tua itu.
“Lihat, ini Zayden waktu kecil,” kata Abraham sambil menunjukkan sebuah foto. “Dia sangat dekat dengan kakek saat itu. Aku berharap kamu bisa menjadi bagian yang kuat dalam keluarga ini, sama seperti Laura.”
Elara hanya tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia merasa semakin tertekan oleh tekanan tak terlihat dari keluarga Levano.
Bersambung...