Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Konsekuensi
...----------------...
Bibir Rara berkedut merasa ragu untuk mengatakan 'iya'. Entah kenapa rasanya sulit sekali untuk mengakuinya. Padahal, inilah yang dia minta. Jika orang tuanya tahu kelakuan Ryan yang kurang ajar, tentu lelaki itu akan segera diusir dari rumah kontrakan.
"I—iya, Bu," ucap Rara akhirnya mengaku.
Kedua mata Salma melotot tajam dengan kedua tangan yang dikepal. Langkah kakinya pun dibuat panjang agar segera bisa menggapai Ryan. Namun, sebelumnya perempuan itu mengambil salah satu sandal jepit yang dia pakai.
"Dasar lelaki kurang ajar! Munafik! Udah dikasih kepercayaan, tapi nggak amanah kamu, ya! Berani-beraninya kamu berbuat kurang ajar dengan anak saya, hah! Saya hajar kamu biar tahu bagaimana caranya menghormati anak gadis orang!"
"Aduh, Bu! Ampun, Bu ... ampun!" Ryan memekik kesakitan karena pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan oleh Salma ke sekujur tubuhnya, sedangkan Rara masih diam sebagai penonton saja. Gadis itu ragu hendak melerai mereka karena dia tahu sang ibu sedang membelanya. Begitupun dengan Rendi yang langsung keluar karena mendengar orang yang bertengkar. Anak itu juga hanya bisa memperhatikan.
Akan tetapi, amarah emak-emak itu tidak dapat diredam begitu saja, terlebih ini menyangkut harga diri anaknya. Ryan seperti sedang berusaha memadamkan pelita kehidupan milik Salma. Seorang anak adalah pelita hidup setiap orang tua. Tentu saja Salma harus mati-matian mempertahankan, agar pelita itu tetap bersinar menerangi masa depan keluarganya.
"Heh, ini kenapa ribut-ribut?"
Kedatangan Aji seperti malaikat penyelamat untuk Ryan. Akhirnya, tubuh lelaki itu bisa terbebas dari serangan sendal jepit yang sudah usang.
"Ada apa, sih, Bu? Kenapa mukulin nak Ryan kayak gitu?" tanya Aji kepada istrinya. Salma masih mengatur napasnya yang tersengal karena kelelahan, lalu menghirup napas panjang sebelum mengeluarkannya perlahan. Setelah itu, baru dia menjelaskan.
"Anak kurang ajar ini, Pak. Dia udah dikasih kepercayaan, tapi malah besar kepala. Ternyata apa yang dikatakan Heri waktu itu benar. Lelaki ini memang psi ... psi ... psi apa itu, Ra? Ibu lupa." Salma bertanya kepada anaknya tentang julukan yang Heri berikan kepada Ryan waktu itu. Faktor usia membuatnya sering melupakan kata-kata yang tidak biasa.
"Psikopat, Bu."
"Oh, iya. Psikopat gila, Pak. Dia itu udah terobsesi sama anak kita!" pekik Salma menjelaskan lagi pada suaminya.
Aji bergeming, lalu pandangannya beralih kepada Ryan. Dia tidak bisa menelan mentah-mentah informasi yang dia dengar. "Apa yang dilakukan nak Ryan sampai ibu marah kayak gini?" tanya Aji masih dengan kepala dingin.
"Dia mencium anak kita di depan umum, Pak. Di depan banyak orang! Apa itu nggak gila namanya? Di depan banyak orang aja dia berani, bagaimana kalau di tempat sepi. Hih ... ibu sampai merinding membayangkannya. Kita nggak boleh izinin dia tinggal di sini, Pak. Ibu takut kalau lelaki itu akan beraksi jika Rara sedang sendiri di rumah ini."
Salma berkata panjang lebar mengutarakan kecemasannya tentang keselamatan Rara. Sebagai seorang ibu, Salma harus tetap waspada.
"Itu nggak bener, Pak. Tolong percaya sama saya! Memang benar saya menyukai Rara, tapi saya nggak mungkin berniat untuk menghancurkan masa depannya," sanggah Ryan menjelaskan. Rara yang mendengarnya langsung memicing tajam. Kata-kata yang terlontar dari mulut Ryan apakah bisa disebut sebagai pengakuan cintanya kepada Rara?
"Tuh, kan dia ngaku menyukai anak kita, Pak. Jadi, selama ini kamu udah nguntit anak saya, ya? Kurang ajar! Nggak ada kerjaan kamu, hah!" Salma lagi-lagi menyerang Ryan dengan menggunakan sandal, tetapi kali ini Aji yang langsung melerai.
"Udah, Bu, udah! Kita bicarakan baik-baik. Oke?" Tubuh Salma bisa dikuasai oleh Aji, kemudian menyuruh Rara dan Rendi untuk mengamankan sang ibu. Mereka bertiga berdiri di belakang Aji yang sedang duduk menginterogasi Ryan.
"Sekarang jelaskan sama saya apa yang sebenarnya terjadi, Nak Ryan!" pinta Aji setelah hening beberapa saat.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya berusaha menyelamatkan Rara dari sutradara yang jahat itu."
"Bohong! Itu cuma alibi dia aja, Pak. Rara tahu dia cuma mau menjegal Rara biar nggak jadi artis terkenal nyaingin dia," potong Rara menyanggah perkataan Ryan.
"Apa kamu bilang? Bukannya bapak udah ngelarang kamu melakukan itu? Kenapa kamu nekat juga?"
Rara menutup mulutnya yang tidak sengaja mengaku ingin jadi artis. Gadis itu lupa jika bapaknya itu tidak pernah setuju. "Maaf, Pak. Rara cuma ...."
"Lebih baik kamu introspeksi diri! Kamu juga salah dalam hal ini," titah Aji mengintimidasi. Rara pun tak bisa berkata lagi.
"Anak kita memang salah, Pak, tapi pemuda itu lebih salah dengan mencium paksa anak kita sembarangan di depan banyak orang. Memangnya anak kita itu gadis murahan?"seru Salma ikut membela anaknya.
Aji menghela napas kasar. Kini fokusnya kembali pada Ryan. " Kamu punya buktinya kalau sutradara itu tidak baik?" tanya Aji kemudian.
Ryan mengangguk lalu mengambil ponsel dan menunjukkan bukti rekaman video hasil penyelidikannya selama ini kepada Aji. Video itu berisi tentang rekaman video skandal yang Danang lakukan selama ini dengan beberapa artis pendatang baru yang akan dia rekrut dalam setiap filmnya.
Rara dan Salma pun ikut menonton kecuali Rendi. Rara sengaja menutup mata anak di bawah umur itu agar tidak curi-curi pandang pada video itu.
"Jadi Ryan nggak pernah bohong," ucap Rara lirih hampir tak terdengar oleh siapa-siapa. Tatapannya berubah sendu menatap Ryan dengan perasaan bersalah karena sudah menyebabkannya dipukuli sang ibu. Rara sudah salah paham terhadap lelaki itu.
Aji memberikan kembali ponsel Ryan ketika sudah selesai melihat bukti rekaman. Helaan napas lega pun terlontar ke udara. Dia sangat bersyukur karena Ryan sudah menyelamatkan Rara dari orang bejat seperti Danang.
"Bapak ucapkan terima kasih kalau memang niat kamu seperti itu, tapi perbuatan kamu juga nggak bisa diabaikan begitu aja. Itu juga termasuk tindakan asusila," ujar Aji yang memang benar adanya. Perbuatan Ryan memang di luar kendalinya.
"Saya akan terima apa pun konsekuensinya, Pak. Saya mengaku salah." Ryan menundukkan pandangan.
Rara ingin sekali membela Ryan, tetapi gadis itu terlalu gengsi untuk melakukannya. Setelah melihat bukti kebejatan Danang, perlahan rasa percaya tumbuh kembali di hati Rara. Bahkan lebih besar dari pada sebelumnya.
"Dengan berat hati bapak mau Nak Ryan pindah dari sini. Untuk pembayaran di muka, biar nanti bapak ganti."
Kepala Ryan yang semula menunduk langsung mendongak seketika. Tatapannya terlihat hampa dan napasnya terasa sesak di dada. Sudah susah payah dia mendekati Rara agar dia bisa lebih mudah untuk memupuk lagi cinta mereka. Namun, kenyataan tidak akan selalu manis seperti yang dia idamkan. Kini, Ryan tidak bisa mengendalikan takdir yang baru saja dia ubah di masa depan.
"Baiklah, Pak. Saya akan pindah hari ini." Dengan terpaksa Ryan menyanggupi walaupun hatinya terasa sakit sekali.
...----------------...
...To be continued...
Dukung author dengan, subscribe, like, komentar, dan vote, ya🌹
Terima kasih, sudah setia membaca cerita aku. Berkah selalu 🥰