NovelToon NovelToon
RanggaDinata

RanggaDinata

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: patrickgansuwu

"Rangga, gue suka sama lo!"

Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.



Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13. Menemukan diri sendiri

Fira merasa lega setelah membuat keputusan untuk memberi dirinya sendiri waktu dan ruang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa lebih tenang. Meski Ezra dan Rangga adalah dua pria yang penting dalam hidupnya, ia mulai menyadari bahwa kebahagiaannya tidak bergantung pada siapa pun. Dia butuh memahami dirinya lebih baik, menemukan apa yang ia inginkan sebelum bisa melangkah ke depan.

Namun, meski ia merasa lega, tidak berarti semuanya menjadi mudah. Pagi itu, ketika ia memasuki sekolah, tatapan penuh penasaran dari teman-temannya masih mengikuti setiap langkahnya. Gosip tentang hubungan antara dirinya, Ezra, dan Rangga belum sepenuhnya hilang. Beberapa teman terdekatnya mulai bertanya-tanya, tetapi Fira hanya tersenyum dan menjawab dengan singkat, menghindari pembicaraan panjang. Ia tidak ingin menambah kebingungan di dalam hatinya.

•••

Fira mulai memusatkan perhatian pada hal-hal yang sering ia abaikan. Selama beberapa bulan terakhir, hidupnya seolah hanya berputar di sekitar hubungan cintanya, membuatnya mengesampingkan mimpi dan harapan pribadinya. Ia menyadari bahwa ia butuh waktu untuk merawat dirinya sendiri dan mengejar impian yang telah lama ia tinggalkan.

Salah satu hal yang selalu ia sukai adalah menulis. Fira dulu sering menghabiskan waktu menulis cerita pendek, puisi, atau bahkan mencatat pemikirannya dalam buku harian. Namun, dengan semua yang terjadi antara Ezra dan Rangga, ia hampir melupakan kebiasaannya itu. Kini, ia memutuskan untuk kembali menulis. Bukan hanya sebagai pelarian, tetapi juga sebagai cara untuk mengenali dirinya lebih baik.

Setiap malam, setelah pulang sekolah, Fira duduk di meja belajarnya, menyalakan lampu kecil di sudut kamar, dan mulai menulis di buku catatannya. Kata-kata mengalir bebas, menceritakan tentang kebingungan, cinta, ketakutan, dan harapan. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri, membuka setiap lapisan perasaan yang selama ini terkubur.

Seiring berjalannya waktu, menulis menjadi seperti terapi baginya. Setiap kali ia merasa cemas atau bingung, ia akan mengambil pena dan mencurahkan pikirannya ke dalam halaman-halaman kertas. Perlahan, ia mulai memahami bahwa cinta bukanlah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya. Ada begitu banyak hal lain yang bisa ia kejar, begitu banyak impian yang menunggu untuk diwujudkan.

•••

Suatu sore, setelah beberapa minggu tidak bertemu, Fira menerima pesan dari Ezra. Pesan itu singkat namun penuh makna.

"Fira, gue mau ngomong. Gue janji ini bukan soal kita. Hanya sesuatu yang penting untuk lo tahu. Bisa ketemu di taman?"

Fira merasa sedikit ragu. Ia tidak ingin terjebak dalam percakapan yang membuatnya semakin bingung lagi, tetapi rasa penasaran akhirnya mendorongnya untuk setuju. Taman sekolah yang biasanya sepi saat sore menjadi tempat yang netral untuk pertemuan ini.

Saat Fira tiba, Ezra sudah menunggunya di bangku, dengan senyum yang sedikit kaku. Tidak seperti biasanya, kali ini Ezra tampak lebih tenang, tidak seperti sosoknya yang penuh gairah dan cenderung mendominasi dalam percakapan.

"Thanks udah mau ketemu," ucap Ezra pelan setelah Fira duduk di sebelahnya.

“Lo bilang ada yang penting mau dibicarain?” Fira memulai, mencoba langsung ke inti pembicaraan.

Ezra mengangguk, mengambil napas panjang sebelum mulai bicara. “Iya. Gue udah mikir banyak soal apa yang terjadi di antara kita, dan gue sadar ada sesuatu yang perlu gue kasih tau ke lo.”

Fira menatap Ezra dengan hati-hati, berusaha membaca ekspresinya. Ezra tampak lebih dewasa, lebih siap menghadapi situasi yang sulit, tidak seperti sebelumnya.

“Gue ngerti keputusan lo buat ambil waktu sendiri,” lanjutnya. “Dan gue rasa itu keputusan yang bagus. Tapi ada hal lain yang mungkin lo nggak tau soal gue. Hal yang penting buat gue jujur ke lo.”

Fira merasakan ada ketegangan dalam nada bicara Ezra, dan itu membuatnya semakin penasaran. "Apa yang lo maksud?"

Ezra menatapnya, mata coklatnya tampak dalam dan serius. “Gue udah bilang soal masa lalu gue, kan? Gue pernah terlibat dalam masalah, tapi nggak semuanya gue ceritain. Sebelum gue ketemu lo, gue sebenarnya sempat berurusan dengan obat-obatan. Gue nggak bangga dengan itu, tapi gue pikir lo harus tau.”

Pengakuan Ezra itu membuat Fira terdiam. Meskipun ia tahu Ezra punya masa lalu yang kelam, ia tidak pernah membayangkan sesuatu seberat ini. “Obat-obatan?” tanya Fira perlahan.

Ezra mengangguk, ekspresinya penuh penyesalan. “Waktu itu gue masih muda dan bego, ikut-ikutan temen yang salah. Gue nggak kecanduan berat, tapi cukup buat bikin hidup gue kacau. Setelah gue kenal lo, gue mulai berubah. Gue pengen ninggalin semua itu, dan lo salah satu alasan kenapa gue pengen berubah.”

Fira menatap Ezra dengan campuran perasaan. Di satu sisi, ia merasa kasihan pada Ezra yang harus melewati masa-masa sulit itu. Di sisi lain, ia kagum karena Ezra bisa jujur tentang sesuatu yang begitu pribadi. "Kenapa lo baru cerita sekarang?" tanya Fira, suaranya lembut.

Ezra menunduk, tampak malu. “Gue takut kalau lo tau, lo bakal ninggalin gue. Tapi setelah semuanya yang terjadi, gue sadar kalau gue nggak bisa terus sembunyi dari lo. Lo berhak tau semuanya.”

Fira menarik napas panjang, mencoba memahami apa yang baru saja diceritakan. Bagaimanapun juga, Ezra adalah seseorang yang penting baginya, dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Ezra benar-benar berusaha berubah. "Gue nggak akan ninggalin lo cuma karena masa lalu lo," kata Fira pelan. "Semua orang punya masa lalu, dan yang penting adalah gimana lo sekarang."

Ezra tersenyum kecil, tampak lega. “Gue masih punya banyak hal yang harus gue perbaiki, tapi gue cuma pengen lo tau kebenarannya. Gue nggak minta lo balikan sama gue atau apapun, gue cuma pengen lo ngerti siapa gue sebenarnya.”

Fira mengangguk, dan meskipun ia masih bingung dengan perasaannya sendiri, ia merasa hubungan mereka sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang. Mereka bisa jujur satu sama lain, dan itu adalah langkah besar.

•••

Beberapa hari setelah percakapannya dengan Ezra, Fira masih memikirkan banyak hal. Namun, kini fokusnya tidak hanya pada hubungan asmara. Ia merasa lebih siap untuk menghadapi hidupnya dengan cara yang berbeda. Di sisi lain, pertemuannya dengan Ezra membuka satu pintu, tetapi ada pintu lain yang belum ia selesaikan—Rangga.

Hubungannya dengan Rangga selalu dipenuhi dengan nostalgia. Ada begitu banyak kenangan manis yang mereka bagi bersama, namun kini semua itu terasa lebih rumit. Setelah mengetahui tentang masalah finansial yang dihadapi Rangga, Fira mulai merasa bahwa hubungan mereka tidak bisa sekadar didasarkan pada masa lalu. Ada realita yang lebih besar yang harus mereka hadapi.

Suatu malam, Fira mengirim pesan singkat ke Rangga. "Kita bisa ketemu? Gue perlu bicara."

Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat sekolah, tempat yang sering mereka kunjungi saat masih bersama. Saat Fira tiba, Rangga sudah duduk di sudut ruangan, memandang keluar jendela. Ia terlihat tenang, tetapi Fira bisa melihat ada kekhawatiran di wajahnya.

"Lo baik-baik aja?" tanya Rangga ketika Fira duduk di depannya.

Fira tersenyum lemah. "Gue baik. Gue cuma perlu ngobrol sama lo soal banyak hal."

Rangga mengangguk, menunggu Fira melanjutkan.

"Rangga, gue ngerti lo lagi banyak masalah, dan gue bener-bener pengen bantu lo. Tapi ada satu hal yang gue sadari selama beberapa minggu ini," Fira memulai dengan hati-hati. "Kita nggak bisa terus hidup di masa lalu. Gue tau lo pengen melindungi gue, dan gue tau kita pernah punya sesuatu yang indah. Tapi gue rasa hubungan kita yang dulu udah selesai."

Rangga terdiam, dan Fira bisa melihat kesedihan di matanya. Namun, ia tidak terlihat terkejut. "Gue tau, Fir. Gue udah ngerasain hal yang sama. Meskipun gue masih sayang sama lo, gue juga sadar bahwa kita berdua udah berubah."

Fira merasa lega mendengar kata-kata Rangga. Meskipun sulit, ia tahu bahwa mereka berdua perlu melangkah ke depan, meninggalkan masa lalu yang pernah mereka bagi. Mereka berbicara lebih lama malam itu, membicarakan kenangan, impian, dan masa depan mereka masing-masing. Fira merasa bahwa untuk pertama kalinya, ia dan Rangga benar-benar jujur satu sama lain—bukan sebagai kekasih yang mencoba mempertahankan hubungan, tapi sebagai dua individu yang saling menghargai dan memahami bahwa mereka telah tumbuh menjadi orang yang berbeda.

Setelah percakapan panjang itu, ada kelegaan yang muncul di hati Fira dan Rangga. Meskipun keputusan untuk berpisah bukan hal yang mudah, keduanya tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi harapan yang semu. Mereka mengakhiri pertemuan itu dengan pelukan hangat, bukan sebagai pasangan yang masih berusaha bertahan, tetapi sebagai teman yang pernah berbagi banyak hal.

•••

Malam itu, saat Fira pulang ke rumah, perasaannya bercampur aduk. Ia merasa kehilangan sesuatu, namun di saat yang sama, ia merasa mendapatkan sesuatu yang lebih berharga. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Fira merasa bebas. Ia tidak lagi terjebak di antara dua pilihan yang sulit, tidak lagi dibebani oleh perasaan bersalah atau kebingungan. Ia merasa telah mendapatkan kembali kendali atas hidupnya.

Keesokan harinya, Fira bangun dengan semangat baru. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan meski hubungannya dengan Ezra dan Rangga telah mencapai akhir yang berbeda, ada banyak hal lain yang harus ia kejar. Ia memutuskan untuk lebih fokus pada dirinya sendiri—pendidikannya, mimpinya, dan hal-hal yang membuatnya bahagia.

Fira juga mulai lebih serius mengejar hobinya dalam menulis. Ia mendaftar ke beberapa lomba menulis cerpen dan mulai mengirimkan karyanya ke beberapa media online. Setiap kali ia menulis, ia merasa lebih mengenal dirinya sendiri, lebih memahami emosi dan pikirannya. Menulis menjadi sarana untuk merangkai kehidupannya yang baru, tanpa tekanan dari hubungan atau cinta yang belum saatnya ia jalani.

•••

Dalam beberapa minggu berikutnya, Fira perlahan-lahan membangun rutinitas yang membuatnya lebih bahagia. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman, berfokus pada akademik, dan tentunya, terus menulis. Ezra dan Rangga masih ada dalam hidupnya, tetapi dalam kapasitas yang berbeda. Mereka saling menghargai ruang dan waktu yang dibutuhkan masing-masing.

Setiap kali Fira memikirkan masa lalunya, ia tidak lagi merasa terbebani. Ia tahu bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidupnya, bagian dari proses tumbuh dewasa. Di masa depan, mungkin ia akan bertemu orang baru, mungkin ia akan jatuh cinta lagi. Tapi untuk saat ini, Fira merasa cukup dengan dirinya sendiri. Ia sudah menemukan apa yang paling penting—kedamaian dalam dirinya.

Dan itu adalah awal dari bab baru dalam hidupnya.

1
Rea Ana
wes fir.... fir... semoga kau tak stress, hidup kau buat tarik ulur, pusing dibuat sendiri
Rea Ana
fira labil
Rea Ana
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!