Sifa Kamila, memilih bercerai dari sang suami karena tidak mau diduakan. Ia pun pergi dari rumah yang dia huni bersama Aksa mantan suami selama dua tahun.
Sifa memilih merantau ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan kosmetik sebagai Office Girls. Mujur bagi janda cantik dan lugu itu, karena bos pemilik perusahaan mencintainya. Cinta semanis madu yang disuguhkan Felix, membuat Sifa terlena hingga salah jalan dan menyerahkan kehormatan yang seharusnya Sifa jaga. Hasil dari kesalahannya itu Sifa pun akhirnya mengandung.
"Cepat nikahi aku Mas" Sifa menangis sesegukan, karena Felix sengaja mengulur-ulur waktu.
"Aku menikahi kamu? Hahaha..." alih-alih menikahi Sifa, Felik justru berniat membunuh Sifa mendorong dari atas jembatan hingga jatuh ke dalam kali.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Tamunya sudah datang Abah" kata emak, serentak abah dan emak bergegas keluar diikuti Sifa. Sifa memandangi pria yang baru turun dari mobil. Baju koko warna putih, surban melilit di leher, jenggot dibiarkan panjang tapi tidak tebal. Adeemm... bagi siapapun yang menatap. Sifa sudah bisa menyimpulkan bahwa pria itu karismatik, tetapi bagi Sifa tentang hati dan perasaan tidak bisa dipaksa.
"Assalamualaikum..." Ucap si pria fasih. Ia melangkah berwibawa naik ke teras rumah diikuti remaja putri berhijab mirip sekali dengan si pria. Sifa sudah bisa menebak jika pria ini yang akan dijodohkan dengannya.
"Waalaikumsallam..." Sifa, emak dan abah menjawab bersamaan.
"Maaf Imah... kami terlambat sedikit" ucap wanita paruh baya bersama suami istri yang turun belakangan karena ke bagasi dulu ambil parsel, kemudian memberikan kepada putrinya.
"Nggak apa-apa Mbak yu, mau datang jam berapa pun kami tunggu, lagi pula baru terlambat lima menit kok" Emak tersenyum ramah.
Di dekat pintu, Sifa memperhatian emak yang nampak bahagia. Mempunyai besan dan menantu ustadz dan ustadzah adalah cita-cita beliu. Sementara abah pun sedang tertawa dengan calon besan entah apa yang mereka bicarakan, karena suara kedua sahabat itu sangat kencang.
Tawa abah berhenti ketika Ustad muda menjabat tangan abah, kemudian menangkupkan kedua telapak tangan kepada emak dan Sifa. Ustad melirik Sifa sekilas kemudian beralih ke sembarang arah.
"Ini pasti Sifa" ujar wanita paruh baya setelah cipika cipiki dengan emak pun tersenyum kepada Sifa yang masih berdiri di belakang abah. "Putrimu cantik sekali Imah" lanjutnya, yang ia maksud adalah Fatimah nama emak Sifa.
"Alhamdulillah..." Emak tersenyum.
"Sifa... sini" Emak menarik tangan Sifa yang hanya diam entah apa yang dipikirkan putrinya itu, ia minta agar Sifa mendekat kepada calon mertua.
"Tante..." Sifa pun akhirnya salim tangan.
Emak mengajak tamunya masuk dilanjutkan ngobrol basa basi. Sementara Sifa ke dapur menyaring teh tubruk yang sudah dibuat oleh emak di teko, kemudian menuang ke dalam gelas.
"Assalamualaikum..." Adik ustadz menyusul Sifa ke dapur, rupanya gadis itu ingin mengenal Sifa lebih dekat.
"Eh Zulfa, kamu sekolah kelas berapa?" Sifa menoleh ke kiri, tangannya tetap mengaduk teh.
"Kelas tiga SMA, Mbak" Gadis itu merasa penasaran dengan Sifa yang sebentar lagi akan menjadi kakak ipar. "Mbak cantik sekali pasti Mas Miftah jatuh cinta pada pandangan pertama" Zulfa menambahkan. Dia saja langsung senang dengan Sifa apa lagi sang kakak.
Klontang.
Sendok yang Sifa pegang pun jatuh karena terkejut dengan ucapan gadis di sebelahnya. "Kakak kamu namanya Miftah?" Sifa segera melempar pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu, tetapi untuk menghilangkan rasa kaget.
"Iya Mbak... Mas Miftah itu belum pernah dekat dengan wanita, makanya begitu mendengar Mbak pulang dari Jakarta, Abi ingin segera melamar Mbak Sifa"
"Sudah selesai, kita bawa ke depan yuk" Sifa mengalihkan, karena tidak mau mendengar tentang perjodohan.
"Mari Mbak" Zulfa membawa kue, sementara Sifa membawa nampan berjalan lebih dulu ke ruang tamu.
Tiba di sana, sifa mendengar perbincangan serius antara emak, abah, dan kedua orang tua ustadz. Tentu saja membicarakan tentang perjodohan itu. Sifa tetap tenang meletakkan gelas di depan para tamu satu perasatu. Sekilas Sifa menatap ustadz yang tidak ikut terlibat dalam pembicaraan. Ternyata pria religius itu memilih membaca buku karangan salah satu ustadz ternama di Indonesia.
"Sifa... dan kamu Miftah. Kami selaku orang tua sepakat ingin menjodohkan kalian. Tentu saja kami tidak ingin terburu-buru. Untuk itulah, kami ingin memberi waktu kalian selama tiga bulan agar saling mengenal lebih dulu" tutur Abi bijak, tidak mau memaksa Miftah dan Sifa.
"Sekarang Abi ingin bertanya kepada kamu Sifa, apakah kamu bersedia menjadi pendamping anak saya?" Tanya Abi menatap Sifa yang masih duduk diam, tetapi terkejut ketika mendengar pertanyaan Abi.
Hening, di ruang tamu hingga beberapa detik kemudian, Sifa menarik napas panjang. "Maaf sebelumnya Bapak... Ibu... seperti yang sudah saya katakan kepada Abah dan Emak, saya tidak akan merubah keputusan saya. Saya menolak perjodohan ini" tolak Sifa tegas tetapi sopan.
Abah dan emak saling pandang, kecewa jelas iya. "Lalu apa alasan kamu menolak Nak Miftah, Sifa?" Abah malu kepada kedua orang tua Miftah.
"Maaf Abah... Emak... sebenarnya aku sudah punya calon sendiri" Sifa mengatakan sebenarnya ingin cerita jika ada pria yang menyukai dirinya, tetapi belum sempat bicara abah dan emak sudah ngebet ingin menjodohkan dirinya.
Abah menahan kesal, padahal beliau sudah mengatakan tidak percaya lagi dengan pria pilihan Sifa, tetapi ia tidak mau berbicara di depan para tamu.
"Oh... kami hargai keputusan kamu Nak Sifa" Abi tentu tidak mau memaksa.
"Lalu bagaimana dengan kamu Miftah?" Abi mengalihkan pandanganya dari Sifa ke arah putra pertamanya.
"Eeemm..." Miftah berdehem. Lalu merubah posisi duduknya dengan tegap tidak bersandar lagi, kemudian meletakkan buku di kursi sebelah.
"Abi... Umi... sesungguhnya saya pun sudah mencintai wanita lain, dan saat ini kami sedang ta'arub. Sebenarnya dalam waktu dekat saya akan mengenalkan kepada Abi dan Umi" Miftah pun sebenarnya kaget karena tiba-tiba saja kedua orang tuanya mengajak silaturahmi ke rumah abah dan emak tanpa mengajaknya berunding lebih dulu.
Sifa tiba-tiba saja mengangkat kepala lalu tersenyum kepada Miftah, begitu juga dengan Miftah.
"Maaf Abdul, saya terpaksa membatalkan perjodohan ini" Abi minta maaf kepada abah.
"Iya, rupanya anak kita tidak berjodoh" ucap abah penuh sesal.
Mereka pun akhirnya melanjutkan obrolan ringan sebagaimana sahabat, tidak lagi menyinggung tentang perjodohan.
"Assalamualaikum..." ucap seorang pria dari luar. Mendadak obrolan berhenti menoleh ke arah pintu termasuk Sifa.
"Alvin..." Sifa hafal dengan suara pria itu lalu berlari mengangkat gamis hingga menampakkan celana panjang bagian dalam. Sifa lupa jika sedang menunjukkan sikap anggun kepada keluarga ustadz, walaupun sebenarnya ia wanita tengil.
"Al, kamu tahu darimana kalau aku di sini?" Sifa terkejut tiba-tiba saja Alvin sudah berada di rumah. Sifa mendadak telmi jika Alvin akan mudah menemukan Sifa dengan gps.
Bukan menjawab, Alvin justru kaget melihat penampilan Sifa yang jauh lebih cantik saat mengenakan jilbab, daripada rambut tergerai. "Kamu lebih baik mengenakan pakaian seperti ini Sifa" Alvin menyarankan.
"Aku belum siap Al" Sifa merasa bahwa hatinya masih dipenuhi dendam, sehingga merasa belum pantas berpakaian tertutup. "Masuk Al" Sifa masuk diikuti Alvin.
Semua yang berada di ruang tamu menatap pria tampan yang berjalan di belakang Sifa.
"Oppa korea..." Zulfa tersentak kaget menatap pria yang mirip sekali dengan Lee Min Ho itu. Walaupun pendiam rupanya gadis itu klepek-klepek juga melihat pria tampan.
"Abah... Emak... ini Alvin calon suami aku" Sifa mendorong Alvin hingga ke depan. Alvin melongo hampir pingsan seperti ayam negri mendengar suara petasan, lantaran terkejut mendengar Sifa yang mengenalkan dirinya sebagai calon suami.
"Calon suami?" Batin Abah menatap Alvin yang masih mematung di tempat.
"Sifa... ikut Abah" Abah menarik tangan Sifa mengajaknya menyingkir.
...~Bersambung~...