Mira Elvana tidak pernah tahu bahwa hidupnya yang tenang di dunia manusia hanyalah kedok dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Dibalik darahnya yang dingin mengalir rahasia yang mampu mengubah nasib dua dunia-vampir dan Phoenix. Terlahir dari dua garis keturunan yang tak seharusnya bersatu, Mira adalah kunci dari kekuatan yang bahkan dia sendiri tak mengerti.
Ketika dia diculik oleh sekelompok vampir yang menginginkan kekuatannya, Mira mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah gadis biasa. Pelarian yang seharusnya membawa kebebasan justru mempertemukannya dengan Evano, seorang pemburu vampir yang menyimpan rahasia kelamnya sendiri. Mengapa dia membantu Mira? Apa yang dia inginkan darinya? Pertanyaan demi pertanyaan membayangi setiap langkah Mira, dan jawabannya selalu membawa lebih banyak bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon revanyaarsella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31: Kebenaran yang Tersembunyi
Mira memandangi bayangan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Tatapan matanya kosong, lelah dengan segala beban yang terus menghimpitnya. Dinding-dinding batu yang kokoh terasa semakin sempit, seolah-olah menjeratnya dalam dunia yang penuh misteri. Cahaya bulan yang menembus celah jendela menyinari wajahnya, memperlihatkan guratan perasaan yang ia coba sembunyikan dari semua orang, bahkan dari dirinya sendiri.
Hati kecilnya dipenuhi pertanyaan—tentang siapa dirinya yang sebenarnya, tentang kekuatan yang tersembunyi dalam darahnya, dan tentang Evano. Sebuah rahasia besar mengelilingi pria itu, membuatnya tak pernah benar-benar bisa menebak apa yang sedang Evano pikirkan. Setiap pertemuan mereka selalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Mira segera mengalihkan tatapannya dari cermin, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu siapa yang datang. Langkah kaki yang selalu tenang namun membawa aura dingin itu milik Evano. Sesaat kemudian, pintu terbuka dan sosok tinggi pria itu masuk ke dalam ruangan. Evano berdiri di sana, diam, memandang Mira dengan tatapan tajam yang biasa ia tunjukkan—tatapan yang selalu berhasil membuat perasaan Mira tak menentu.
“Kenapa kau masih di sini?” Suara Evano terdengar dingin, hampir tak berperasaan. Namun di balik nada keras itu, ada sesuatu yang Mira rasakan. Sebuah kekhawatiran, mungkin. Atau bisa jadi hanya khayalannya saja. Di hadapan Evano, sulit untuk membedakan antara kenyataan dan perasaan yang ia ciptakan sendiri.
"Aku... hanya ingin berpikir," jawab Mira pelan, berusaha menahan getaran dalam suaranya.
Evano menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik wajah tenang Mira. “Berpikir tentang apa?” tanyanya, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Mira terkejut, tetapi ia tidak menunjukkan reaksi itu.
Tentang apa aku berpikir? Mira bertanya pada dirinya sendiri. Ada terlalu banyak hal. Tentang kekuatannya, tentang Evano, tentang masa lalunya yang terus menghantuinya. Namun, tak ada satu pun yang bisa ia ungkapkan.
“Segalanya,” jawab Mira akhirnya, tatapannya menatap keluar jendela. Ia berharap Evano akan pergi setelah itu, seperti biasanya. Tapi tidak. Pria itu malah mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis.
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Mira.” Suara Evano rendah, hampir seperti bisikan. “Aku bisa melihatnya.”
Mira terdiam. Ada keinginan untuk menceritakan segalanya, tentang perasaannya yang semakin tak terkendali, tentang kekuatan yang terus tumbuh di dalam dirinya, dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika ia kehilangan kendali. Namun, sesuatu menahannya. Mungkin karena Evano sendiri selalu menjaga jarak, menyimpan begitu banyak rahasia. Bagaimana ia bisa mempercayai seseorang yang tak pernah benar-benar terbuka?
“Begitu banyak yang kau sembunyikan juga, Evano,” balas Mira, nadanya sedikit lebih tajam. “Jadi jangan bertanya tentang apa yang tidak kau siap untuk dengar.”
Kata-kata itu menghantam Evano dengan keras. Untuk sesaat, ada kilatan emosi di matanya, sesuatu yang Mira tak pernah lihat sebelumnya. Namun, seperti biasa, Evano segera menyembunyikannya di balik ekspresi dinginnya.
“Ini bukan tentang aku,” jawabnya dingin. “Ini tentangmu. Tentang apa yang terjadi padamu.” Ia mendekatkan dirinya lebih lagi, dan kali ini Mira bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan sikap dingin yang selalu ia tunjukkan. “Kau berbeda. Sesuatu berubah dalam dirimu.”
Mira menahan napas. Benar, ada sesuatu yang berubah. Kekuatan api dalam dirinya semakin tak terkendali, dan dengan setiap hari yang berlalu, darah vampir yang mengalir di nadinya semakin sulit untuk diabaikan. Namun, itu bukan sesuatu yang ia ingin bagikan dengan Evano, atau dengan siapa pun.
“Kau tak perlu khawatir tentangku, Evano,” kata Mira, kali ini dengan suara yang lebih tegas. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Evano terdiam, namun matanya tetap terpaku pada Mira. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sebuah rasa peduli yang sangat dalam namun tersembunyi di balik lapisan ketidakpedulian. Lalu, perlahan, Evano berbalik. “Jika itu yang kau mau,” katanya singkat, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Mira merasakan sepi yang luar biasa memenuhi ruangan. Meski ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tak membutuhkan siapa pun, terutama Evano, tetapi hati kecilnya tahu itu tak sepenuhnya benar. Ada sesuatu tentang pria itu yang selalu menariknya, meski ia tak tahu mengapa. Namun, ia juga tahu bahwa bersama Evano selalu berarti menempatkan dirinya di ambang bahaya—baik fisik maupun emosional.
Mira kembali memandang cermin di hadapannya. Wajah yang terpampang di sana bukanlah wajah yang sama seperti dulu. Ada sesuatu yang lain kini, sebuah kegelapan yang perlahan menyelimuti cahaya yang dulu pernah ia miliki. Apakah ini takdirnya? Apakah kekuatan yang semakin tumbuh dalam dirinya ini akan membawanya menuju kehancuran, ataukah ada cara lain untuk menaklukkan kekuatan tersebut tanpa mengorbankan dirinya?
Malam itu, Mira tak bisa tidur. Pikirannya terus dihantui oleh percakapannya dengan Evano, dan oleh kekuatan api yang mengalir deras dalam darahnya. Di tengah kegelapan malam, Mira merasakan perutnya bergejolak, panas menjalar dari dalam dirinya. Ia berusaha mengendalikan, namun semakin ia mencoba menahan, semakin kuat kekuatan itu meresap ke seluruh tubuhnya. Sampai akhirnya, ia tak sanggup lagi.
Cahaya merah kekuningan memenuhi kamar kecil itu. Api yang berasal dari dalam dirinya menyala, membakar udara di sekitarnya. Mira terengah-engah, berusaha menghentikan ledakan energi itu, namun usahanya sia-sia. Ia tahu, saat ini ia bukan lagi sekadar setengah Phoenix. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya, yang sedang bangkit.
Di tengah kobaran api, Mira merasakan kekuatan lain di dalam dirinya, kekuatan yang lebih gelap, lebih dalam—darah vampirnya yang selama ini ia abaikan. Ada dorongan kuat yang memaksanya menerima sisi itu, sisi yang selama ini ia tolak karena takut akan apa yang mungkin terjadi. Namun, sekarang, semuanya terasa berbeda. Mungkin ia tak bisa menghindarinya lagi.
Malam itu, Mira memahami satu hal: untuk bertahan hidup di dunia yang penuh konflik ini, ia harus menerima seluruh bagian dirinya—baik sebagai Phoenix maupun vampir. Tak ada lagi ruang untuk ragu. Hanya dengan kekuatan penuh itulah ia bisa melawan kekuatan besar yang sedang mengintai, kekuatan yang bahkan Evano pun tak akan bisa menghadapinya sendirian.
---
Pagi datang dengan keheningan. Namun di balik keheningan itu, ada ketegangan yang menggantung di udara. Mira bangun dengan tubuh yang lemas, namun pikirannya dipenuhi oleh keputusan yang ia buat semalam. Di luar pintu kamarnya, Evano sudah menunggunya. Tatapan pria itu lebih tajam dari biasanya, seolah ia tahu apa yang telah terjadi.
“Kita harus bicara,” kata Evano tanpa basa-basi.
Mira mengangguk, dan mereka berjalan bersama menuju ruang terbuka di luar kastil. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun langit mulai cerah. Mereka berhenti di sebuah lapangan kosong, di mana hanya ada mereka berdua.
“Ada sesuatu yang perlu kau ketahui,” kata Evano, suaranya serius. “Aku sudah lama menyembunyikan ini darimu, tapi sekarang waktunya kau tahu.”
Mira menatapnya, bingung sekaligus penasaran. Ia bisa merasakan bahwa apa yang akan diungkapkan Evano bukanlah hal kecil. Di dalam dirinya, ada rasa takut sekaligus rasa penasaran yang membara.
“Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?” Mira bertanya, mencoba menahan getaran dalam suaranya.
Evano menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Semua yang kau tahu selama ini… mungkin tidak seperti yang kau bayangkan. Ada kebenaran lain tentang asal-usulmu, tentang kekuatanmu, dan tentang kenapa kau menjadi target.”
Mira terdiam, dadanya berdegup kencang. Ia tahu ini bukan sekadar rahasia biasa. Ini adalah sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
“Kau bukan hanya setengah Phoenix dan setengah vampir, Mira,” lanjut Evano. “Kau lebih dari itu.”
Perasaan aneh melanda Mira. Apa maksud Evano? Lebih dari setengah Phoenix dan vampir? Tapi sebelum ia bisa menanyakan lebih lanjut, Evano menatapnya dengan intens.
“Kau adalah kunci dari sebuah ramalan kuno,” katanya perlahan. “Sesuatu yang bisa menghancurkan dunia ini… atau
“... menyelamatkannya,” lanjut Evano dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.
Mira merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Kata-kata itu menembus setiap lapisan keraguannya, membuat tubuhnya bergetar oleh rasa takut yang bercampur dengan rasa penasaran yang tak terkendali. "Ramalan kuno?" gumamnya, seakan tak yakin pada apa yang baru saja ia dengar. "Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku menjadi bagian dari sesuatu sebesar itu?"
Evano menarik napas panjang sebelum menjawab, "Ramalan itu menyebutkan tentang makhluk yang lahir dari dua kekuatan purba—Phoenix dan vampir. Makhluk itu akan memiliki kemampuan untuk membawa dunia supernatural ke dalam keseimbangan atau kehancuran. Kau, Mira, adalah makhluk itu."
Mira menggelengkan kepalanya, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. "Itu tidak mungkin... Aku hanya ingin tahu asal-usulku, Evano. Bukan menjadi pusat dari ramalan yang menentukan nasib dunia."
Evano tetap tenang, meskipun Mira dapat melihat bayang-bayang kelelahan dalam tatapannya. "Aku tahu ini sulit untuk kau terima, tapi ini adalah kenyataan. Kita semua sudah melihat pertanda. Kekuatan api dalam dirimu semakin besar, darah vampir dalam dirimu semakin kuat, dan sekarang, setiap faksi mulai memusatkan perhatian mereka padamu. Baik kaum Phoenix maupun vampir sudah mengetahui bahwa waktunya semakin dekat. Sebentar lagi, mereka akan bertindak."
Mira mengernyit, pikirannya bercampur aduk. Semua ini terlalu cepat, terlalu besar. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Evano. "Aku bahkan belum bisa mengendalikan kekuatanku. Bagaimana mungkin aku bisa... menghentikan sesuatu sebesar ini?"
Evano menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—ada sesuatu yang lebih dalam di sana, sesuatu yang hampir membuat Mira merasa bahwa pria ini peduli lebih dari yang ia tunjukkan. "Itulah mengapa aku di sini," katanya pelan, "untuk melindungimu, dan untuk membantumu memahami kekuatanmu. Tapi kau harus membuat pilihan, Mira. Kau harus memutuskan apakah kau akan menerima takdir ini, atau berlari darinya. Dan percayalah, lari tidak akan membawa kita ke mana pun."
Mira terdiam, kata-kata Evano menghantamnya seperti badai. Pilihan itu begitu besar, begitu menakutkan. Tapi, dalam hatinya, ia tahu ia tak bisa terus bersembunyi dari kenyataan. Selama ini, ia telah mencoba menolak sisi gelap dalam dirinya, mencoba lari dari fakta bahwa ia lebih dari sekadar manusia setengah Phoenix dan vampir. Tapi kini, ia tak lagi memiliki kemewahan untuk lari.
"Aku tidak bisa memilih jika aku tidak tahu apa yang aku hadapi," kata Mira akhirnya, mencoba menegaskan suaranya yang mulai bergetar. "Kau mengatakan semua ini padaku, tapi kau belum benar-benar memberitahu siapa musuhku. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"
Evano terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Ada kelompok yang disebut Kuil Kegelapan, mereka sudah lama menunggu kedatanganmu. Mereka percaya bahwa ramalan itu adalah kunci untuk kebangkitan kekuatan kuno yang bisa menghancurkan tatanan dunia supernatural. Mereka ingin menggunakanmu untuk tujuan mereka, memanfaatkan kekuatanmu demi ambisi mereka sendiri."
Kuil Kegelapan. Nama itu bergaung dalam pikiran Mira, membawa bayang-bayang kelam. “Dan kau?” tanya Mira, kini dengan lebih banyak kecurigaan dalam suaranya. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Evano?”
Evano tak segera menjawab. Dia menatap Mira dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu untuk mengungkapkannya. "Aku ada di sini untuk memastikan kau tak jatuh ke tangan mereka. Dan... untuk memastikan kau membuat pilihan yang benar."
"Pilihan yang benar?" Mira tersenyum getir. "Siapa yang bisa menentukan mana yang benar? Kau? Atau aku?"
Keheningan menggantung di antara mereka. Saat itu, Mira sadar bahwa Evano, meskipun selalu tampak tenang dan dingin, menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rahasia. Dia sendiri terlihat terperangkap dalam pertarungan batinnya, seolah-olah ada beban yang ia tanggung namun tak bisa ia bagi dengan siapa pun.
"Aku bukan musuhmu, Mira," kata Evano akhirnya. "Percayalah, aku di sini untuk memastikan kau tidak dihancurkan oleh kekuatan yang kau miliki."
"Dan bagaimana jika aku ingin menggunakannya?" Mira menantang, meskipun di dalam hatinya ia belum benar-benar yakin pada kata-katanya sendiri. "Bagaimana jika aku tidak ingin menghindari takdirku?"
Evano menatapnya dengan tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata Mira. "Maka, itu adalah jalan yang berbahaya," katanya pelan. "Jalan yang bisa membawamu pada kehancuran."
Mira merasa ada sesuatu yang retak di dalam dirinya. Ketakutan, kebingungan, dan kemarahan bercampur menjadi satu. “Dan siapa yang bisa menghentikanku kalau aku memilih jalan itu?” desaknya, matanya bersinar tajam.
Evano mendekat, suaranya rendah namun penuh peringatan. “Aku akan menghentikanmu, Mira. Meski itu berarti harus melawanmu.”
Kata-kata itu membuat jantung Mira berdebar kencang. Ada ancaman yang nyata di baliknya, tapi juga rasa sakit yang terpendam dalam nada Evano. Untuk pertama kalinya, Mira merasakan betapa rumitnya hubungan mereka. Bukan hanya sekadar sekutu atau musuh, tapi lebih dari itu—sesuatu yang ia belum bisa sepenuhnya pahami.
“Aku tahu kau tidak ingin memilih jalan itu,” lanjut Evano, nadanya lebih lembut sekarang. “Ada lebih banyak hal dalam dirimu selain kekuatan dan takdir. Kau masih punya pilihan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik dari semua itu.”
Mira menatapnya, matanya penuh kebingungan dan harapan yang samar. “Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya dengan suara bergetar.
Evano menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab, “Kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu. Aku akan membantumu. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang kekuatanmu. Ini tentang siapa dirimu sebenarnya.”
Mira terdiam, merenungkan kata-kata itu. Siapa dirinya sebenarnya? Itu adalah pertanyaan yang selalu membayangi pikirannya sejak awal, tapi kini terasa semakin mendesak. Di hadapannya ada jalan yang berliku, penuh dengan bahaya dan ketidakpastian. Namun, untuk pertama kalinya, Mira merasakan sesuatu yang berbeda—keinginan untuk menemukan jawabannya, untuk tidak lagi lari dari kenyataan.
"Baik," kata Mira akhirnya, suaranya penuh ketegasan. "Aku akan belajar. Aku akan menghadapi semua ini, apapun yang terjadi."
Evano mengangguk pelan. "Kita mulai besok," katanya. "Dan satu hal lagi, Mira..."
Mira mengangkat alis, menunggu kelanjutan kata-kata Evano.
"Apapun yang terjadi di masa depan, jangan pernah lupa siapa dirimu. Kau bukan hanya Phoenix atau vampir. Kau adalah Mira. Itu lebih penting dari semuanya."
Mira terdiam. Kata-kata itu, meski sederhana, menggema dalam hatinya. Siapa dirinya sebenarnya—itulah yang akan menentukan semua yang terjadi selanjutnya. Dan, meskipun masih ada ketakutan dan keraguan, untuk pertama kalinya, Mira merasa siap untuk menghadapi masa depannya.
...dengan keyakinan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Takdir mungkin telah menetapkan jalurnya, tetapi pilihan tetap berada di tangannya.
Malam itu terasa berbeda. Saat Mira menatap langit malam dari jendela kamarnya, bintang-bintang bersinar terang, seakan memberikan isyarat bahwa semuanya belum berakhir. Di kejauhan, bayangan bulan perlahan tertutup oleh awan gelap yang bergulung—sebuah pertanda akan badai yang akan datang.
Namun kini, Mira tidak lagi merasa kecil di hadapan badai itu. Meski dia masih jauh dari memahami kekuatan penuh di dalam dirinya, dia tahu bahwa Evano benar. Pertarungan ini lebih dari sekadar kekuatan atau warisan darahnya. Ini tentang bagaimana dia memilih untuk menggunakan kekuatan itu, bagaimana dia memilih untuk menjalani hidupnya.
Pagi berikutnya, seperti yang dijanjikan, Evano menemui Mira di ruang latihan. Matahari pagi mulai menghangatkan tanah, dan udara segar menyelimuti halaman kastil yang luas. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan saat mereka berdua berdiri di tengah lapangan. Evano menatap Mira dengan pandangan penuh perhatian, dan Mira, meskipun merasa canggung, berusaha menunjukkan ketenangan.
“Kita mulai dengan dasar,” kata Evano, suaranya tegas. “Ini bukan hanya soal kekuatan fisik atau sihir. Kau harus belajar mengendalikan dirimu sendiri terlebih dahulu.”
Mira mengangguk, siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Ia tahu, jalan ini akan panjang dan sulit, tetapi kali ini dia tidak lagi takut. Bersama Evano, dia akan mempelajari cara untuk mengendalikan api Phoenix dalam darahnya, menghadapi kegelapan vampir yang membayanginya, dan—pada akhirnya—membentuk masa depannya sendiri.
Pertarungan mereka baru saja dimulai, dan takdir yang tersembunyi dalam darah Mira kini siap untuk diungkap.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan keras. Setiap pagi, Mira dan Evano bertemu di halaman kastil, di mana mereka mengasah keterampilan fisik dan mental Mira. Latihan dimulai dengan pengendalian napas dan konsentrasi, hal-hal sederhana yang, menurut Evano, sangat penting untuk menguasai kekuatan yang jauh lebih besar.
"Fokus," perintah Evano suatu pagi. "Kekuatanmu berasal dari dalam, tetapi jika kau tidak bisa mengendalikannya, itu akan menghancurkanmu."
Mira menghela napas dalam, menutup matanya, mencoba merasakan energi yang berputar dalam tubuhnya—campuran api dan kegelapan. Setiap kali ia merasa berada di ambang pengendalian, api Phoenix-nya menggelegak di dalam, membakar kontrolnya, sedangkan sisi vampirnya menariknya kembali ke dasar kegelapan. Selalu ada pertarungan dalam dirinya, sebuah tarikan antara dua kekuatan yang tidak pernah benar-benar seimbang.
Di sore hari, mereka berlatih fisik. Pertarungan jarak dekat menjadi prioritas utama, karena Evano tahu musuh yang akan mereka hadapi tidak akan memberikan ruang sedikit pun untuk kesalahan. Mira harus belajar bertarung tanpa mengandalkan kekuatan magisnya, karena ada kalanya sihir tidak akan cukup.
"Kau terlalu banyak berpikir," tegur Evano saat mereka terlibat sparing. "Di medan perang, instingmu adalah segalanya."
Mira menghindar dari serangannya yang cepat, tetapi sebuah tendangan dari Evano mendarat di sisi tubuhnya, membuatnya terhuyung. "Kau akan mati jika tidak lebih cepat!" seru Evano.
Mira menggeram dalam frustrasi, mencoba kembali berdiri, tetapi tubuhnya masih terasa lemah dari latihan yang tak kenal henti.
"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," lanjut Evano, nadanya lebih lembut sekarang. "Ini proses. Kau tidak akan menjadi kuat dalam sehari."
Mira menatapnya, menahan amarah yang muncul di dalam dirinya. Namun di balik itu, dia tahu Evano benar. Ada jalan panjang yang harus dilalui sebelum dia bisa menguasai kekuatannya sepenuhnya.
Malamnya, ketika tubuhnya kelelahan, Mira duduk di tepi ranjang, memandangi jari-jarinya yang gemetar. Bekas luka-luka kecil dari latihan hari itu mulai memudar berkat regenerasi cepat darah vampirnya, namun rasa sakit emosional tidak bisa hilang secepat itu. Dia menginginkan kekuatan—tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk mengubah nasibnya. Namun, semakin dalam ia menggali, semakin banyak ketakutan yang muncul.
Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Kuil Kegelapan semakin mendekat, dan dengan setiap latihan, Mira merasakan tekanan yang menumpuk. Mereka menginginkannya, mereka melihatnya sebagai alat untuk memenuhi ambisi mereka.
Tapi, di tengah segala kekacauan itu, Evano tetap berada di sisinya. Ia tidak pernah mengatakan lebih dari yang perlu, namun kehadirannya menjadi jangkar bagi Mira. Setiap kali ia hampir menyerah, tatapan tenang dan kuat dari Evano mengingatkan Mira bahwa dia tidak sendirian.
Beberapa minggu kemudian, ketika Mira mulai menunjukkan kemajuan dalam pengendalian dirinya, sebuah kabar buruk datang.
Evano menemukannya di ruang latihan sore itu, wajahnya tampak tegang. "Mereka sudah bergerak," katanya singkat.
Mira menghentikan latihannya, tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. "Siapa? Kuil Kegelapan?"
Evano mengangguk. "Mereka telah menyerang salah satu markas vampir di perbatasan. Mereka mencari cara untuk menemukanmu lebih cepat."
Mira menelan ludah, rasa cemas mengalir dalam dirinya. “Berapa lama waktu yang kita miliki sebelum mereka menemukan kita?”
Evano menatapnya dengan serius. “Tidak lama. Kita harus bersiap. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan."
Mira merasa jantungnya berdetak semakin cepat, tetapi kali ini bukan karena ketakutan semata. Di dalam dirinya, sesuatu mulai bangkit. Kekuatan itu, yang selama ini ia takuti, kini mulai mengalir dengan lebih terkendali. Dia bukan lagi gadis yang sama yang dulu hanya ingin tahu tentang asal-usulnya. Sekarang, dia siap menghadapi apa pun yang akan datang.
"Kalau begitu, kita lawan mereka," kata Mira dengan suara yang tegas.
Evano mengangguk. “Aku harap kau siap, Mira. Karena setelah ini, tidak ada jalan kembali.”
Malam itu, Mira berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi bulan yang hampir tertutup awan gelap. Udara dingin menyelimuti kastil, namun ada api yang menyala di dalam dirinya—bukan hanya api Phoenix yang selalu ia rasakan, tetapi juga tekad baru yang semakin kuat. Keheningan malam terasa seperti ketenangan sebelum badai besar.
Sementara itu, Evano berada di ruangan sebelah, mempersiapkan strategi mereka. Pikirannya sibuk, namun fokus. Dia tahu bahwa Kuil Kegelapan tidak akan memberikan mereka banyak waktu, dan setiap langkah yang mereka ambil sekarang harus tepat.
Mira berjalan keluar dari kamarnya dan menemukan Evano di ruang taktik yang diterangi oleh cahaya lilin. Peta besar tersebar di meja di depannya, dengan tanda-tanda merah menunjukkan lokasi perbatasan dan markas Kuil Kegelapan yang telah mulai bergerak.
“Kita akan bertarung di wilayah ini,” kata Evano sambil menunjuk ke sebuah area di ujung peta, “tepat di perbatasan antara wilayah vampir dan Phoenix.”
Mira mendekat, memperhatikan tanda-tanda itu. “Mengapa di sana? Apakah itu lokasi terbaik?”
Evano mengangguk. “Ini adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa menghadapi mereka dengan kekuatan yang setara. Jika kita bisa memotong akses mereka ke sumber daya utama di wilayah itu, kita bisa memperlambat pergerakan mereka, memberi kita waktu lebih untuk bersiap.”
Mira mengangguk, mencerna informasi tersebut. “Dan berapa lama sampai mereka tiba?”
Evano menatap Mira, matanya serius. “Dua hari. Kita harus bergerak cepat.”
Dua hari kemudian, mereka berdiri di perbatasan. Di kejauhan, suara-suara samar dari pasukan Kuil Kegelapan mulai terdengar, seperti gerakan bayang-bayang yang mendekat dari arah yang tak terlihat. Pasukan kecil yang setia pada Evano dan Mira telah bersiap, namun jumlah mereka tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki Kuil.
“Aku tahu ini akan sulit,” kata Mira dengan tenang, menatap medan di depannya. “Tapi aku siap.”
Evano menatapnya, melihat perubahan dalam dirinya. Dia bukan lagi gadis yang rapuh dan penuh kebingungan seperti ketika pertama kali mereka bertemu. Ada sesuatu yang lebih besar dalam dirinya sekarang—sebuah keberanian yang baru saja ditemukan.
“Tetap di sisiku,” kata Evano. “Kita akan melawan mereka bersama.”
Suara langkah kaki semakin mendekat. Kabut tebal mulai melingkupi daerah perbatasan, membuat suasana semakin mencekam. Mira merasakan darahnya mendidih, kekuatan Phoenix dan vampir di dalam dirinya mulai bangkit, tetapi kali ini, ia tidak lagi takut pada kekuatan itu. Ia mengendalikannya.
“Kita harus mengatur strategi serangan dengan hati-hati,” lanjut Evano, pandangannya tetap waspada pada gerakan musuh. “Jika kita bisa memecah formasi mereka, kita punya peluang.”
Mira memejamkan mata sejenak, merasakan setiap elemen di sekitarnya. Angin, tanah, api di dalam dirinya—semuanya terasa lebih nyata. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting.
Ketika suara langkah itu akhirnya terdengar jelas, Mira membuka matanya. “Mereka datang,” bisiknya.
Pertempuran pecah dalam sekejap. Pasukan Kuil Kegelapan menyerbu dari balik kabut dengan serangan yang cepat dan brutal. Evano bergerak dengan lincah, bertarung dengan kecepatan yang nyaris mustahil diikuti mata manusia. Di sisi lain, Mira mengeluarkan api dari dalam dirinya, membakar musuh-musuh yang mendekat.
Namun, Kuil Kegelapan bukan musuh biasa. Mereka dipimpin oleh sosok misterius yang dikenal dengan nama Althea, seorang penyihir kuno yang konon memiliki kekuatan yang mampu menyaingi Phoenix dan vampir sekaligus.
Althea muncul dari balik kabut, mengenakan jubah hitam yang melambai di udara. Matanya bersinar merah, penuh kebencian dan ambisi. “Jadi inilah pewaris ramalan,” katanya dengan suara dingin saat pandangannya tertuju pada Mira. “Kau akan menjadi milikku.”
Mira merasakan sesuatu yang aneh saat mata Althea menatapnya—seolah-olah ada kekuatan yang berusaha menariknya ke dalam kegelapan. Namun, kali ini, Mira tidak mundur. Dengan kekuatan baru yang telah ia kuasai, dia melawan tarikan itu, mengerahkan api Phoenix di sekitarnya hingga menghasilkan lingkaran perlindungan.
“Aku bukan alatmu,” kata Mira dengan tegas. “Aku yang menentukan takdirku.”
Althea tersenyum sinis. “Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan.”
Dengan sebuah gerakan cepat, Althea melancarkan serangan sihir kegelapan yang langsung menyerang Mira. Namun sebelum sihir itu mencapai tujuannya, Evano melompat di hadapan Mira, menghalangi serangan tersebut dengan pedangnya. Sihir Althea pecah, tetapi dampaknya masih terasa—Evano terhuyung ke belakang, terluka.
“Evano!” teriak Mira, matanya melebar saat melihat darah di tangan Evano.
Evano menahan sakitnya, tetapi tetap berdiri teguh. “Jangan khawatirkan aku. Fokus pada Althea.”
Mira tahu dia tidak punya waktu untuk ragu. Althea harus dihentikan, dan hanya dia yang bisa melakukannya. Dengan napas yang dalam, Mira memanggil kekuatan penuh Phoenix di dalam dirinya. Api biru menyala di sekelilingnya, membuat udara di sekitarnya menjadi panas.
Althea terkejut melihat transformasi Mira. “Kau berani melawanku dengan kekuatan itu? Kau bahkan belum sepenuhnya menguasainya!”
“Cukup untuk mengalahkanmu,” jawab Mira tegas.
Pertempuran terakhir antara Mira dan Althea menjadi pusat dari segala kekacauan yang terjadi di perbatasan. Api biru Mira dan kegelapan Althea bertabrakan dalam ledakan energi yang begitu dahsyat hingga tanah di bawah mereka bergetar. Ini bukan hanya pertempuran fisik—ini adalah pertarungan kekuatan jiwa.
Dan ketika pertarungan mencapai puncaknya, Mira merasakan sebuah ledakan kekuatan dari dalam dirinya yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia melampaui batasan kekuatannya, menyatukan kedua sisi dalam dirinya—Phoenix dan vampir—menjadi satu kesatuan yang sempurna.
Dalam sebuah gerakan cepat, Mira melepaskan serangan terakhir yang membakar kegelapan Althea hingga habis. Jeritan Althea terdengar sebelum dia akhirnya lenyap dalam kobaran api.
Ketika kabut perlahan memudar dan suara pertempuran mereda, Mira berdiri di tengah medan pertempuran yang sepi, napasnya berat namun penuh kemenangan. Pertarungan ini baru awal, tetapi untuk pertama kalinya, Mira merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.
Mira berdiri diam di tengah medan yang sunyi, hanya suara angin malam yang tersisa setelah kekacauan tadi. Asap masih mengepul di sekelilingnya, bekas-bekas api biru yang masih menyala samar di tanah tempat Althea lenyap. Sisa pasukan Kuil Kegelapan telah mundur, melarikan diri setelah melihat pemimpin mereka dikalahkan. Namun Mira tahu, ini belum berakhir. Althea mungkin sudah tiada, tetapi ancaman dari Kuil Kegelapan masih ada, dan mereka akan kembali dengan kekuatan lebih besar.
Evano, yang terluka, perlahan berjalan mendekat ke arah Mira. Mata mereka bertemu sejenak, tanpa perlu berkata-kata. Ada pengertian yang mendalam dalam keheningan itu. Mira berlutut di sampingnya, memeriksa luka di sisi tubuhnya yang masih mengeluarkan darah gelap.
"Kau baik-baik saja?" Mira bertanya dengan suara pelan, cemas namun tegas.
Evano mengangguk lemah, meskipun wajahnya menahan rasa sakit. "Hanya sedikit tergores. Tidak seburuk yang terlihat."
Mira tetap tak tenang. "Kita harus segera kembali ke kastil. Kau butuh perawatan."
Evano menatapnya, senyum samar muncul di wajahnya. "Kau lebih hebat dari yang kubayangkan, Mira. Kau telah mengalahkan Althea."
Mira hanya mengangguk kecil, namun di dalam hatinya ia tahu, kemenangan ini belum sepenuhnya terasa sebagai kemenangan. Masih ada banyak hal yang perlu dihadapi. Kuil Kegelapan tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan kembali, dan kali ini mereka akan lebih siap.
Malam semakin larut ketika mereka akhirnya kembali ke kastil. Setibanya di sana, para pelayan dengan sigap membantu Evano menuju ruang perawatan, sementara Mira berdiri sendirian di halaman kastil. Pikirannya melayang jauh, memikirkan apa yang akan datang selanjutnya.
Tak lama kemudian, Serena, salah satu penasihat kerajaan dan sekutu dekat Evano, muncul dari pintu kastil. Wajahnya serius, tetapi matanya penuh penghargaan. “Apa yang kau lakukan hari ini adalah keajaiban, Mira. Kita semua berhutang padamu.”
Mira menggeleng pelan. “Ini belum selesai, Serena. Kuil Kegelapan masih ada. Aku bisa merasakannya.”
Serena mendekat, menatap Mira dalam-dalam. “Dan kau telah menunjukkan bahwa kau mampu menghadapinya. Kekuatan yang ada di dalam dirimu… Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Kau adalah harapan kita.”
Kata-kata Serena seolah membawa beban besar pada Mira. Harapan. Itu adalah kata yang berat. Selama ini, Mira hanya berjuang untuk memahami siapa dirinya sebenarnya, untuk mengendalikan kekuatan yang begitu kuat dan tidak seimbang. Namun sekarang, semua itu berubah. Dia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh dunia yang dipenuhi oleh konflik kekuatan gelap dan terang.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Mira bertanya setelah keheningan yang panjang.
Serena menarik napas panjang. “Evano memiliki beberapa rencana. Tapi sebelum itu, kau perlu beristirahat. Pertempuran hari ini hanya permulaan. Kau akan membutuhkan semua kekuatanmu untuk menghadapi apa yang ada di depan.”
Mira mengangguk, meskipun ia tahu bahwa hatinya tidak akan mudah untuk beristirahat. Namun, saat ia berbalik menuju kamarnya, suara gemerisik di udara menarik perhatiannya. Suara itu bukan berasal dari angin malam. Mira berhenti, memejamkan mata sejenak untuk mendengarkan lebih jelas.
“Ada sesuatu di luar sana,” bisiknya.
Serena menegang. “Apa maksudmu?”
Mira membuka matanya, mengalihkan pandangannya ke hutan yang mengelilingi kastil. “Aku tidak yakin... Tapi aku merasa ada yang mendekat.”
Dalam sekejap, Mira memutuskan. “Aku harus menyelidikinya.”
Serena hendak menolak, namun pandangan Mira sudah bulat. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mira berlari keluar dari halaman kastil menuju hutan, di mana kegelapan menyembunyikan segala rahasia. Dia melangkah cepat di antara pepohonan yang tinggi, mengikuti suara samar yang ia rasakan.
Saat dia semakin dalam ke hutan, bayangan besar muncul di hadapannya. Dari kegelapan, muncul sosok misterius—seorang pria bertudung dengan mata merah menyala yang tajam. Mira mengenali tanda itu, dan jantungnya berdetak kencang.
“Kau...” bisiknya.
Pria itu tersenyum tipis. “Akhirnya kita bertemu, Mira. Pewaris ramalan.”
Mira menatap pria bertudung itu dengan hati-hati. Kegelapan di sekitarnya terasa begitu sunyi, hanya ada suara angin malam yang berhembus pelan. Mata merah pria itu terlihat penasaran, seperti dia sudah lama menunggu pertemuan ini.
"Siapa kau?" tanya Mira dengan suara tegas, meskipun hatinya masih penuh kebingungan. Pria itu tampak seakan-akan menyatu dengan kegelapan di sekelilingnya.
Pria bertudung itu melangkah mendekat, sinar bulan samar menerangi sebagian wajahnya. "Namaku Rayan," katanya perlahan, suaranya terdengar menggema di antara pepohonan. "Aku... adalah utusan Kuil Kegelapan."
Mira mencengkeram pedangnya lebih erat, siap untuk menghadapi apa pun. "Pasukan Kuil Kegelapan sudah mundur. Kau seharusnya pergi bersama mereka."
Rayan hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku berbeda dari mereka. Aku datang ke sini untukmu, Mira. Kekuatan yang kau keluarkan hari ini... aku tak bisa mengabaikannya."
Mira menatapnya penuh curiga. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Rayan mendekat, cukup dekat hingga Mira bisa merasakan hawa dingin yang memancar dari dirinya. "Ini bukan soal apa yang kuinginkan," ucap Rayan sambil menatap Mira dengan tajam, "melainkan soal apa yang kau butuhkan."
Mira merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Kata-kata Rayan membuatnya merasa tidak nyaman, seolah pria ini tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia inginkan.
"Kau adalah pewaris ramalan, Mira," lanjut Rayan. "Kau mungkin sudah mulai merasakannya—kekuatan di dalam dirimu, perpaduan antara Phoenix dan vampir. Itu bukan kebetulan. Kau adalah kunci keseimbangan antara terang dan gelap."
Mira menggeleng, berusaha menolak perkataan Rayan. "Aku bukan kunci apa pun. Aku hanya ingin menghentikan Kuil Kegelapan dan melindungi orang-orang yang aku cintai."
Rayan kembali tersenyum, kali ini dengan nada simpati. "Kau belum mengerti segalanya. Kuil Kegelapan tidak hanya berperang untuk kekuasaan. Mereka ingin mendapatkanmu."
Mira merasakan ketidaknyamanan semakin besar di dalam dirinya. "Mereka menginginkanku?"
Rayan mengangguk. "Ada sesuatu dalam darahmu, sesuatu yang mereka butuhkan untuk menguasai dunia ini. Kekuatanmu, perpaduan antara dua dunia—Phoenix dan vampir—adalah kunci yang hilang dari ritual mereka."
Mira mundur sedikit, merasa seperti terjebak dalam situasi yang tak ia mengerti. "Lalu, apa yang kau inginkan? Menggunakan aku juga?"
Rayan terdiam sejenak, menundukkan kepalanya sebelum menatap Mira kembali. "Aku berbeda dari yang lain di Kuil. Aku tidak ingin menghancurkan dunia ini. Sebenarnya, aku datang untuk memperingatkanmu."
"Mewaspadakanku tentang apa?" Mira bertanya, masih belum sepenuhnya mempercayai pria itu.
“Evano,” jawab Rayan dengan serius, “dia tidak seperti yang kau kira.”
Mira merasakan jantungnya berdetak kencang mendengar nama Evano. "Apa maksudmu?"
Rayan menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Evano memiliki hubungan lebih dalam dengan Kuil Kegelapan daripada yang kau tahu. Dia menyimpan rahasia besar, Mira. Rahasia yang, jika kau ketahui, bisa mengubah segalanya."
Mira merasa terkejut. Evano, orang yang selalu berada di sisinya, mendukungnya, bahkan terluka untuk melindunginya—bagaimana mungkin dia terlibat dengan musuh yang telah mereka lawan bersama?
"Ini bohong," Mira menolak dengan tegas. "Evano telah berjuang bersamaku. Dia tidak mungkin berhubungan dengan Kuil."
Rayan tersenyum pahit. "Kau tidak harus percaya sekarang. Tapi ingatlah, waktumu semakin sedikit. Tidak semua orang di sekitarmu seperti yang terlihat."
Sebelum Mira bisa merespons, Rayan mulai mundur ke dalam kegelapan, seolah bayangan hutan menelannya kembali. "Kita akan bertemu lagi, Mira," katanya. "Ketika kebenaran terungkap, kau akan tahu di mana mencariku."
Mira berdiri diam, menatap saat bayangannya menghilang di antara pepohonan. Pikirannya berputar, dipenuhi oleh kata-kata Rayan. Apakah mungkin? Apakah Evano benar-benar menyembunyikan sesuatu darinya? Tapi mengapa?
Saat dia kembali ke kastil, pikirannya masih kacau. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertarungan antara kekuatan. Dan Mira tahu, jawabannya harus ditemukan sebelum semuanya terlambat.