WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersama Ludira
31.>>Bersama Ludira
Saat ini Agraven sedang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup mewah dan dulu pernah ia tempati. Rumah tempat sebuah kejadian fatal pernah terjadi. Rumah yang tidak ingin ia injakkan kakinya lagi untuk masuk ke dalamnya. Rumah tempat semuanya di mulai.
Ia sedang menunggu kakaknya di dalam.
"Segitu nggak maunya kamu masuk, sampe-sampe rela berdiri di sini," celetuk Ludira yang baru keluar.
"Kamu nggak kenapa-napa? Apa yang terjadi?" tanya Agraven cukup khawatir.
Ludira tersenyum singkat. "Ternyata kamu masih khawatir sama kakak," balasnya terkekeh sinis.
"Maksudnya?" bingung Agraven.
"Kakak kira setelah menikah, kamu bakal lupa. Kamu bakal lupa kehadiran kaka--"
"Maksud kamu ngomong gini apa, Kak?" tanya Agraven menyelidik. "Nggak setuju sama keputusan aku?"
"Bukan gitu ... kakak cuma nggak mau kehilangan sosok kamu. Kakak nggak mau kehilangan kebahagiaan kakak lagi, Rav," ungkap Ludira sedih. Matanya menatap Agraven dengan sendu.
Paham dengan apa yang ditakutkan oleh sang kakak, Agraven langsung menarik sang kakak ke dalam dekapannya.
"Itu nggak akan. Sebelum punya Aza, aku cuma punya kamu, Kak."
"Itu yang nggak gue suka. Gue mau jadi yang satu-satunya di kehidupan, lo." batin Ludira.
"Kita mau kemana?" tanya Ludira setelah masuk ke dalam mobil Agraven.
"Hmmm, ke tempat iblis," jawab Agraven. Namun, matanya menajam saat mengatakan iblis. Aura di dalam mobilnya berubah menjadi mecengkam. Baik dari Agraven, maupun Ludira. Keduanya sama-sama menahan gejolak emosi mereka.
Setelah 30 menit dalam perjalanan, mereka berhenti di dekat pinggiran hutan. Agraven sengaja berhenti. Sebenarnya ia sudah tidak sabar bertemu dengan dua manusia yang sangat berpengaruh terhadap hidupnya. Namun, ia harus mengabari seseorang terlebih dahulu.
"Kenapa berhenti?" tanya Ludira heran.
"Sebentar. Mau telepon Galva dulu."
"Kenapa nelepon Galva? Kamu nggak ada niatan buat ngajak si berisik itu--"
"Aku suruh dia jagain Aza di rumah," potong Agraven. Ludira langsung membuang mukanya.
Segitu berdampak sosok Aza di kehidupan Agraven, pikir Ludira.
Memberi perhatian kecil kepada Aza di depan Ludira, itu sama halnya ia menanam benih dendam dalam diri Ludira. Dendam yang sangat mudah tumbuh.
Setelah selesai menelepon Galva, Agraven melanjutkan perjalanannya untuk lebih masuk ke kawasan hutan yang sepi.
Membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam, akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah tua dengan aura yang menyeramkan. Tidak lupa beberapa orang yang berjaga dengan pakaian hitam di sekelilingnya.
Agraven dan Ludira segera keluar dari mobil. Kedatangan mereka disambut dengan hormat oleh orang-orang yang berpakaian hitam tersebut.
"Selamat datang, Tuan, Nona." Salah satu pria menyapa mereka. Agraven hanya mengangguk, sedangkan Ludira hanya memasang wajah datarnya. Sangat berbeda dengan Ludira jika berada di kampus.
"Ayo," ajak Agraven menarik tangan Ludira dengan lembut untuk masuk.
Setelah masuk, Agraven dan Ludira segera menuju ke sebuah ruangan tempat dua orang yang ingin mereka temui.
Cklk
Setelah pintu terbuka, dua orang yang paling Agraven benci di dunia langsung tertangkap oleh netranya.
Satu orang perempuan dengan kaki dipasung dan kedua tangan di ikat ke atas. Kondisi tubuh sudah sangat kurus, kulit yang dulunya putih bersih sekarang berubah menjadi kusam dan kotor, pakaian yang dulunya selalu tampil anggun dan rapi sekarang menjadi penuh bercak noda dan darah.
Tidak jauh dari dekatnya, seorang laki-laki tidak jauh berbeda darinya. Di sekitar wajah sudah dipenuhi rambut-rambut. Rambutnya sudah sangat panjang karena beberapa tahun tidak pernah dipotong.
"Hallo orang tua, apa kalian sudah tua dan menderita?" sapa Agraven terkekeh, lalu duduk di salah satu kursi di depan kedua orang itu.
"Kapan mati?" tambah Agraven. Sapaan yang membuat siapapun merinding melihat aura yang ditunjukannya.
"R-Raven--"
"Sudah saya tekankan, jangan sebut nama saya dengan mulut itu!" potong Agraven tajam.
"Owhhh, Nyonya Rysa sayang. Jangan menangis, adikku hanya mengingatkan kau, bukan mencoba membunuh engkau," ujar Ludira menunduk di depan wanita itu. Namun, wajahnya menatap sinis kepada wanita itu.
"S-sayang, bebaskan Ma-Mama, Nak ...."
"Mama? Mamaku sudah mati, Nyonya. Jangan berhalu." ledek Ludira tertawa.
"Apa yang kalian lakukan, kita ini orang--"
"Orang biadab!" potong Agraven cepat.
"Rav, kuku aku gatel ... pingin nancap di mata dia." Ludira mengadu kepada Agraven sambil menunjuk wanita yang bernama Risa.
"Silahkan," jawab Agraven santai. Seketika wajah Ludira berbinar. Ia berjongkok di depan Risa, lalu tersenyum manis.
"Apa yang kau lakukan, Dira? Dia Mamamu!" cegah laki-laki di samping Rysa.
Ekspresi Ludira terlihat kagum. "Sungguh cinta yang luar biasa. Lihatlah Nyonya Rysa, suamimu sangat sayang kepadamu. Kalian selalu saja kompak, bahkan berbuat kesalahan besar sekalipun. Ah, iya. Kompak juga membuat--"
"Cepat tancapkan kuku, lo! Nggak usah ungkit," potong Agraven. Jika sudah lo-gue, tandanya Agraven sudah kelewat emosi.
"Baik adikku sayang," balas Ludira tersenyum.
"D-Dira, kamu jangan macam-macam sama Mama, kamu-AAKKHHH!" jeritan kesakitan memenuhi ruangan itu.
Rysa merasakan matanya sangat perih dan sakit, kepalanya menjadi sangat pusing. Ingin menahan tindakan gila Ludira, tapi tangannya terikat kuat.
"Cukup! Biarkan mereka mati dengan sendirinya. Jika langsung menghadapi kematian, itu terlalu disayangkan," cegah Agraven.
"Tapi gue masih mau main, Rav!"
"Cari mangsa yang lebih kuat, jangan orang lemah," cibir Agraven. Ludira hanya memberengut kesal.
Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, Agraven dan Ludira segera pergi dari rumah tua itu.
"Kenapa nggak langsung bunuh aja, sih?" kesal Ludira.
"Sia-sia gue bawa mereka dari penjara kalo mereka langsung menikmati kematian," jawab Agraven.
"Iya juga, sih."
Agraven melajukan mobilnya keluar dari kawasan hutan.
"Sekarang mau ke mana?" tanya Ludira.
"Maunya, hm?"
"Makan!" jawabnya antusias.
Agraven mengangguk, tangannya mengusap puncak kepala kakaknya.
"Gue nggak akan biarin lo ambil waktu Agraven buat gue, Azalea."
Agraven membawa Ludira ke salah satu cafe tempat biasa mereka makan.
"Mau pesan apa?" tanya Agraven.
"Yang kayak baisa aja," jawab Ludira.
Setelah memesan, mereka dilanda keheningan. Agraven yang memikirkan Aza dan Ludira yang fokus melihat akun instagramnya.
Pesanan mereka telah datang, tetapi Ludira masih fokus pada ponselnya.
"Hei. Ayo makan, setelah ini pulang. Gue khawatir Aza main ke taman belakang dan bertemu Elder," kata Agraven.
"Hah?" bingung Ludira.
Agraven lantas menggeleng, lalu mengusap puncak kepala Ludira.
Tanpa berbicara lagi, Ludira dan Agraven fokus ke makanannya.
"Itu kenapa?" celetuk Ludira melihat di luar cafe, tepatnya di jalanan.
"Ngapain rame-rame?" tanya Ludira penasaran.
"Biarin aja. Mungkin kecelakaan," jawab Agraven santai.
"Gue pingin lihat," kata Ludira, lalu langsung keluar dari cafe.
Agraven hanya memutar bola matanya malas. Itu bukan urusannya, jadi ia tidak penasaran.
Setelah beberapa menit, Ludira kembali dengan cerita yang ia dapat.
"Woy! Lo tau nggak kecelakaan itu gara-gara, lo!" kata Ludira heboh.
"Hah?" bingung Agraven. Kenapa gara-gara dia?
"Itu, ada cewek hamil lihat lo, dikira lo itu suaminya yang lagi selingkuh!"
"Kenapa gue?" tanya Agraven tidak tertarik.
"Baju lo sama suaminya sama!"
"Oh," jawabnya singkat.
"Sialan!" kesal Ludira.
Panggilan mereka selalu random. Tergantung mood masing-masing.
***
Di tempat lain. Aza dan Galva sedang duduk di teras rumah besar Agraven. Aza sengaja duduk lesehan. Dengan menurut Galva mengikutinya.
"Degem! Lo nggak enek makan telur itu?" tanya Galva.
"Enggak. Soalnya Aza suka banget telur mata kambing," jawabnya tersenyum.
"Buset! Mata sapi kali."
"Aza maunya mata kambing, Banggal. Jadi diam aja," protes Aza.
"Oke, mata kambing. Kayaknya laki sama bini nggak ada yang mau mengalah sama gue," ujar Galva dramatis.
"Hm, kak Agraven ke mana emangnya, Banggal?" tanya Aza.
"Gak tau gue. Dia cuma bilang suruh ke sini, padahal gue lagi jemurin baju," adu Galva.
"Aza boleh tanya sesuatu tentang kak Agra?" tanya Aza.
"Boleh, dong. Mumpung orangnya gak ada, gue pasti jawab!" seru Galva semangat.
"Orang tuanya kak Agra di mana? Aza belum pernah liat dan mendengar tentang mereka?"
Ekspresi wajah Galva terlihat tegang. Cepat-cepat iya mengembalikannya seperti semula. Lalu tertawa masam.
"Orangtuanya? Gue juga kagak tau, Degem! Raven nggak pernah cerita juga," jawab Galva. Berbohong.
"Bukannya Banggal udah kenal kak Agra dari SMP?"
"Iya betul! Hebat, kan, gue bisa sabar sama dia hahaha."
"Lalu?"
Galva menghela napas kesal. "Ya Agra nggak pernah cerita sama gue, Degeeeemm! Gue juga nggak pernah lihat mereka," kesalnya sambil mencabuti rumput di depannya dengan geram.
Aza tertawa melihat itu.
"Aza ke belakang bentar, ya, Banggal. Haus, mau minum," ujarnya. Galva mengangguk tersenyum.
Aza langsung menuju dapur sambil membawa piring bekas ia makan, lalu minum hingga satu gelas tandas.
Setelah itu ia kembali ke depan, tapi sebelum keluar dari area dapur. Ia merasa penasaran dengan pintu yang selalu tertutup rapat. Namun, kuncinya tergantung di samping daun pintu.
Tau, 'kan jika rasa penasaran tidak segera dituntaskan itu rasanya gimana?
Itulah yang Aza rasakan. Tidak mau kepikiran karena rasa penasarannya, ia membuka pintu tersebut.
Setelah terbuka, ia tidak menemukan apa-apa. Hanya jalan menuju taman belakang yang terlihat luas. Kakinya terus melangkah untuk mencari sesuatu yang bisa membuatnya tertarik.
"Nggak ada apa-apa di sini," gumamnya.
Tepat saat ingin berbalik, sesuatu berjalan ke arahnya dari samping.
"KYAAAAAAA! HEWAN KEBUN BINATANG LEPAS!!" teriak Aza kencang.
To be continued....