DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM15
"KYAAAAA! MALING! ADA MALING!" Jerit wanita berambut pirang dengan telunjuk mengarah padaku.
Jeritan wanita itu membuat orang-orang di acara itu mulai berkerumun. Beragam tatapan mereka layangkan kepadaku. Sinis, jijik, marah, ada juga yang menatap ku dengan tatapan iba.
"Astaga, darah! Itu darah ...!" seorang pria menunjuk-nunjuk ke arah ku.
"Security, mana security?! Usir bocah itu dari sini!"
"Telfon polisi!"
"Jangan ada yang mendekat pada anak itu, bisa saja dia mempunyai senjata. Bisa saja ini merupakan jebakan dari tindak kejahatan terbaru!"
"Wah, gila, dia berlumuran darah!"
Aku kebingungan mendengar semua ocehan mereka. Aku mencoba untuk mendekat dengan menunjukkan dua potong ayam dalam genggaman.
"Aku hanya ingin mak-"
"JANGAN MENDEKAT! TETAPLAH DI SANA, DASAR BOCAH KOTOR!" Hardik wanita pirang yang pertama kali memergoki aku.
Kaki ini mendadak terpaku dan bergetar.
"Aku tidak jahat kok," gumam ku nyaris tak terdengar.
Lututku semakin lemas saat melihat dua pria berbadan tegap dengan tulisan security di seragamnya, mendekat ke arah ku.
"B-bagaimana ini, aku sangat lapar ...."
PLUK!
Mendadak pandangan ku gelap, seseorang menutup kepala ku dengan sebuah jubah putih.
"Kalian mau apa? Dia hanya anak kecil! -- Biar anak ini aku yang urus!" ucap tegas dari seorang wanita yang tak aku ketahui siapa nama nya.
"Tapi, Mrs. Lestari, anda orang Indonesia. Anda tidak tau cara menangani situasi seperti ini," ucap salah satu dari dua pria berbadan tegap itu.
"Kalau begitu, telfon polisi. Katakan, ada anak kecil yang terluka di sini. Aku akan mengurus segalanya," suara wanita yang bernama Lestari, terdengar sangat tegas.
Dua security itu akhirnya menyetujui saran dari Mrs. Lestari.
Sambil menunggu polisi datang, Mrs. Lestari membawa aku ke ruangan yang cukup mewah.
"Luka mu terlihat parah, tapi, kau tidak menangis. Kau pasti anak lelaki yang sangat kuat ya?" Tanya Mrs. Lestari sambil melirik pada kedua kaki ku yang penuh luka.
Melihat aku yang hanya diam, Mrs. Lestari menghela napas panjang.
"Ini, makan lah yang banyak."
Mrs. Lestari menyuguhkan beraneka ragam makanan enak di atas meja, secara cuma-cuma. Padahal, aku tidak memberikan apapun padanya.
"Kamu tidak perlu khawatir, polisi akan segera kemari," kata Mrs. Lestari.
Perkataan Mrs. Lestari membuat detak jantung ku melemah. Tangan ku tiba-tiba saja bergetar.
"Kamu takut polisi?" tanya Mrs. Lestari seolah tau ketakutan ku.
Mrs. Lestari mengulas senyuman hangat saat lagi dan lagi aku memilih diam.
"Kamu tenang saja, polisi datang hanya untuk membantu mengobati luka-luka di sekujur tubuhmu."
Aku menatap polos Mrs. Lestari. "Apa polisi akan menyita makanan ku? Aku sangat lapar."
Mrs. Lestari tergelak. "Tentu saja tidak, ah, kau ini sangat konyol. -- Cepat habiskan makanan mu, lalu kita atasi masalah mu bersama-sama. Kamu kurus sekali."
Aku mengangguk dan lekas menyantap makanan dengan rakus.
"Pelan-pelan saja, semua itu milikmu, tidak akan ada satu orang pun yang akan mengambilnya dari mu. Okay?"
Aku mengangguk dan kembali menyantap makanan ku, kali ini dengan sangat amat tenang.
Setelah aku menyantap habis makanan yang tersaji, sirine mobil polisi mulai terdengar, nyaring sekali.
Polisi membawa aku ke rumah sakit terdekat, Mrs. Lestari juga ikut mengantar ku. Begitu sampai di rumah sakit, para dokter lekas memeriksa kondisi ku.
"Astaga, 42° Celcius!" ucap Dokter panik.
Kenapa Dokter dan para suster terlihat panik? Memangnya kenapa jika suhu tubuhku sampai 42° Celcius?
"Hey, Nak. Bagaimana bisa kamu tidak pingsan? Bahkan setidaknya, kamu harus mengeluh atau menangis." Dokter menatapku dengan sangat prihatin.
Aku hanya menatap mereka bingung, aku tidak mengerti, memangnya separah apa kondisi ku?
"Anak ini negatif narkoba. Dia bersih, lebih baik kita bawa saja dia ke tempat perlindungan anak. Jika kita mengembalikan pada orang tuanya, anak ini tidak akan bisa bertahan lagi!" ucap seorang polisi yang berdiri tepat di samping ku.
Aku hanya menyimak tanpa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Seorang pria yang juga mengenakan seragam polisi, masuk ke ruangan. Aku kembali memasang telinga.
"Orang tua anak ini sudah ditemukan," ucap polisi tersebut.
"Bagaimana?" tanya polisi yang berdiri di sampingku.
"Ibu anak ini, kondisinya sangat parah. Sepertinya sudah memakai narkoba jenis injection dalam jangka waktu yang sangat lama. Ayahnya pun juga tak sadarkan diri, yang pasti mereka sama sekali tidak bisa diharapkan."
Aku semakin menatap mereka dengan raut wajah bingung, terlalu banyak orang-orang yang mengitari ku. Mereka semua saling bicara dan amat berisik.
Selagi aku mendengarkan pembicaraan mereka, tatapan ku teralihkan pada seorang dokter dengan jarum suntik di tangannya.
"Nak, kamu disuntik dulu ya. Agar kamu bisa tidur dan mendapatkan istirahat yang cukup." Ucap Dokter sambil mengarahkan jarum suntik itu kepada ku.
"Tidak! Aku tidak mau di suntik! Aku tidak boleh tidur!" Secepat kilat, aku menepis benda runcing yang hampir setiap hari ku lihat.
"A-aku harus pulang, besok pagi aku harus pergi mencari minuman. Jika aku tidak pulang karena aku sibuk beristirahat, ayah bisa memukul ku habis-habisan."
Dengan tubuh yang masih lemah, aku lekas turun dari tempat tidur dan segera berlari menuju pintu.
"Aku harus membawa alkohol untuk Ayah, alkohol yang banyak, tidak boleh hanya sebotol. Jika aku hanya membawa sebotol, luka di kepala ku bisa semakin bertambah." Aku berusaha meraih gagang pintu.
TAP!
Sebelum jemariku berhasil meraih gagang pintu, seorang polisi lebih dulu menutup gagang pintu itu dengan jemarinya
"Cukup, Nak!" Ku lihat polisi muda itu menghela napas panjang. "Kamu di sini saja, di sini lebih aman dari pada rumah mu."
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dibicarakan pak polisi. Kenapa rumah ku tidak aman?
Rasa takut kembali menggerogoti ku. Ah, bagaimana ini? Aku harus pulang, jika tidak, ayah dan ibu akan membunuh ku. Jika aku tidak menuruti mereka, aku tidak akan mendapatkan makanan.
Selagi aku kebingungan, Dokter mencuri kesempatan dan langsung menyuntik ku. Kantuk yang luar biasa mendadak datang menyerang, aku tidak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian, saat aku siuman, Mrs. Lestari sudah duduk di tepi ranjang dengan mengulas senyuman hangat. Aku lekas bangkit dan mencari posisi duduk yang nyaman.
"Hay, Nak! Bagaimana kondisi mu?" tanya Mrs. Lestari.
Aku tak menjawab, aku tak mengerti harus menjawab apa. Karena yang aku rasa, tubuhku remuk, seperti hari-hari biasa.
"Siapa namamu, Nak?"
"Gavriil ...."
"Umur berapa?"
"Engh, -- Enam!" Aku menunjukkan dua jari.
Mrs. Lestari terkekeh. "Kau belum bisa berhitung ya? Kau tidak sekolah?"
Aku menggelengkan kepala.
Mrs. Lestari menatapku lekat-lekat, ku lihat ada air bening di sudut pelupuk matanya.
"Gavriil, apa kamu mau ikut dengan ku?" tanya Mrs. lestari.
'Ikut dengannya? Kemana?' batin ku bertanya-tanya.
"Di sana kamu akan memiliki teman sebaya, kamu bisa bermain sepuasmu. Kamu juga bisa belajar dengan menyenangkan. -- Tidak perlu khawatir dengan makanan, karena di rumah ku ada banyak makanan."
"B-benarkah?"
"Benar! Dan kamu tidak perlu mencari alkohol untuk ku. Bagaimana, Gavriil? Kau mau?" Mrs. Lestari mengulurkan tangannya.
Bagai anak malang yang bertemu ibu peri, aku dengan senang hati menyambut uluran tangan wanita itu. Wanita yang sangat amat baik, menarik tanganku dari kubangan lumpur. Wanita yang kini ku panggil dengan sebutan ; Mama.
Flashback Off!
Aku mengendarai mobil dengan sangat hati-hati. Sesekali, ku lirik Hana yang duduk di samping ku. Dengan perdebatan yang menguras emosi, aku berhasil membujuk untuk mengantarnya pulang.
Wajah Hana masih ketus, aku tak menyalahkan nya. Dia adalah korban atas malapetaka nikmat yang terjadi tadi malam. Wajar ia mengeluarkan semua amarahnya. Apalagi setelah mendengar kalimat bodoh yang meluncur dari bibirku, ah bisa-bisa nya yang ku bahas hanya tentang biaya?!
Begitu sampai di rumahnya, Hana lekas ingin turun. Namun, niatnya urung, cinta pertama ku itu fokus menatap ke luar jendela. Lebih tepatnya, fokus menatap lelaki asing yang baru saja keluar dari rumahnya, di susul dengan Tuti di belakang pria itu.
Ku lihat, Hana buru-buru mengeluarkan ponselnya dan segera menyalakan kamera. Wajah Hana begitu murka, aku sampai merinding melihatnya.
'Siapa lelaki yang bersama Tuti?' batinku heran.
*
*
*
tapi tetap semangat y Thor buat cerita ny yg lbih bagus lgi👍😘
lanjutkan pokoknya😆😆😆
bener tuh kata David🤭😆😆😆