Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Begitu mobil yang dikendarai Tio berhenti di depan rumah, Joano langsung keluar dan berlari sekuat tenaga menjauh dari laki-laki itu. Joano memang tidak tahu harus melangkahkan kakinya ke mana, yang pasti dia tidak ingin berada dalam bayang-bayang Tio lagi, tidak ingin Tio memukul dirinya lagi.
"Berhenti bocah sialan!"
Joano terus berlari meski Tio berteriak memakinya. Tidak ada kata berhenti atau dia akan selalu berada dalam penderitaan yang berkepanjangan.
"Berhenti lo! Awas saja kalau ketangkap."
Hari itu benar-benar hari yang buruk bagi Joano. Mungkin itu adalah dosa karena dia selalu pulang tidak tepat waktu selepas kembali dari pasar. Atau malah sebaliknya, hari itu akan menjadi hari yang akan disyukuri Joano sepanjang hidupnya.
Joano jatuh tersungkur saat kakinya terpeleset batu kerikil. Anak itu ingin bangkit dan kabur dari hadapan Tio. Namun, luka bakar di pahanya tiba-tiba terasa sangat menyiksa. Meski begitu Joano masih berusaha bangkit, masih berusaha lari dengan langkah tertatih-tatih. Tapi apa daya, Tio semakin dekat dan berhasil menangkapnya.
"Diam lo! Jangan kabur lagi!” Tio mencengkeram kerah baju Joano kemudian memukulnya sekali lagi. "Berani-beraninya lo mau kabur dari gue. Nantangin gue, lo?”
Joano mengatupkan kedua tangannya lalu memohon kepada Tio. "Ampun Pak, maafin Joano. Jangan pukul lagi, maafin Joano."
Tio tersenyum masam. "Siapa suruh lo main-main di sana! Enak lo, ya! Kalau ketahuan Margaret, gue lagi yang kena!"
"Aku nggak bakal ngulangi lagi, maafin Joano." Joano terus merintih meminta ampun.
Kali ini pukulan Tio lebih keras lagi.
"Maafin Joano." Joano menangis. Dia terus memohon ampun kepada Tio untuk berhenti memukulnya.
"Berhenti mukul anak itu!"
Tio menoleh ke sumber suara. Dia melihat wanita paruh baya berdiri dengan tatapan mengintimidasi ke arahnya. Detik itu juga Tio sadar jika posisinya kini berada sangat dekat dengan kafe milik Margaret. Saking dekatnya, dia bahkan bisa dilihat dengan jelas dari dalam sana, termasuk apa yang baru saja dia lakukan pada Joano.
Satu per satu pengunjung kafe berhamburan keluar, termasuk para karyawan. Mereka menyaksikan bagaimana kekerasan itu terjadi. Satu-dua dari pengunjung mengabadikan kejadian itu dalam bentuk video.
"Bocah sialan! Lo sengaja lari ke sini supaya semua orang tahu, kan?" Tio melotot, wajahnya merah padam. Dia kembali mengayunkan tangannya di udara untuk memukul Joano lagi, tapi suara pekikan dari para pengunjung kafe itu menghentikannya.
“Apa yang akan Bapak lakukan pada anak itu? Lepaskan sekarang juga.” Wanita itu buru-buru menghampiri Tio dan merebut Joano dari genggaman laki-laki itu.
“Apa-apan Ibu ini? Anda siapa? Saya ini Ayahnya!” Tio berteriak marah.
“Ayah? Ayah macam apa yang memukuli anaknya sampai kayak gini? Anda tidak layak disebut sebagai seorang Ayah.” Nada bicara wanita itu tak kalah lantang.
Tio mendesis sebal. “Saya pukul karena dia salah. Apa salahnya seorang Ayah menghukum anak kalau anaknya melakukan kesalahan?”
“Itu jelas salah, Pak!” Wanita itu hendak membela Joano lagi, tapi salah seorang pengunjung lain lebih dulu melakukan pembelaan setelah mendengar apa yang Tio katakan. “Siapa yang menormalisasi kekerasan hanya karena seorang anak melakukan kesalahan? Menghukum? Kenapa Bapak tidak menghukum diri sendiri lebih dulu sebelum menghukum anak Bapak?”
"Sialan!" Gumam Tio.
“Laporin polisi saja, Bu. Orang kayak dia nggak bakal jera sampai kapan pun.” Pengunjung lain yang sedang mengambil video mengusulkan.
“Iya. Laporin saja.”
“Saya juga setuju.”
“Saya sudah simpan videonya, Bu, waktu dia ngaku kalau dia yang pukul.”
Satu per satu pengunjung kafe ikut membela. Mereka serempak ingin melaporkan Tio kepada pihak yang berwajib.
“Tunggu sebentar. Kalian ingin melaporkan saya? Kalian tidak punya hak untuk melaporkan saya.”
“Apa anda tidak tahu Undang-undang perlindungan anak? Bagaimana kalau polisi juga tahu kalau Joano adalah anak adopsi. Jangan-jangan anda juga tidak tahu kalau pemantauan adopsi anak berlangsung selama enam bulan?” Perkataan wanita itu mengejutkan pengunjung kafe. Mereka mulai berbisik satu sama lain.
"Ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di sini?” Margaret muncul setelah melihat semua pengunjung kafe juga karyawannya berkumpul dalam satu titik. Wanita itu menatap ke sekeliling, termasuk Joano yang tubuhnya dipenuhi dengan luka. Melihat semua itu, Margaret langsung tahu situasi apa yang sedang terjadi.
"Maaf, Ibu. Ada masalah apa, ya?" Margaret bertanya kepada wanita itu dengan halus. "Kenapa anak saya ada pada Ibu?"
"Mulai hari ini, saya yang akan merawat Joano." Wanita itu berkata dengan tegas dan yakin.
"Maaf Ibu. Apa maksudnya, ya?" Margaret kembali bertanya untuk memastikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik.
Wanita itu mendengus sebal. "Apa anda benar-benar tidak mendengar? Atau anda pura-pura tidak tahu? Jika anda melihat keadaan anak ini sekarang, anda pasti tahu betul apa maksud perkataan saya."
"Apa maksud Ibu karena wajah anak itu dipenuhi luka? Ah, biasanya anak-anak memang suka bermain sana-sini. Jatuh dan terluka itu biasa. Itu kesalahan anak-anak.” Margaret mencari alasan.
"Karena jatuh? Mendengar apa yang Ibu katakan sepertinya ini bukan pertama kali terjadi. Tapi bagaimana, Bu? Suami Ibu sudah mengakui kalau dia yang memukul Joano. Semua orang di sini melihatnya. Ada video pengakuan suami Ibu juga kalau anda mau lihat.”
Margaret tersenyum kaku. "Apa maksud Ibu?"
"Saya melihat dengan jelas bagaimana orang yang katanya Ayah itu memukul Joano dengan sangat kejam. Dan saya yakin ini bukan pertama kalinya kekerasan dilakukan.”
Margaret melirik tajam ke arah Tio, membuat laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya.
"Maaf dengan kekacauan yang telah suami saya perbuat. Kami akan memperhatikan Joano lebih baik lagi." Margaret berkata dengan sisa kesabarannya yang mulai menipis.
"Tidak perlu. Mulai sekarang saya yang akan mengurus anak ini." Wanita itu berkata dengan mantap.
"Apa maksud anda? Dia adalah anak kami." Margaret mulai kehilangan kesabaran. Nada bicaranya naik satu oktaf.
"Pengajuan pengangkatan anak belum diproses di pengadilan dan status adopsi belum sah di mata hukum karena saat ini masih dalam masa pemantauan. Dengan adanya pemukulan yang dilakukan suami anda maka kalian tidak layak secara psikologi untuk merawat anak ini."
Margaret terdiam seketika. Dia bingung mengapa wanita itu tahu kalau Joano merupakan anak adopsi. Bahkan tahu betul kalau mereka belum menjadi orang tua Joano secara sah di mata hukum.
Beberapa detik kemudian, dua pria berseragam datang di tengah-tengah kerumunan.
“Sudah saya laporin polisi sedari tadi. Penjelasan mereka berbelit-belit.” Salah satu pengunjung berseru dengan percaya diri.
"Selamat siang, kami menerima laporan,”
Belum sempat Polisi itu menyelesaikan kalimatnya, Wanita yang sedari tadi melindungi Joano itu memotong lebih dulu. "Iya, laporan kekerasan terhadap anak. Dia,” Wanita itu menunjuk Tio, "adalah pelakunya. Anak ini korbannya dan saya saksinya. Orang-orang di sini juga sudah mendengar pengakuan pelaku, bahkan ada videonya.”
"Saya tidak memukul bocah itu." Tio berusaha membela diri begitu Polisi merengkuh kedua tangannya. “Saya ini Ayahnya, mana mungkin saya memukul anak saya.” Belanya pada diri sendiri.
Margaret menggenggam tangannya kuat-kuat hingga urat di tangannya terlihat sangat jelas. Pandangannya kembali mengitari ke sekeliling. Tampak para pengunjung dan karyawannya saling berbisik satu sama lain.