Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Berkunjung Malam Hari
"Aku serius!" seruku sambil menghujaninya dengan cubitan.
"Aku juga serius," balas Dave sambil tertawa.
Sesekali dia membalas dengan menggelitik bagian samping tubuhku. Kami tertawa lepas seolah tak ada beban. Untuk sesaat kami lupa akan masalah yang menimpa kami. Ini adalah pertama kalinya aku dan Dave bercanda.
Tok
Tok
"Permisi tuan," ucap suara mbok Ijah dari balik pintu kamar.
Aku dan Dave langsung menghentikan keseruan kami.
"Palingan Carla rewel," ucap Dave.
"Dilihat dulu!" seruku.
Dave bangkit dengan malas lalu membuka pintu kamar.
"Ada apa mbok?" tanya Dave tanpa membuka seluruh pintu.
"Maaf ganggu, tuan. Ada orang tuanya tuan sama nyonya. Udah mbok persilahkan masuk dan sekarang lagi nungguin tuan dan nyonya di ruang keluarga," ucap mbok Darmi.
Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan segera menghampiri mbok Darmi. Kepalaku menyembul lebih dulu dari bawah lengan Dave.
"Benaran mbok?" tanyaku tak percaya.
"Masa saya bohong, nyah. Ngga lucu kali nyah malam-malam ngepalang nyonya sama tuan," jawab mbok Ijah.
"Ngepalang maksudnya apa mbok?" tanyaku bingung.
"Itu loh nyah yang biasa anak-anak muda yang mbok tonton di televisi yang suka ngerjain itu," jelas mbok Darmi.
"Ngeprank mbok!" seru aku dan Dave bersamaan.
"Nah iya, itu maksudnya mbok," jawab mbok Darmi sambil terkekeh.
"Kalo gitu mbok permisi dulu ya, tuan. Mau suguhin minuman sama makanan ringan buat nyonya-nyonya dan tuan-tuan besar," ucap mbok Darmi.
Baru saja mbok Darmi berjalan dua langkah, aku langsung menahannya.
"Tunggu mbok!" seruku.
"Kenapa, nyah?" tanya mbok Darmi sambil berbalik.
"Ekspresinya gimana?" tanyaku.
"Siapa nyah?"
"Aduh mbok!" aku menepuk jidat.
"Orang tua kami," ucapku sambil menunjuk diriku dan Dave.
"Oh!" seru mbok Darmi panjang. "Mau mbok jawab jujur atau ngga, nyah?" mbok Darmi malah melempar pertanyaan lagi.
"Udah kek acara talk show Tonight Show deh," ucapku.
"Jawab jujur mbok," jawab Dave.
"Wajahnya pada tegang, tuan."
Aku dan Dave saling menatap. Biasanya saat kedua orang tua kami berkunjung, aku dan Dave tidak akan setegang ini. Kedua orang tua kami juga tidak pernah bertandang malam hari kecuali ada sesuatu yang mendesak. Apalagi jika bukan masalah kami saat ini.
"Noel!" seru Dave.
"Baru aja tadi aku khawatirin udah langsung kejadian," ucapku tak berdaya.
"Mbok permisi ya, tuan, nyonya," ucap mbok Darmi.
"Iya mbok," jawabku.
"Ayo babe!" ajak Dave.
"Ayo kemana?" tanyaku.
"Ya, turun ke bawah bertemu kedua orang tua kita," jawab Dave sambil mengerutkan alisnya.
"Kamu aja dulu babe," ucapku sambil mengibas kedua tanganku.
Rasanya ada banyak air yang menyelimuti kedua telapak tanganku. Hatiku dag dig dug bukan main. Hal kedua dari yang tersulit adalah mengahadapi kedua orang tua kami.
"Kamu takut?" tanya Dave sambil memegang kedua pundakku.
Aku mengangguk.
"Tidak usah takut. Kan ada aku," ucap Dave meyakinkan.
Dave banyak berubah semenjak kejadian itu. Dia lebih perhatian dan tidak kaku lagi saat bicara denganku. Bahkan, terkadang dia mengikuti gaya bicaraku dengan Rei. Melihatnya seperti ini membuatku lebih santai.
Aku mengangguk lalu berkata, "Ayo!"
Mulut yang berbicara jauh berbeda dengan hati. Saat tiba di ujung tangga, aku malah menyuruh Dave untuk turun duluan dengan alasan ingin melihat Carla lebih dulu. Mana tahu Carla belum tidur. Setidaknya kalau membawa Carla akan meredakan emosi papa Dirga.
Berhubung anaknya yang bermasalah sudah pasti Dave yang bakalan kena amuk. Aku tidak berani membayangkannya. Papa Dirga sosok papa mertua yang baik tapi kalau sudah marah bisa membuat orang di sekitarnya merasakan kedua kutub pindah dadakan.
Akhirnya, mau tidak mau Dave turun lebih dulu. Aku sempat melihat Dave sebelum melangkah ke anak tangga pertama. Dia menghela napas. Terlihat sangat gugup.
Seketika aku merasa berdosa tidak menemani suamiku tapi aku takut melihat kemurkaan papa Dirga. Alasanku melihat Carla bukan sebuah alasan belaka. Aku memang berniat membawa Carla turun.
"Mama!" teriak Carla saat melihatku masuk ke dalam kamarnya.
Kebetulan sekali Carla belum tidur. Kedua tangannya menggapai di udara tanda minta di gendong dan di peluk. Aku langsung meraihnya masuk ke dalam pelukanku dan menatap wajahnya yang sedikit sembab.
"Anak mama habis nangis?" tanyaku sambil mengusap sisa air mata di sudut matanya.
"Iya nyah. Non Carla minta makan permen. Padahal sudah sikat gigi. Saya sudah bilang besok baru boleh makan permen," jelas Maya.
"Oala! Benar kata mbak Maya. Nanti gigi Carla berlubang terus sakit. Carla mau sakit gigi?" tanyaku.
"Tapi Cala kan cikat gigi," bela Carla.
"Iya bener tapi seingat mama, Carla kalau makan permen malam-malam terus pas disuruh kumur-kumur ngga mau. Lupa ya?" godaku sambil mengingatkannya.
"Eh iya, Cala lupa!" ucapnya sambil terkekeh.
"Kita turun, yuk!" ajak ku.
Carla diam sambil menatapku dengan bola matanya yang bulat.
"Ada oma, opa, nenek, sama kakek di bawah," ucapku lagi.
"Acik. Cala mau tulun ke bawah!" teriaknya girang.
Aku langsung melangkah keluar kamar dan bergegas menyusul Dave ke ruang keluarga. Sesampainya di anak tangga yang terakhir, Carla sudah teriak kegirangan melihat para nenek dan kakeknya.
Carla berontak dalam gendonganku minta diturunkan. Aku menurutinya karena itu tujuanku. Carla, cucu satu-satunya papa Dirga dan mama Melanie. Hati papa Dirga selalu meleleh saat melihat Carla.
"Maafkan mama, nak. Menjadikanmu senjata untuk opa mu," ucapku dalam hati.
Rencanaku berhasil, keempat nenek kakek itu bergantian mengendong cucu mereka.
"Gimana?" aku berbisik pada Dave.
"Kamu tahu sendiri, babe. Papa ku kek gimana," jawab Dave berbisik.
"Di gampar?" tanyaku lagi.
"Tidak, tapi suaranya menggelegar."
"Mungkin karena ada besannya jadi papa Dirga tidak berani bertindak berlebihan," balasku lagi.
"Udah sempat jelasin belom?" tanyaku lagi.
"Belum. Tadi pas mau jelasin kamu sama Carla sudah turun duluan."
"Oh!"
"Udah selesai bisik-bisiknya?" tanya mamaku dari seberang sofa.
"Eh, mama! Tambah cantik aja," godaku.
Aku tersenyum lalu menghampiri dan menyalami kedua orang tua dan mertuaku.
"Pak Dirga, sebaiknya kita dengarkan dulu penjelasan Dave," ucap papaku.
Papa mertua menatap suamiku tajam. Aku saja langsung menciut melihat tatapannya. Padahal tatapan itu untuk Dave.
"Papa kasi kamu sepuluh menit untuk menjelaskan," ucap papa Dirga.
Dave mengambil kesempatan itu. Tanpa basa-basi, suami tampanku itu langsung membuka suara. Penjelasan yang sama, Dave utarakan pada kedua orang tua kami.
Usai mendengar penjelasan Dave, mamaku menarik kesimpulan bahwa di sini Dave tidak bersalah melainkan lelaki itu yang bermasalah. Sedangkan papa Dirga meminta Dave mencari solusi untuk menghadapi para investor agar perusahaannya tetap stabil jika masalah ini mencuat ke permukaan.
Akhirnya, urusan dengan para orang tua selesai dalam damai dengan bantuan bidadari kecilku. Berhubung sudah larut malam, aku meminta kedua orang tua kami untuk menginap. Meski awalnya mereka menolak, tetap saja hati mereka luluh karena rengekan Carla.
Aku anggap malam ini aku dan Dave masih dalam keadaan aman dan baik-baik saja. Entah apa lagi yang akan kami hadapi besok. Hidupku saat ini bagai rollercoaster.
* * *
London
"Mike, selidiki data yang baru saja ku kirim!" perintah Rein melalui sambungan ponsel.
Rein memutus panggilan tepat pintu kamar mandi terbuka.
"Hampir saja!" seru Rein dalam hati.
"Papa ngga mandi?" tanya Rei sambil melangkah mendekati Rein.
"Bentar lagi. Tumben cepat mandinya."
"Non laper," balas Rei singkat.
"Pantes. Jadi, mau makan di mana? Di hotel atau keluar?" Rein menawarkan dua pilihan.
"Di laut aja pa," jawab Rei antusias.
"Makan apa di laut, non?" tanya Rein bingung.
"Eh, di luar maksudnya," jawab Rei terkekeh.
"Ya ampun, non. Ngomong aja bisa typo!" seru Rein sambil geleng kepala dengan tingkah istrinya.
"Namanya juga udah Oma-oma," balas Rei tak mau kalah.
"Aku mandi dan kau, Oma-oma, cepat pakai baju!" perintah Rein.
Pria itu langsung bangkit menuju kamar mandi sebelum bantal kursi mengenai punggungnya.
"Iya aki-aki!" seru Rei.
Dugaan Rein sangat tepat. Rei meraih bantal kursi dan melemparnya di saat pintu kamar mandi tertutup.