Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Tukang Cuci
Bab 3. Tukang Cuci
POV Lastri
Diah baru saja turun suhu badannya. Aku pun meninggalkannya pergi ke rumah ibu mertua untuk membereskan pekerjaan rumah disana. Sampai disana ku lihat Nilam sedang bersantai ria menonton televisi, sedangkan ibu mertua mulai sibuk memasak di dapur.
"Bu, aku nyuci pakaian dulu." Kataku yang tidak di jawab oleh ibu mertua, hanya lirikan tidak suka saja yang ia perlihatkan melihat kehadiranku.
Sebenarnya apa yang mereka inginkan dari ku. Kehadiranku tidak mereka sukai tapi mereka menyuruhku membantu mereka untuk meringankan pekerjaan rumah.
Lagi-lagi aku menelan kepahitan dalam keluarga suamiku. Sedih tidak pernah di hargai oleh mereka. Meski aku membantu semua pekerjaan mereka, bahkan sedikit pun mereka tidak pernah menawarkan apa-apa padaku. Jangankan makan, minum pun tidak. Tidak padaku juga tidak pada Diah anakku. Hatiku sakit...
Bukan aku mengharapkan iba dari mereka. Tapi setidaknya mereka mengakui keberadaan ku dan Diah dalam keluarga mereka. Tapi sepertinya aku hanyalah orang asing dan mungkin mereka anggap sebagai pembantu saja.
Tuhan, tolong beri aku kesabaran yang lebih untuk menghadapi keluarga ini. Beri aku kekuatan untuk bertahan atas sikap mereka padaku. Aku hanya berserah padaMu dan memohon padaMu.
Aku melangkah menuju belakang rumah untuk mencuci pakaian disana. Di rumah ibu mertua memang memiliki pelantaran dengan lantai yang hanya di semen saja. Dan di sanalah aku mencuci, dengan kran air yang tersedia disana.
"Astagfirullah..." Gumamku lirih melihat tumpukan pakaian kotor yang menggunung disana.
Rasanya baru kemarin aku juga mencuci dengan tumpukan yang sama banyak. Tapi kenapa hari ini pakaian kotor itu tetap sama banyaknya. Seharusnya aku hanya mencuci seperempat saja dari jumlah itu, pikirku.
Keruyuuk...
Perutku berbunyi lagi. Sebelum aku semakin tidak bertenaga karena lapar, sebaiknya aku segera menyelesaikan pekerjaanku lalu kewarung untuk membeli sekilo beras dari sisa uang yang masih ada. Bisa buat ku makan dengan Diah sampai esok hari, pikirku.
Aku mulai meredam pakaian dan memberinya sabun. Disini ada mesin cuci. Tetapi ibu mertua menyuruhku mencuci pakai tangan saja. Karena jika pakai mesin kurang bersih, katanya.
Satu persatu baju aku pilah dan ku pilih. Untuk berwarna putih aku rendam di bak tersendiri. Namun...
"Apa ini? Kok ada baju Dion dan Marla?"
Ku bongkar lagi tumpukan pakan kotor itu. Ternyata selain baju ibu mertua juga Nilam, ada baju mbak Tatik dan Mas Wawan beserta anak-anak mereka.
Keterlaluan mbak Tatik. Bahkan pakaian dia dan keluarganya harus aku yang mencucinya. Ini tidak bisa di biarkan. Aku hanya mencuci pakaian ibu dan Nilam saja di rumah ini, tidak pakaiannya beserta suami dan anaknya. Apa ini? Bahkan ada juga pakaian dalam mereka. Mbak Tatik bener-bener keterlaluan!
"Bu, ibu..."
Aku menghampiri ibu mertua dan memanggilnya yang tengah asik memotong bawang.
"Apa sih kamu Las?!"
"Kenapa pakaian mbak Tatik dan Mas Wawan juga Dion dan Marla ada di tumpukan baju kotor Bu?"
"Kenapa? Kamu protes?! Tatik sibuk, tidak sempat mencuci beberapa hari ini. Kamu tinggal cuci saja apa susahnya sih?!"
"Tapi Bu, itu banyak."
"Halah, kemarin kamu bisa mengerjakan sebanyak itu. Kenapa sekarang kamu protes?! Sudah kerjakan saja sana! Mengerjakan sesuatu itu harus ikhlas. Apa kamu tidak pernah di ajari orang tuamu berbuat baik pada keluarga?!"
Nyut.
Kali ini hatiku benar-benar sakit oleh ucapan ibu mertua. Bahkan sakitnya berkali kali lipat dari biasanya. Begitu lancarnya mulut ibu mertua menjelek-jelekan orang tuaku di kampung. Mengatakan kalau aku tidak pernah di ajari orang tua ku akan kebaikan.
Mataku berembun. Kenapa ibu mertua bisa berkata seperti itu sedangkan orang tuaku tidak pernah sekalipun berkata buruk terhadap Mas Hendra dan keluarganya. Orang tuaku pun tidak pernah tahu kehidupan macam apa yang di jalani putrinya disini. Namun mereka tetap menyambut baik kedatangan Mas Hendra yang mengantarkan ku pulang kampung setahun sekali di setiap momen lebaran.
Perih, hati ku sungguh perih.
Aku tidak lagi bersuara. Takut kalau aku terus protes, pasti Ayah dan ibuku akan lebih di jelekkan lagi oleh ibu mertua. Aku tidak mau itu.
Ku usap air mata di sudut kelopakku. Lalu perlahan aku mulai mencuci agar bisa segera pulang dan merawat putri ku.
***
"Nenek!!"
"Nenek!!"
"Eh, Dion, Marla, cucu nenek. Datang sama siapa?"
"Sama Mama, Nek. Wah Nenek masak ayam. Aku mau makan ayam!"
"Aku mau juga Nek. Ayamnya dua ya!"
"Iya, ini opor ayam Nenek masak buat kalian, cucu kesayangan Nenek."
"Bu apa Lastri sudah datang?"
"Sudah, lagi nyuci di belakang."
"Baguslah, aku juga bawa lagi baju kotor biar sekalian saja."
Sayup sayup ku dengar derap langkah seseorang menghampiri ku.
"Hei, Lastri! Nih tambahan kerja buatmu! Cuci yang bersih, jangan sampai masih ada noda yang tertinggal!"
Aku terkejut atas kedatangan mbak Tatik yang membawa satu kantong besar pakaian kotor miliknya.
"Mbak, aku sudah tidak kuat lagi kalau harus mengerjakan tambahan cucian. Karena setelah ini aku harus membersihkan di dalam rumah lagi. Kenapa pakaian kotor mbak bawa semua kesini?"
"Terserah aku dong mau di bawa kemana! Kamu itu istrinya Hendra. Sudah sewajarnya kamu bantu aku mencucikan semua pakaian kotor ini karena aku, kakaknya Hendra, kakak ipar mu!"
"Aku tahu mbak kakak ipar ku. Tapi bukan tugasku harus mencuci pakaian kalian sekeluarga. Mbak kan istrinya Mas Wawan. Harusnya mbak yang mencuci pakaian suami mbak."
"Heh, jawab aja kamu. Siapa bilang kamu tidak boleh mencuci pakaian ku dan Mas Wawan? Loudry aja dimana-mana nerima cucian milik siapa saja tanpa pandang bulu."
"Itu beda mbak. Yang aku maksud disini tugas mbak sebagai seorang istri dari Mas Wawan."
"Ah, sudah! Sudah! Kalau tidak mau cucikan pakaian ku, bilang saja! Tidak usah berkelit-kelir."
Apa mbak Tatik sedang mengancamku?
"Benar aku keberatan mencucikan pakaian kalian."
Aku mencoba jujur akan keberatanku.
"Ibuuu...!! Ibuuuu...!!"
Mbak Tatik tiba-tiba berteriak manggil ibu mertua. Aku yakin ia pasti akan mengadu tentang keberatan ku mencucikan pakaiannya.
"Ada apa sih Tik kamu teriak-teriak begitu?!"
"Ini nih Bu! Menantu Ibu tidak mau mencucikan pakaian ku!"
Benar saja, mbak Tatik mengadu pada Ibu mertua.
"Hei Lastri! Kamu tidak mau mencucikan pakaian Tatik?"
"Bu, jika itu pakaian Mas Hendra dan Ibu, aku mau mencucinya. Tapi pakaian yang lain, biarlah mereka yang mencuci masing-masing Bu. Bukan kewajibanku melayani mereka. Apalagi mbak Tatik seorang istri. Sudah sewajarnya bila dia yang mencuci sendiri pakaiannya dan milik suaminya, bukan aku."
"Oh, kamu sudah berani membantah sekarang?!"
"Bukan begitu Bu..."
"Bukan begitu, bukan begitu! Lalu apa namanya?! Kamu itu harusnya bersyukur sudah mau di nikahi oleh Hendra, itu juga atas bujukan Tatik. Jadi kalau Tatik menyuruhmu apa saja, tidak sepantasnya kamu menolak!"
Wajah mbak Tatik tampak senang penuh kemenangan.
Aku menahan kesal di dadaku. Jika waktu bisa di putar kembali, aku tidak ingin menikah dengan Mas Hendra. Mengenal keluarga ini hanya menyengsarakan hidupku dan Diah. Toh dulu ada Fahri yang mau menerima ku apa adanya.
Astagfirullahaladzim...
Hatiku benar-benar telah di liputi kebencian sampai-sampai aku memikirkan pria lain. Maafkan hamba mu ini ya Tuhan...
Bersambung...
Tinggalin jejak like atau komen ya, buat naikin popularitas novel ini. Dua-duanya juga boleh banget, terimakasih 🙏🤗