NovelToon NovelToon
Nura 1996

Nura 1996

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Ibu Pengganti / Anak Yatim Piatu / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Titik.tiga

menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 8

"Assalamualaikum," ucapku kepada ayah saat aku tiba di rumah. Ayah tersenyum dan menjawab, "Waalaikumussalam. Capek ya? Sini, biar ayah bawain." Tanpa menunggu jawabanku, ayah langsung mengambil kantong belanjaan yang kupegang.

Tak lama kemudian, ibu datang bersama Pak Tama, sopir keluarga kami. "Boss Tama, lama tak jumpa! Masuk-masuk, maaf ya masih berantakan," ucap ayah sambil menyambut Pak Tama dengan hangat. Mereka berpelukan seperti teman lama.

"Ah, pakai 'boss-boss' segala. Usaha ini sekarang?" sahut Pak Tama sambil melirik sekeliling warung kami.

"Iya, alhamdulillah ada rezeki sedikit-sedikit. Duduk dulu," jawab ayah sambil mempersilakan Pak Tama duduk. Ayah lalu bergegas menuju etalase bakso, dan tak lama kemudian kembali membawa semangkuk yamin spesial, seporsi sumsum tulang sapi, serta segelas es jeruk.

"Silakan dimakan dulu," ucap ayah dengan ramah.

"Eh, apa-apaan nih sampai segitunya? Rugi bandar dong, Yah," gumamku dengan nada ketus.

"Wow, mantap nih porsinya jumbo! Makasih, Bar," jawab Pak Tama senang.

"Oh iya, Bar," lanjut Pak Tama sambil menyendok makanannya, "Bu Ami titip pesan. Katanya kalau ketemu kamu, suruh ke rumahnya. Penting, katanya."

"Bu Ami? Maksudnya Bu Hj. Ami?" tanya ayah heran.

"Iya, Bu Hj. Ami. Saya ketemu dia sekitar dua minggu lalu, kalau nggak salah hari Rabu atau Kamis. Katanya kamu susah dihubungi karena nomor kamu nggak aktif."

Ayah mengangguk. "Nomornya hangus, jadi beli nomor baru. Tapi, bukannya Bu Hj. Ami di Mesir?"

"Sudah pulang. Katanya baru dua bulanan ini balik ke Bandung. Nih, saya kasih nomornya. Coba deh telepon," ujar Pak Tama santai.

Aku yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam mendengarkan percakapan mereka, sedikit risih dengan cara duduk Pak Tama yang menurutku kurang sopan. Kulihat ibu sedang merapikan barang belanjaan, aku pun mendekatinya.

"Bu, itu siapa sih? Duduknya kayak gitu, nggak sopan banget," bisikku pelan.

"Eh, jangan ngomong gitu. Nggak baik. Sudah, lebih baik bantu ibu beresin belanjaan," jawab ibu sambil tersenyum.

Aku akhirnya duduk di sebelah ibu dan mulai membantu mengupas bawang merah. Sementara itu, terdengar jelas ayah sedang berbicara di telepon, mungkin dengan Bu Ami seperti yang tadi diceritakan. Namun, berbeda dari biasanya, ayah lebih banyak diam. Hanya kata-kata seperti "iya", "siap", dan "insya Allah" yang sering keluar dari mulutnya.

Merasa penasaran, aku bertanya pada ibu, "Bu, ayah kenapa sih? Kok kayaknya nurut banget. Bu Ami itu siapa sebenarnya?"

Ibu berhenti sejenak dan menjawab, "Hmm... yang ibu tahu, Bu Ami itu mantan bos ayahmu dulu. Ayahmu sempat dipercaya untuk mengurus usahanya."

"Oh, begitu..."

Aku kembali merapikan bawang yang sudah selesai dikupas, dan setelah itu beristirahat sambil memainkan ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi ayah masih mengobrol serius dengan Pak Tama. Raut wajah ayah terlihat lebih tegang dari biasanya, dan aku ingin sekali ikut nimbrung, tapi takut merusak suasananya.

"Gimana, Bar?" tanya Pak Tama.

"Bu Ami minta saya cek lokasi untuk usaha barunya," jawab ayah.

"Ambil aja, Bar," sahut Pak Tama.

"Nggak tahu deh, Tam. Nanti saya diskusiin dulu. Kamu tahu sendiri, sekarang saya sudah punya keluarga, nggak enak kalau harus sering ditinggal."

Pak Tama mengangguk paham. "Ya, saya ngerti. Oke deh, saya pamit dulu. Kamu juga mesti istirahat."

"Bentar, saya bungkusin buat di rumah," kata ayah.

"Nggak usah, santai aja," tolak Pak Tama dengan santai. Mereka pun berjabat tangan. Sebelum pergi, Pak Tama berjalan ke arah ibu dan aku untuk berpamitan.

"Bu, saya pamit dulu. Ini, buat makanannya," katanya sambil menyerahkan amplop.

"Oh, iya. Terima kasih banyak, Pak. Maaf sudah merepotkan. Salam buat keluarga ya," jawab ibu sambil berdiri.

Setelah Pak Tama pergi, aku mendekati ayah dan bertanya, "Yah, siapa sih Pak Tama itu? Kok ayah akrab banget?"

"Teman lama ayah. Kenapa, memangnya?" jawab ayah sambil balik bertanya.

"Nggak apa-apa, cuma nanya aja."

Aku lalu melihat ke arah jalan yang sudah sepi. "Yah, beres-beres yuk. Kayaknya udah nggak ada lagi yang beli."

Tiba-tiba terdengar teriakan ibu, "Ya Allah, Ayah!" Kulihat ibu duduk lemas di lantai. Aku segera berlari ke arahnya, panik. Ibuku terlihat sangat lemah, matanya berkaca-kaca. Di tangannya, ibu masih memegang amplop pemberian Pak Tama. Dengan penasaran, aku membuka amplop itu dan melihat isinya uang seratus ribuan.

"Ya Allah, Bu! Kenapa, Bu?" tanyaku panik.

Ayah hanya diam tanpa bergerak dari tempatnya. Dengan datar, ia berkata, "Bawa ibumu masuk, biar ayah yang beresin ini semua."

"Yah, bantuin dong! Masa cuma diem aja sih?" Aku kesal melihat sikap ayah yang seolah tak peduli. Namun, ia hanya tersenyum datar dan kembali membereskan warungnya. Dengan hati kesal, aku membopong ibu ke dalam rumah.

"Bentar ya, Bu. Nura ambilkan air hangat dulu," ucapku. Aku segera ke dapur, mengambil segelas air hangat, dan memberikannya kepada ibu.

"Ini, Bu. Minum dulu."

"Terima kasih, sayang. Maaf ya, ibu merepotkan," jawab ibu lemah.

Aku penasaran, "Bu, kenapa sih? Ada yang salah dengan uang pemberian Pak Tama?"

Ibu menghela napas panjang. "Sekarang ibu malah nyusahin ayahmu. Ibu nyesel terima uang ini."

Aku tak mengerti kenapa ibu berkata begitu, tapi kulihat air mata ibu mulai menetes perlahan. "Memangnya ada yang salah dengan uangnya, Bu?" tanyaku sambil menghitung uang dalam amplop, yang berjumlah tiga setengah juta.

"Ya Allah, Bu! Tiga juta setengah! Alhamdulillah," ucapku senang, tapi ibu hanya merespon dengan mengucap "Astagfirullah" sambil memegang dadanya.

Malam itu, meskipun suasana hening, ada sesuatu yang berat terasa di hati. Ayah tak juga muncul di dalam rumah. Aku sempat berpikir ada sesuatu di balik sikap ayah yang berubah, tapi aku tak berani bertanya lebih jauh.

Ibu akhirnya berkata, "Terima kasih, sayang. Kamu istirahat ya, besok harus masuk kelas kan?"

"Ibu mau kemana?" tanyaku khawatir.

"Ibu mau lanjut bantuin ayahmu di warung," jawabnya dengan senyuman kecil. Aku membiarkannya pergi, meski dalam hati masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.

1
Eriez Pit Harnanik
trus rani sama aji nya kmn thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!